Indah

Memulai cerita hari ini dengan sebuah kata terindah. "Perjuangan"

Kamis, 05 Juli 2012

Maafkan aku, Ibu!




Aku terheran mengapa Ibuku sore ini tidak memanggil untuk menyuruhku pulang. Biasanya kalau sudah tepat waktu maghrib tiba. Ibu sudah memegang gagang sapu dan teriakan khasnya untuk menyuruhku pulang kerumah, karena kalau sudah bermain aku sangat lupa dengan waktu. Karena teman-teman dikampungku sangat banyak untuk diajak bermain. Setiap harinya aku bermain dari seusai sekolah hingga malam tiba dan tidak akan pernah mau berhenti bermain sebelum ibu memanggilku. Adzan maghrib berkumandang dan Ibu belum juga memanggil. Heran bercampur rasa takut bergerumul menjadi satu. Aku senang, mungkin saja ibu hari ini benar-benar memberikan kesempatan kepadaku untuk bermain hingga larut malam atau dirumahku sedang ada tamu penting hingga ibu benar-benar tidak memiliki waktu untuk memanggilku. Rasa takut karena bisa saja Ibuku sedang mengujiku agar aku bisa tepat waktu pulang kerumah dan jika aku benar-benar tidak pulang Ibuku memukulku di rumah nanti. Begitulah kehidupan keluarga dikampung kami, cara mendidik dengan kekerasan menjadi acuan utama. Aku bingung apa yang harus aku lakukan. Sampai pada akhirnya seluruh kawan-kawanku pulang kerumah masing-masing karena waktu sudah sangat larut. Aku merasa nyaman ibu tidak memanggilku lantas akupun mengikuti ajakan Toni untuk bermain dirumahnya. Toni ingin memamerkan mainan baru miliknya padaku. Toni merupakan anak orang termasuk paling kaya di kampung kami meskipun Ibunya hanyalah sebagai seorang pemilik Toko Kelontongan saja. Namun kehidupan mewah keluarga Toni sangat mencolok sekali dibandingkan kehidupan tetangga-tetangga kami di kampung ini. Segalanya dimiliki Toni hingga mainan terbarupun yang hanya dijual terbatas, sudah dimiliki oleh Toni. Yah, begitulah kampung kami, pemilik toko saja bisa dibilang saudagar.

Sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam tapi Ibu belum juga memanggilku pulang kerumah. Ini sudah merupakan sesuatu ketidak wajaran yang terjadi yang pernah Ibu lakukan kepadaku. Aku sudah merasa bosan bermain dengan Toni dan memutuskan untuk pulang kerumah. Ditemani rasa deg-degan aku melangkah menuju rumahku, aku berfikir ibu pasti sudah siap-siap memgang kayu besar didepan pintu untuk memukulku karena kesalahan fatalku kali ini, aku hampir saja tidak berani pulang, namun karena waktu sudah larut malam dan akupun mengantuk, aku memutuskan untuk berani mengambil resiko apapun yang ibu berikan padaku nanti. Setibanya aku dirumah ternyata ibu tidak dipintu, dengan mengendap-endap aku membuka pintu berharap ibu sudah tidur. Dan mengapa rumahku sepi-sepi saja, hanya ada kakakku Joko yang sedang membaca-baca buku. Aku berfikir atau mungkin ibu sedang mencariku keliling-keliling kampung? Pasti ibu marah sekali padaku kali ini, tanpa memperdulikan semua itu, aku bergegas mandi agar ibu tidak terlalu marah kali ini. Aku semakin terheran, waktu sudah pukul 11 malam tapi ibu belum juga pulang. Lantas aku bertanya pada kakakku, dan seperti biasanya kak Joko tetap tidak mau tau tentang keadaan rumah. Kak Joko mengatakan kalau Ibu memang sudah tidak ada saat dia pulang kerumah sore tadi. Kemana ibu? Atau mungkin ibu pergi menginap dirumah keluargaku? Tidak seperti biasanya ibu pergi tanpa mengajakku. Pasti ibu tau, kalau dia tidak mengajakku pergi bersamanya pasti aku akan menangis hebat dengan manjanya. Namanya anak bungsu yang masih berumur 5 tahun. Dan akupun sudah mempersiapkan skenario itu. Ketika ibu pulang nanti, aku akan menangis seperti bocah yang benar-benar marah manja kepada ibunya kalau memang ibu pergi ketempat keluarga ku.
“Kak Joko, ibu pergi kemana?” dengan nada bercampur rasa marah dan sedikit ingin menangis aku bertanya kepada kakakku yang memang cuek dengan keadaan rumah.
“Kakak bilang gak tau ya gak tau, kakak juga marah dengan Ibu, pergi tapi kok tidak meninggalkan makanan...” Kak Joko marah.
“!!@#$%*()” akhirnya akupun menangis saat itu.
Kak Joko hanya membiarkan aku menangis begitu saja dan malah memarahiku. Hingga seperti biasanya saat menangis aku tertidur dengan sendirinya.

Aku terbangun dipagi yang cerah dan merona, biasanya ibu membangunkanku dan menyuruhku bersiap-siap berangkat sekolah, aku melamun sesaat berusaha menyesuaikan keadaan pagi itu dan melihat rumahku yang sepi tanpa berpenghuni. Aku benar-benar marah pada ibu, kenapa pergi menginap di rumah saudara tapi tidak mengajakku, tega sekali ibu terhadapku. Aku semakin dongkol dan kembali ingin menangis. Aku mengamuk-ngamuk dikamar tidur seolah marah pada ibu tapi tetap saja tidak ada yang merespon karena dirumah tidak ada siapa-siapa, hanya aku dan barang-barang tua milik keluargaku. Semakin lama aku menangis semakin terisak menanti ibuku untuk pulang kerumah tapi tetap saja, sudah 1 jam aku menangis, ibu tidak pulang. Pagi itu aku tidak berangkat kesekolah “TK Santa Ursula 8 Makassar”. Sampai saatnya aku lapar dan ingin sarapan. Tapi setelah aku periksa di meja makan sama sekali tidak ada makanan, minumpun habis. Aku geledah-geledah seisi rumah hanya untuk mengganjal perut agar tidak terlalu lapar hingga kakakku pulang nanti. Isi lemari, lemari makan, dapur, semua sudah aku bongkar. Namun tetap saja tidak ada satu makananpun yang ada dirumahku untuk aku makan. Aku duduk dikursi termangu, dan tanpa sengaja aku melihat ada sebuah snack dibawah kursi, mungkin itu bisa mengganjal perutku. Aku berusaha mengambilnya dengan mendorong kursi itu dan mencoba mengangkatnya. Tanganku tergores oleh sudut kursi yang sangat tajam dan berdarah. Aku pun kembali menagis seakan tidak kuat menahan rasa sakit itu ditambah dengan jengkelku pada ibu yang belum juga pulang. Aku makan snack sambil menangis. Snack yang aku makan sudah tidak enak lagi rasanya. Mungkin snack ini snack sisa jajanku seminggu lalu yang tak sengaja menyangkut dibawah kolong kursi. Tapi aku tetap memakannya karena perutku memang sudah sangat lapar.

Aku semakin marah dan waktu sudah menunjukkan siang hari pukul 12 siang, ibu belum juga pulang. Tiba-tiba Toni datang kerumahku untuk mengajakku kembali bermain. Tapi aku menolaknya. Toni terheran melihat keadaanku yang sudah tidak biasanya ini. Aku menceritakan kejadian yang sebenarnya pada Toni dengan sisa-sisa isakan tangisku.
“Ton, ibuku pergi tapi belum pulang-pulang dari kemarin, tadipun aku tidak berangkat kesekolah. Aku mau ibu.”
Toni terharu melihat keadaanku dan Toni mengajakku untuk pergi keliling-keliling kampung menghampiri tiap-tiap rumah untuk menanyakan keberadaan ibu. Jalan demi jalan aku lalui bersama Toni berharap bahwa ada satu tetanggaku yang tau tentang keberadaan ibuku, dan langkahku ditemani isakan tangis yang membuat harapankupun menjadi hilang tentang ibuku. Tak ada satu orang tetanggaku pun yang tau keberadaan ibuku. Akhirnya aku sudah tidak bisa menahan rasa tangisku. Aku menangis terisak-isak dipinggir jalan untuk kesekian kalinya di pusat kampung tempat aku tinggal. Aku menangis berharap ada orang yang memperhatikanku. Rasa tangisku merupakan rasa tangis bukan lagi karena aku marah pada ibuku tapi karena aku sudah merasa kangen pada ibuku, aku rindu dan semakin khawatir pada keadaan ibuku. Dan akhirnya salah satu tetanggaku membawa aku kerumahnya dan memberikan aku makan. Setelah aku kenyang aku memutuskan untuk pulang saja. Dan Tonipun pulang kerumahnya. Saat aku masuk kerumah ternyata keadaan rumahku tak jauh berbeda. Masih hampa bersama barang-barang tua milik kami. Aku menuju kamar mengambil baju ibu yang tergantung dibelakang pintu kamar, menciumnya dan memeluk baju itu dengan rasa kangen sambil aku kembali menangis dan berharap ibuku akan pulang. Aku semakin ketakutan.
Andai saja ayah tidak pergi meninggalkan rumah saat aku masih berumur satu bulan. Mungkin rumah ini tidak sesepi ini, kalau tidak ada ibu kan masih ada ayah. Namun tidak untuk kali ini, aku merasa kedua-duanya sudah tidak ada. Aku melamun, merenung dan masih terisak-isak. Keadaan rumahku terasa hening sekali dan akupun menangis semakin menjadi-jadi. Hingga energiku habis untuk menangis dan merasa sangat kehausan.

Tepat saat pukul 2 siang tetanggaku datang kerumah, dia bernama mbok inah, biasa dipanggil mbok gosok karena pekerjaannya sehari-hari hanya sebagai tukang gosok dan tukang cuci dikampung kami. Tapi mbok gosoklah yang paling akrab dengan ibuku. Aku merasa harapan itu ada dengan hadirnya mbok gosok, setidaknya aku bisa makan. Dan semoga saja mbok gosok datang untuk mempertemukan aku dengan ibuku.
“Dion, maaf yon, mbok telat. Ya ampun, keadaanmu kok begini. Ayo mbok mandiin. Mbok tadi harus mencuci dirumah ibunya Toni dulu, padahal mbok mau kerumahmu tadi pagi. Mbok sampe lupa” aku sempat menolak ajakan mbok gosok untuk memandikanku.
“Ibu mana mbok?” terisak dan berharap.
“Kamu mandi dulu yah, ntar kamu ditempat mbok aja, soalnya mbok gak bisa lama-lama dirumahmu. Mbok harus gosok baju lagi ni dirumah. Cup...cup...cup....”
            Aku menurut pada si mbok dan keadaan sudah semakin membaik. Aku ikut si mbok kerumahnya dan menonton TV bersama kak Darsum, anak dari Mbok gosok. Tiba-tiba aku digaungi kembali oleh kerinduanku pada ibu.
Ibuku memang sangat tegas, perawakan ibuku yang memang tidak seperti wanita biasanya membuatku sangat takut pada ibuku, Ibu tidak pernah tidak untuk memukulku jika aku melakukan sebuah kesalahan, ibu tidak pernah tidak berhenti mengoceh jika aku pulang kerumah dengan keadaan kotor. Bahkan ibu tak pernah segan untuk mengusirku dari rumah hanya untuk mengancamku jika aku bertindak melebihi batas. Itulah yang terjadi pada lingkungan keluargaku. Kami dipaksa untuk memutarbalikkan arti dari sebuah kasih sayang dengan kekerasan. Kami dipaksa untuk membuat sebuah hantaman sebagai sebuah teguran. Itulah didikan oleh seorang ibu yang tak kunjung juga datang. Namun semua itu tetap aku rindukan pada sosok ibuku, wanita berumur 38 tahun yang tidak ada kabarnya hingga kini.
Aku kembali menanyakan pertanyaan yang belum sempat dijawab dengan mbok gosok tentang ibuku. Tapi mbok hanya bilang kalau ibu sedang bermain dirumah saudaraku dan menitipkan aku pada mbok untuk sebentar saja karena ini penting. Aku marah, kenapa ibu tidak mengajakku, aku ingin ikut dan memaksa mbok untuk mengantarku kerumah saudaraku yang cukup jauh. Tapi karena si mbok sibuk, mbok wanita yang berusia 49 tahun ini berjanji mengajakku nanti malam. Aku pun menurut dan sangat percaya dengan mbok gosok.

Malam hari tiba dan aku menagih janji mbok gosok untuk mengantarku, namun mbok gosok masih berkelik, dan mbok berjanji akan mengantarku seusai pulang sekolah besok. Kecewa, tapi aku benar-benar melihat mbok gosok sangat sibuk dengan pekerjaannya jadi aku memaklumi saja.
Untuk beberapa hari hingga berbulan-bulan akhirnya aku tinggal bersama mbok gosok hingga melupakan waktu dan rasa kangenku pada ibu. Aku sudah tidak berharap lagi ibu dating. Menurutku ibu sudah keterlaluan dan tidak perduli lagi padaku. Jadi aku dengan sangat terpaksa untuk tinggal dengan wanita tua renta yang aku anggap juga dengan terpaksa sebagai ibu penggantiku.
Meskipun mbok gosok sangat baik hati dan berlapang dada untuk merawatku hingga dewasa, namun perlakuanku padanya memang sangat tidak pantas. Tapi menurutku wajar saja untuk anak seusia aku yang masih haus kasih sayang dengan ibu kandung.
Pada suatu hari mbok gosok dating kesekolah berniat untuk menjemput dan membawakan aku payung karena hujan dating sangat lebat siang itu. Dengan langkah tertatih tua rentah mbok gosok jalan dari kejauhan dengan penampilan yang lusuh dan menghampiriku. Penampilan mbok gosok sangat lusuh sekali sangat mencerminkan seorang tukang cuci. Dan aku pun jadi malu dengan adanya mbok gosok siang itu. Untuk menghindari ejekan dari teman-teman. Aku segera menuju gang sempit didekat sekolah untuk memanggil mbok gosok agar tidak ketahuan teman-teman. Namun meskipun bangkai disembunyikan tetap saja akan ketahuan, akhirnya Rega dan kawan-kawan memergoki ku dan berkata.
“Sejak kapan kamu punya pembantu?”
“Diam kalian”

Aku pun marah dengan mbok gosok membawaka aku paying kesekolah. Padahal kalau saja dia tidak dating, mungkin teman-teman tidak tau kalau mbok gosok yang memang sudah dikenal teman-teman sebagai tukang gosok tiap rumah adalah yang mengasuhku semenjak ibuku pergi tanpa alasan.
Suatu hari mbok gosok memiliki inisiatif yang menurut aku sangat bodoh.
“Dion, kalo besok kamu mau gak bantuin mbok untuk ambil cucian kotor dirumah pak Rastam? Mbok lagi gak enak badan ini. Tidak tau kenapa dada mbok sesak beberapa minggu ini.”
“Loh kok mbok sekarang nyuruh-nyuruh Dion? Mbok kan bukan siapa-siapanya Dion, Cuma tetangga yang disuruh jagain Dion. Ntar kalau mama datang, Dion bilang kalau mbok sudah menyuruh-nyuruh Dion seperti ini”.

Dengan nada yang sambil menahan batuk mbok berkata: “Ya sudah, nanti mbok menyuruh mang Asep saja mengambil ke rumah Pak Rastam sebelum dia narik becak, kamu belajar sana yah.”
Malam itu aku merasa menang, dan aku selalu mengeluarkan ancaman-ancaman itu kepada mbok gosok kalau dia berani-berani memperlakukan aku tidak sesuai dengan keinginanku. Karena menurutku, pasti ibu sudah membayar mbok gosok untuk merawatku. Ada hikmahnya juga aku tidak tinggal dengan ibu, tinggal bersama mbok gosok aku selalu dimanja dan dipenuhi semua keinginanku karena aku sangat dimanjakan sekali. Karena mbok gosok tau, kalau selama tinggal dengan ibu, aku selalu dimanja dan disayang.
Pada suatu malam saat aku ingin pulang dari bermain dengan teman-teman, aku melihat mbok gosok terjatuh sambil memegang tumpukan pakaian kotor yang di bawanya dari rumah tetangga hingga pakaiannya berserakan di jalan. Aku melihat mbok gosok dari kejauhan. Karena aku malas membantu mbok gosok dan kalau aku berpapasan dengannya namun tidak membantu membawa pakaian kotor yang dibawanya yang berat dan bau, pasti tetangga-tetangga akan mencibirku.  Aku memutuskan untuk lewat gang lainnya menuju rumah dan membiarkan mbok gosok tersungkur. Biarkan saja dia, toh juga dia bukan siapa-siapa saya.
Perlakuan yang menurutku keterlaluan bukan hanya itu, suatu saat aku ingin meminta uang pada mbok gosok untuk membeli mainan seperti Tony.
“Mbok, aku minta uang lagi, mau beli mainan seperti Tony”.
“Untuk apa? Mainan kamu masih banyak, mbok udah gak punya uang lagi”.
“Uang kiriman ibu pasti mbok pakai bukan keperluan pribadi ya mbok, mbok benar-benar keterlaluan. Nanti Dion akan bilang ke Ibu”.
“Baik besok pagi beli yah, mbok pinjam dulu ke Pak Rastam”.
Lagi-lagi dengan ancaman itu mbok langsung luluh.
Sudah pagi dan tidak ada yang menyiapkan pakaian sekolahku dan juga makan sarapan di rumah mbok gosok. Aku pun sontak kesal, karena hari itu aku sudah bangun kesiangan dan aku tidak mau lagi dihukum mencabuti rumput sekolah karena telat. Aku langsung menuju kamar mbok gosok.
“Mbok, pakaian sekolah aku mana? Sarapan juga gak ada, mbok malah tidur-tiduran. Dion gak tau gimana kalau ibu bisa tau kalau Dion gak diurus dengan baik dengan mbok. Mbok bangun dong mbok sekarang, Dion gak mau telat”. Sambil menarik-narik paksa mbok gosok dari tidurnya aku memaksa mbok gosok.
Dengan nada batuk-batuk mbok gosok melepas tangannya dan menariknya
“Mbok jahat sama Dion, mbok gak ngerti gimana Dion dihukum kalau Dion telat”.
“Dion itu sudah kelas 5 SD sekarang, jadi harus sudah bisa urus semuanya sendiri. Mbok lagi tidak enak badan Dion”.
Aku semakin mengamuk dan berteriak “Dion bakal aduin ini ke ibu”.
Aku meninggalkan mbok dan terlintas aku melihat mbok gosok batuk mengeluarkan darah dank arena aku kesal dan marah aku tidak perduli dan meninggalkannya. Akhirnya mang asep mendengar teriakanku dan berjalan cepat menghampiriku dari luar rumah. Anehnya kenapa mang asep tidak naek becak hari ini. Lagi-lagi aku tidak perduli. Mang asep dating dengan wajah marah dan ekspresi wajah penuh kekesalan dan hendak memukulku.
“Kamu dasar anak keterlaluan gak tau diuntung. Mbok lagi sakit parah begitu, tetap saja tega. Manja banget kamu ini”.

Aku menangis masuk kekamar dan memutuskan untuk tidak mau sekolah. Mbok gosok pun marah pada mang asep yang sudah memperlakukan aku keterlaluan hingga berani memukulku. Akhirnya terjadi pertengkaran hebat antara mang asep dan mbok gosok yang aku tidak tahu intinya apa. Adu mulut mbok dengan mang asep berujung dengan kata-kata bahwa mbok mengusir mang asep dari rumah. Aku tetap tak mau memperdulikan mereka. Yang jelas, aku akan memberitahukan ibu kalau nanti ibu pulang. Mang asep pergi untuk beberapa hari meninggalkan mbok gosok sendirian. Namun karena tidak tega mang asep pulang dan meminta maaf pada mbok gosok karena telah memperlakukan aku seperti ini.
Sore harinya aku menghadiri penghargaan lomba puisi dan aku menjadi juara terbaik di tingkat Sulawesi Selatan. Dan keesokan harinya, aku melihat mbok sedang berbicara dengan wali kelasku atas prestasiku yang membanggakan dan Bu guru menghampiriku.
“Dion, tadi ibumu kesini, bu guru Cuma mau kasih tau kalau uang hadiahmu nanti akan diserahkan ke ibumu”
“Bu, dia itu bukan ibu saya, dia Cuma orang yang di bayar ibu untuk mengasuh saya, uangnya kasih saya aja bu, biar buat beli buku. Nanti kalau dikasih kedia, bakal dipake untuk keperluan pribadinya bu. Uang kiriman ibu untuk merawat aku aja di simpen untuk kepentingan dia pribadi bu”.
Bu guru malah memarahiku dan tidak sependapat. Akhirnya uang tetap diserahkan ke mbok gosok karena aku masih terlalu kecil untuk menerima jumlah uang yang lumayan besar. Setidaknya aku tambah ada alas an kalau mbok memperlakukan aku tidak baik, yaitu uangku yang di pegang mbok.
Pada suatu ketika aku sempat merasa iri dengan semua teman-temanku yang memiliki keluarga yang utuh, ibu, ayah, kakak dan semua saling membahagiakan. Tidak seperti diriku yang merasa hampa tanpa siapapun, tanpa keluarga dan yang jelas tanpa kehadiran ibu kandungku. Tingkah lakukun semakin menjadi-jadi kepada mbok gosok, karena mbok selalu saja menganggap aku ini anak kandungnya jadi memperlakukan aku seenaknya. Aku kembali menangis dan rindu ibuku.
Kejadian itu semakin terus berlangsung hingga aku berusia 10 tahun kini. Aku sudah duduk dikelas 5 SD. Mbok gosokpun semakin lupa untuk memberitahukan keberadaan ibuku kini. 5 Tahun sudah ibuku pergi tanpa kabar dan meninggalkan aku dan kakakku berdua saja di kampung kecil ini, akupun tidak tau dimana ibuku berada. Karena mungkin waktu yang sudah berlarut, akupun semakin tidak memperdulikan lagi keadaan ibuku, aku seperti hidup tanpa ayah dan ibu saat ini, aku sebatang kara dengan seorang kakak yang sekarang memutuskan diri untuk merantau keluar kota yang akupun tak tau entah dimana, aku benar-benar sebatang kara.
Aku hidup dengan si mbok yang sudah semakin tua dan rapuh, akhir-akhir ini si mbok sudah sering sakit-sakitan dan jarang sekali bekerja. Mungkin karena usianya yang sudah tua. Dan aku tidak perduli karena dia hanya tetanggaku yang dibayar ibu untuk mengasuhku. Mungkin sama seperti ibuku juga, aku tidak lagi mau tau tentang keberadaan ibuku lagi. Cukup, ini yang terakhir aku kangen dan rindu pada ibu.
----------

Hingga pada suatu sore saat aku sedang bermain dengan teman-temanku dilapangan kampungku hingga waktu maghrib tiba, adzan berkumandang sore itu seperti memberikan sebuah peringatan dibarengi dengan teriakan yang kini menjadi tetap khas ditelingaku “Dion, pulang. Ini sudah maghrib” Aku mendengar dengan seksama suara itu. Dengan sangat seksama. Aku seperti hafal dengan suara ini. Aku yakin bahwa ini bukan suara mbok gosok karena tidak mungkin mbok gosok yang sudah sakit-sakitan itu bisa memanggilku dengan nada yang sekeras itu. Aku semakin menyimak dan terus menyimak suara itu dengan baik, Aku merenung dan berhenti bermain dengan teman-temanku. Aku bermaksud untuk mengingat-ingat suara panggilan siapa ini? Sepertinya aku kenal dengan suara ini, tanpa menunggu lama aku langsung membalikkan badanku untuk memastikan suara ini datang dari siapa? Saat aku membalikan badanku, aku melihat seorang wanita yang sangat aku kenal dengan baik tepat berada 100 meter didepanku yang saat ini sedang memanggilku. Yah! Aku sangat kenal dengan suara ini. Ini suara ibuku yang sudah 5 tahun menghilang tak ada kabarnya. Aku berlari mendekat dan semakin medekat seakan memastikan kebenaran bahwa ini benar-benar ibuku. Ternyata kedekatanku semakin meyakinkanku bahwa ini benar-benar ibuku. Aku menangis haru dicampur bahagia dan segera dengan lekas memeluk ibuku. Masih dengan gaya khasnya, ibu masih memegang gagang sapu memanggilku pulang di sore itu ditemani kumandang adzan yang membawa kebahagiaan. Ibuku pulang, ibuku datang.

Aku pulang kerumah yang sudah lama aku tinggalkan karena aku harus tinggal dengan si mbok saat ibu pergi. Dan setibanya aku dirumah, aku melihat keadaan rumahku berbeda, semua barang sudah dipacking rapih, termasuk semua barang-barangku. Ini menandakan kalau aku akan pergi jauh.
“Bu, kita mau pergi kemana?” tanyaku.
“Dion, ibu hanya punya waktu 1 hari untuk izin dari majikan ibu di malaysia, besok kamu ikut ibu tinggal di malaysia untuk selamanya yah. Bos ibu mengizinkan ibu untuk mengajak seorang anak untuk tinggal bersama. Kamu siap-siap ya dion. Mbok gosok sudah mengurus semua tentang sekolahmu, kita berangkat besok yah!”
Ibu membawaku pergi dari kampung kumuh yang telah meninggalkan banyak cerita buatku, cerita tentang bagaimana indahnya kehilangan. Aku juga meninggalkan si mbok yang sudah tua rentah untuk ikut ibuku yang ternyata selama 5 tahun ini bekerja untuk masa depanku menjadi seorang pembantu di salah satu bos kelapa sawit di Malaysia, aku pun tidak menyangka bahwa ibuku pergi ternyata untuk mencari nafkah keluarga dan selama ini Ibu juga mengirimi si mbok uang untuk merawatku dengan baik. Aku harus pergi kenegara yang sudah sering aku dengar namanya di TV. MALAYSIA. Menjadi anak seorang TKW.
Sudah beberapa hari aku tinggal di Malaysia dengan hidup bahagia dan nyaman dan tentunya tidak seperti tinggal dengan mbok gosok yang cerewet. Hidupku dan ibu sekarang sudah lebih baik dari dulu, ibu mendapatkan majikan yang sangat baik pada ibu dan juga padaku. Hingga aku melupakan masa-masa 5 tahun aku tinggal bersama mbok gosok dan bahagia disini. Kakakku hingga kini tak ada kabarnya, dan ternyata ibu memasukkannya ke pondok pesantren di pulau jawa untuk 6 tahun.
Pada suatu malam ibu bertanya padaku tentang hidupku bersama mbok gosok. Akhirnya aku menceritakan semua perlakuan-perlakuan jahat mbok gosok kepaku. Dari yang menjengkelkan sampai hal yang membuat aku menangis. Aku juga melaporkan pada ibu kalau mbok gosok selama ini menyelundupkan uang kiriman ibu untukku. Karena aku memang sudah terlanjur jengkel tidakkaruan dengan mbok. Dan pada malam itu terjadi sebuah rahasia besar yang akhirnya harus ibu ungkapkan.
“Dion, Ibu gak percaya dengan kata-katamu. Gak ada ibu yang mau jahat kepada anak kandungnya. Kamu pasti sudah keterlaluan dengan mbok gosok”.

Aku sangat kaget dengan perkataan ibu yang menurutku itu tidak sengaja ibu ucapkan.
“Maksud ibu, ibu kandung apa bu? Bukannya ibu kandung aku itu ibu?”
“Sudah kamu tidur saja”. Ibu merasa serba salah dan memaksaku tidur.
Karena tidak mau membantah aku segera tidur. Keesokan paginya aku mendengar ibu menelpon seseorang yang aku yakin dari Indonesia dan dengan nada kecil aku mendengar bahwa ibu mengatakan kalau keadaan mbok sudah semakin parah. Namun aku tidak memperdulikannya, mungkin ibu prihatin saja pada mbok gosok karena dia sudah mengurusi aku selama ibu pergi. Karena sadar aku telah menguping ibu menutup telpon dan menyuruhku untuk segera berangkat sekolah.
Aku berangkat sekolah.
Sepulang dari sekolah disaat aku yakin keadaan tenang dan baik-baik saja. Aku iseng untuk bertanya tentang perkataan ibu semalam saat marah padaku.
“Bu, boleh gak dion Tanya ke Ibu, tapi ibu harus jujur ya sama dion. Kan dion udah kelas 2 SMP, usah gede untuk diajak cerita sama ibu”.
“Iya, ibu janji, kenapa?”
“Dion pengen Tanya tentang kalimat ibu semalem ke Dion”.
Setelah beberapa kalimat ibu mengelak dan mencari-cari alasan, namun Karena aku memaksa, akhirnya ibu mau menjawab. Dan akupun terdiam dan sangat serius mendengarkan sambil tertawa-tawa kecil karena aku yakin ibu akan menjelek-jelekkan mbok dan memujiku.
“Begini Dion, ibu minta maaf sebelumnya. Mungkin kamu terlalu kecil mendengar perkataan ibu. Tapi ibu juga bingung mau ngomong kapan sebelum terlambat. Sebenernya mbok gosok itu ibu kandung kamu. Dan ibu hanya tetangga biasa kamu. Mungkin kamu sulit mengerti dion. Ibu hanya punya satu anak, semua tetangga di kampong juga tau itu yaitu kakakmu yang sekarang di pesantren. Pada waktu itu mbok gosok hujan-hujan kerumah ibu. Tepat jam 1 malam. Mbok gosok hamil 9 bulan mengandung kamu. Mbok minta diantar kerumah sakit karena beliau dulu tinggal tanpa mang asep dan suaminya. Akhirnya ibu mengantarnya untuk melahirkan kamu ke rumah sakit. Kabar yang sangat mengejutkan yang pada akhirnya mbok gosok tau adalah karena dia melahirkan di usia yang sangat tua sehingga sudah tidak mampu lagi melahirkan ditambah lagi karena dia tetap bekerja keras meski hamil kamu. Suaminya juga menghilang entah tau kemana, mang asep juga bekas teman dekat suaminya dulu yang prihatin dan akhirnya tinggal dengan mbok gosok Akhirnya beliau terkena penyakit kanker di rahim. Dokter memprediksikan bahwa mbok akan hidup hanya 1 atau 2 tahun saja karena kanker ini sangat ganas. Karena semangat hidupnya yang luar biasa dalam hidup membuat prediksi dokter semakin salah hingga umurnya semakin tua. Sampai-sampai beliau berharap mati karena tua, bukan karena sakit karena melahirkan kamu. Karena mbok tidak ingin membuat kamu merasa bersalah dewasa nanti atas kematian mbok. Sampai detik ini mbok sehat-sehat saja. Mungkin kalau kambuh dia akan batuk darah yang kalau terus dibiarkan terus menerus akan membuat dia semakin parah penyakitnya. Akhirnya mbok membuat kesepakatan agar kamu diasuh dengan ibu dengan alasan, mbok gak mau kamu punya ibu hanya untuk hitungan 1 atau 2 tahun saja. Menurut mbok, bersama ibu masa depanmu akan sedikit lebih cerah. Padahal mbok gosok ingin sekali bersama kamu meskipun kamu tinggal dengan ibu, mbok tetap tau tentang kamu. Bahkan mbok yang mengurusi kamu dalam hal financial. Akhirnya ibu pergi kemalaysia dan dipastikan tidak akan pulang ke Indonesia. Tau tentang kabar ini, akhirnya mbok memutuskan agar kamu kembali hidup bersama mbok, ibu kandung kamu. Dengan alasan agar mbok akan mati di usia tuanya bukan karena penyakitnya di dekat kamu anak kandungnya. Jadi dengan terpaksa ibu meninggalkan kamu diam-diam dan tinggal bersama mbok dengan status sebagai pengasuh. Menurut mbok, yang penting bisa tinggal sama kamu dengan status pengasuh dari pada tidak sama sekali. Bertahun-tahun si mbok tinggal sama kamu dalam rasa sakitnya yang semakin parah. Sampai pada akhirnya mbok menelpon ibu untuk menjemputmu. Mbok bilang, kalau mbok ingin lihat kamu bahagia meski gak bersama ibu kandungnya. Karena kamu lebih bahagia bersama ibu. Mbok sudah putus asa dan bingung mau berbuat apa lagi. Akhirnya ibu menjemput kamu dan tinggal bersama ibu”.
Aku menangis secara pelan-pelan dan semakin terisak.
“Ibu jahat”
“Ibu minta maaf, sekali mbok gak salah, karena menurut mbok itu yang terbaik. Mbok hanya ingin melihat kamu bahagia dengan atau tanpa status mbok sebagai ibu kandung kamu, mbok gak salah nak”.
Aku masih menangis dan merenung, tiba-tiba ibu menerima telepon dari Indonesia. Dan ibu menangis di telpon lalu menjatuhkan telepon dan tetap menangis. Semakin heran aku mendekati ibu dan menanyakan keadaan ibu.
“Si mbok meninggal Dion”.
Aku terkejut dengan kalimat yang ibu ucapkan dan aku pun ikut menangis termenung bersama ibu. Aku kembali ke Indonesia satu minggu setelah si mbok atau lebih tepatnya ibu kandungku meninggal dunia. Aku pergi ke Indonesia menuju ke pemakaman dimana tempat ibu kandungku di makamkan. Aku terduduk lemah tak berdaya dihadapan wanita yang sudah berjuang melahirkan aku kedunia ini. Mungkin sudah terlambat untuk mengatakan semua nya, untuk meminta maaf atas segala kesalahan yang aku perbuat. Aku menzolimi ibu kandungku sendiri. Mungkin aku bisa saja marah dengan keadaan atau mengecam Tuhan yang menakdirkan jalan hidupku seperti ini. Tapi itu tidak mungkin dan akan membuat ibu akan semakin marah padaku. Tiba-tiba air mataku menetes jatuh ketanah kuburan ibu.
“Ibu, Dion minta maaf. Dion Cuma mau bilang ibu gak salah dan Dion yang salah. Dion mau ibu ada lagi disini. Dion ingin tinggal bersama ibu dengan status bukan sebagai pengasuh, tapi sebagai ibu kandung Dion… Ibu…”. Aku menangis.

Ini memang kesalahan terbesarku diusiaku 14 tahun. Aku salah mengartikan kata ibu dalam hidupku. Ibu adalah orang yang merawat kita dengan sepenuh hati dan cinta, semua wanita yang dengan tulus dan ikhlas memberikan cinta adalah sesosok ibu yang nyata. Ibu tidak pernah ingin menyia-nyiakan anak kandungnya. Itu karena kita yang tidak tau makna kebaikan didalamnya. Yah, karena ketidaktahuan kita. Maafku mungkin tidak akan sampai ke telingamu, tapi aku yakin engkau akan merasakannya disurga dan tersenyum padaku. Ibu, maafkan aku. Ibu.

Aku marah pada dunia saat aku merasa Tuhan sudah membuat cerita yang salah. Tuhan memutar semuanya hingga semua menjadi salah. Kekejaman dunia ternyata bisa membuat seorang anak dan ibunya terpisahkan seakan tak terpikirkan. Lagi-lagi alasannya karena dunia yang begitu kejam, sehingga kasih sayangpun dilupakan. Aku murka kenapa semua kembali normal begitu saja ketika harapan ingin aku buktikan. Dan pada akhirnya harapan itupun harus aku buat lagi dari sebelum aku bermimpi. Aku benar-benar dipermainkan dengan istilah kasih sayang. Dan Tuhan menjawab semuanya seolah memberikan ini menjadikan tantangan yang harus aku jawab hingga hidup tak lagi berulah pada alur ceritaku. Tuhan akan menjawabnya, karena Tuhan punya maksud dalam setiap kekejamannya. Karena Tuhan tak pernah KEJAM!

Kasih sayang bisa didapatkan dimana saja dan kapan saja. Tidak mendapatkannya? Karena tidak mau berfikir bagaimana mendapatkannya. Apakah anda berfikir?
 Anton Hidayah




Selasa, 03 Juli 2012

Suamiku Gay!




Hari ini hari keberangkatanku menuju Jakarta, kota besar idaman semua orang untuk dijadikan tempat tinggal. Kota Jakarta seakan menjadi magnet untuk seluruh masyarakat Indonesia mencari kehidupan yang berbeda dengan tempat asal mereka. Tidak salah kalau terkadang orang-orang datang ke Jakarta hanya dengan modal nekat saja untuk menyambung hidup disini, mengubah nasib mereka dan mencari sebuah harapan pada kehidupan. Jakarta menjadi kota Gila pertama di Indonesia. Sama seperti aku hari ini yang sedang bersiap-siap menuju Jakarta. Berharap pada sebuah perubahan hidupku kedepan.
Dengan membawa barang-barang yang sangat banyak dan mungkin akan diperlukan disana karena aku tinggal di Jakarta bukan untuk 1 atau 2 hari saja, karena keluargaku bermaksud memperkenalkan aku dengan jodohku di Jakarta. Dalam ruang lingkup keluarga kami memang sudah sangat terbisaa dengan perjodohan, jadi buat kami untuk apa berpacaran sebelum menikah karena toh juga nanti ujung-ujungnya tidak menikah dan orangtua kami lah yang menentukan jodoh kami. Menjadi kontroversi memang, tapi ini lah yang terjadi pada keluarga kami secara turun temurun hingga zaman modern saat ini. Kakakku juga dulu dijodohkan, namun keluarganya bahagia dan baik-baik saja. Kedua orang tuaku juga korban perjodohan dari kakek nenek ku. Jadi memang sudah bukan hal aneh dalam tradisi keluarga kami untuk dijodohkan. Kami tidak bisa menolak meskipun nanti jodoh yang kami dapatkan tidak sesuai dengan harapan kami. Sepupu saya dari Surabaya dijodohkan dengan orang yang jauh lebih tua dari usianya, meskipun kehidupan mereka tidak berjalan dengan baik-baik saja. Tapi meu tidak mau mereka harus menjalankan itu semua. Semoga saja nasibku baik kali ini. Mendapatkan jodoh yang sesuai dengan keinginanku.
Aku dijodohkan dengan keluarga dari sepupu ayahku di Jakarta. Ayahku dengan keluarganya sudah tidak lama tidak bertemu dan aku hanya dapat melihat calon jodohku melalui foto saja. Setelah ku lihat-lihat
“Not Bad Lah”.

Semua barang-barang bawaanku sudah siap untuk di bawa dan aku segera bersiap-siap untuk pergi ke JAKARTA!!! Sampai setibanya kami di Bandara kota Manado. Selama perjalanan beberapa jam akhirnya kami tiba di bandara Soekarno Hatta, sambil menunggu jemputan dari keluarga di Jakarta aku duduk didepan toko minuman di bandara itu untuk berehat sejenak. Jodohku nanti bernama Joni, kalau aku lihat dari fotonya, Doni bertubuh tinggi besar, berbadan atletis dan gemar berolahraga. Sampai detik inipun aku tidak pernah tau apakah Doni sudah pernah melihatku atau belum. Setelah aku menghapun lamunanku di bandara itu. Jemputan dari keluarga Doni sudah tiba di bandara, ternyata rumah Doni dari bandara sangat jauh sekali, Doni tinggal di sekitar daerah Jakarta Selatan. Selama perjalanan aku melihat ke kanan dan kiri, menatap seluruh gedung-gedung tertinggi kota Jakarta sekaligus membuktikan dari perkataan teman-temanku bahwa di Jakarta memang indah untuk dipandang dan tidak enak untuk dirasakan. Sampai akhirnya tidak tersadar aku tiba dirumah Doni. Seluruh jenis-jenis perasaan campur aduk di hatiku saat ini. Dari mulai deg-degan, penasaran, kebingungan bahkan keraguanpun sempat hinggap dibenak aku saat ini karena sudah tinggal menghitung detik saja aku bertemu dengan pendamping hidupku kelak, seumur hidupku. Saat aku mulai melangkah memasuki pintu rumah Doni. Seakan semua menjadi lambat diiringi dengan detak jantungku yang begitu cepat dan tidak beraturan. Dan ternyata keluarga mempelai pria sudah menunggu kami tepat saat kami membuka pintu.
“Selamat datang saudaraku”

ucap Om Burhan selaku ayah dari Doni. Om Burhan mempersilahkan kami masuk langsung menuju ruang makan karena memang mereka sudah mempersiapkan hidangan yang begitu istimewa di rumah mewah milik Om Burhan. Om Burhan ternyata salah satu orang terkaya di Jakarta, sangat terlihat sekali dari bentuk rumahnya yang sangat luar bisaa sekali. Mewah. Bahkan aku tidak pernah melihat rumah seindah ini. Bagaikan istana di negeri dongeng saja, susunan rumah yang begitu rapih dilengkapi dengan perlengkapan perabotan rumah tangga yang tidak murah aku rasa. Saat makan, keluarga kami bercanda-canda kecil sekaan merka kembali ke zaman muda dulu mengenang kisah-kisah lucu mereka. Aku melihat satu persatu orang yang ada disana dengan sangat teliti, namun aku tidak melihat Doni berada di salah satu kursi meja makan itu. Aku sangat yakin bahwa Doni sedang tidak berada dirumah.
“Liza, kamu kenapa melihat-lihat seperti itu, Doni memang sedang tidak berada dirumah. Dia sedang bermain basket dengan teman-temannya. Maklumlah atlet basket”
Om Burhan berkata sambil tertawa-tawa kecil sambil memamerkan seluruh kelebihan Doni memaksaku untuk berfikir bahwa jodohku memang tepat. Tanpa segan dan membuat aku sangat malu seakan tidak mau kalah dengan Om Burhan, ayah tiba-tiba mengungkapkan hal yang menurutku tidak perlu diakatakan
“Liza tahun ini baru saja terpilih menjadi Puteri Indonesia Daerah Sulawesi Utara Han, sekitar 1 bulan lagi dia akan tampil di Jakarta untuk pemilihan tingkat nasional. Semoga saja menjadi Puteri Indonesia, cantik kan dia”.
 “Jelas saja cantik kalau kenyataanya ayah dan ibunya juga model di kampung dulu” Om Burhan mengeluarkan bercandaan khas orang tua yang sedikit kolot.
Setelah selesai makan, kami langsung  memasuki kamar untuk  beristirahat dan membereskan seluruh barang-barang kami. Kedua orang tuaku serta adikku, lusa juga akan pulang kembali ke Manado jadi mereka tidak teralu membawa barang yang begitu banyak, tidak seperti aku. Saat menuju kamar, aku melewati sebuah kamar yang aku rasa ini kamar Doni, karena pintunya terbuka dan seakan menyuruh aku untuk masuk. Aku langsung saja masuk untuk sekedar perkenalan awal sebelum aku bertemu dengan orang yang sesungguhnya dan untuk apa aku merasa malu, nanti juga aku akan sekamar dengannya. Sesaat aku melihat-lihat kamar Doni yang sangat rapih ini dan aku menilai bahwa Doni seorang lelaki yang sangat gemar berolahraga, peralatan olahraga untuk fitnes sangat lengkap dikamarnya dan aku melihat foto Doni yang sangat tampan dan macho sekali. Sangat atletis seperti seorang binaragawan tampan.
“Hei! Kamu siapa? Berani-beraninya masuk kamarku?”
Seorang lelaki berwajah tampan dengan bernada membentak melihat kearahku. “Maaf, tadi aku Cuma liat-liat sebentar aja kok”
aku yakin kalau lelaki tampan inilah yang bernama Doni.
“Meskipun kamu itu jodohku nanti bukan seenaknya kamu berani masuk kekamarku begitu saja, karena kita kan belum menikah”
Doni semakin geram. Aku langsung keluar tanpa bersuara sedikitpun khawatir Doni akan tambah geram dan tidak menyukaiku. Dengan jantung yang tidak berhenti berdebar aku melewati tubuh Doni yang bau khas seorang habis berolahraga. Aku langsung menuju kamarku. Membereskan semua barang-barangku dan beraktivitas di rumah baruku di Jakarta.
Malam hari tiba, inilah acara yang paling aku takutkan terjadi yaitu perkenalan kedua belah pihak korban perjodohan(tapi gak papa, Doni ganteng dan sempurna buat aku). Acara malam itu sangat resmi sekali mengalahkan acara rapat presiden sekalipun. Aku dan Doni duduk berhadapan untuk saling pandang, yang pastinya aku merasa bahwa hari itu sangat norak sekali. Segala rangkaian resmi adat yang sangat tidak aku mengerti akhirnya terjadi malam itu dan selesai.

Aku dan Doni dimalam yang dilengkapi dengan beribu-ribu bintang itu berbincang untuk saling memperkenalkan satu sama lain(itupun yang menyuruh Om Burhan, bukan keinginan Doni). Duduk di taman belakang rumah seakan kami berdua bingung untuk memulai perbincangan dari mana awalnya, akhirnya aku memberanikan diri membuka perbincangan malam itu.
“Dingin yah!(Basi). Oh ya, kamu habis dari mana sore tadi?”
“gak keliatan tah kalau aku habis fitnes, tubuhku saja jelas-jelas mandi keringet”
“Owh, soalnya tadi Om Burhan bilang kamu latian basket, kamu suka olahraga ya, aku liat-liat dikamar kamu banyak banget koleksi-koleksi alat-alat berat olahraga”
            “Ya”
            “...............” (perbincangan panjang)
“........Don, boleh tanya sesuatu gak?”
“apa?”
“Menurut kamu, gimana si tentang perjodohan kita? Lah kenapa kok lo mau dijodohin sama orang yang belum kamu kenal kayak aku”
“Gw udah tau lo kok Liz, Papa Mama sudah banyak cerita tentang lo dan gw juga suka memperhatikan lo lewat foto. Kalau masalah perjodohan, mau gimana lagi. Sudah jadi adat. Malah, sekarang pacar gw nerima gw apa adanya dan kami tetap berpacaran sampe sekarang meskipun pacarku tau kalau aku dijodohkan...........(Doni bercerita panjang lebar tentang kekasihnya)........ kalau lo sendiri gimana Liz?”
“Aku? Aku memang sudah tidak memutuskan untuk punya pacar kayak kamu, toh juga kasian dengan pacarku nanti kalau kita menjalani hubungan yang kita sudah tau bakal pisah. Jadi aku setia menanti kamu kok Don(Gombal)”.
“Oh”.
“Oh ya, pacarmu hebat banget ya Don, kesannya sempurna banget buat kamu, aku aja sampe merasa gak ada apa-apanya dibanding dia. Kapan-kapan kenalin ke aku yah? Jadi penasaran nih dengan tuh cewek”.
“...”.
(Doni ingin mengatakan sesuatu namun tidak sempat karena terpotong dengan panggilan Om Burhan yang menyuruh kamu segera masuk karena sudah larut malam). Besok pagi Om Burhan akan mengajakku ke venue acara pelaksanaan Pemilihan Putri Indonesia bulan depan. Aku sangat penasaran sekali dengan jawaban Doni yang sempat terpotong tadi, nampaknya sangat penting sekali. Dan Donipun sangat ingin mengatakannya.

Lusapun tiba. Akhirnya kedua orang tuaku pulang ke Manado dan tinggal aku di tempat Om Burhan menunggu acara Pemilihan Puteri Indoneisa itu. Keluargaku tidak bisa menghadirinya karena ada keperluan di saat hari penobatan, namun tidak apa-apa karena keluarga Om Burhan sudah aku anggap keluarga ku sendiri meskipun aku dan Doni belum menikah. Aku dan Doni bermaksud melangsungkan pernikahan tahun depan.

Selama 1 bulan aku bersama Doni tinggal bareng satu rumah dan sudah banyak hal yang kami lakukan disini, kami sering berjalan-jalan, menonton bahkan aku sempat dikenalkan dengan beberapa teman akrab Doni, sehingga dari semua kejadian yang aku alami membuat aku yakin kalau Doni merupakan jodohku dan hingga aku benar-benar mencintainya sepenuh hatiku. Dari semua kerabat dekat Doni, Doni memiliki satu orang sahabat yang sangat akrab sekali, namanya Andre. Andre merupakan teman SMP Doni hingga saat ini. Karena akrabnya persahabatan mereka berdua, mereka selalu satu kelas hingga kuliah dan saat ini bekerja di tempat yang sama. Salah satu advertising di Jakarta, agak nepotisme karena perusahaan advertising ini milik Doni seutuhnya. Aku juga sangat menyukai Andre karena dia adalah orang yang menyenangkan buatku. Orangnya agak manis, berkulit putih dan sangat mirip sekali seperti boyband kore saat ini. Hampir setiap hari Andre menemani kami jalan-jalan di Jakarta dan Andre cukup menghibur. Dan kejadian beberapa hari ini sangat meyakinkanku bahwa Doni adalah jodoh yang tepat buatku.

Hingga sampai saatnya acara pemilihan Puteri Indonesia dimulai dan aku segera menuju panggung untuk gladi resik acara resminya nanti malam. Doni tidak sempat mengantarku karena ia akan menyusul dengan Andre saat gladi resik dilaksanakan. Tapi kenapa sampai saat ini Doni belum juga datang. Aku mencoba menelpon Doni namun telponnya tidak diangkat. Aku semakin khawatir. Sambil menunggu Doni datang aku ke toilet sebentar untuk  membersihkan sisa make up yang sedikit berantakan di wajahku. Tolilet di gedung ini sangat membuat aku bingung hingga aku harus berputar-putar arah mencarinya. Ketika aku hendak menuju toilet, aku melihat mobil Doni sudah ada diparkiran dan tanpa ragu aku menuju mobil Doni diparkirkan berharap dia masih berada di mobil. Dengan rasa senang dan penuh harap aku menghampiri Doni. Rasa semangat dan yakin memenangi kontes ini pun semakin bertambah dengan aku melihat Doni disini. Harapanku hampir saja pupus kalau Doni tidak datang. Karena hanya Donilah yang bisa membuat aku semangat mengikuti kontes ini karena keluargaku tidak bisa menghadirinya. Aku berlari dengan tergesa-gesa dengan semangatku yang tiba-tiba saja bertambah 180 derajat. Namun.
Entah mengapa kakiku rasanya ngilu tidak karuan dilangkahku saat itu. Aku melihat kakiku sudah tidak bisa melangkah kedepan lagi. Puncak semangatku tiba-tiba saja menjadi rasa kecewa. Seperti pisau yang mengoyak-oyak hatiku saat aku sedang tertawa bahagianya. Aku pasi dan terdiam saja sambil menahan air mataku yang menantang ingin jatuh. Aku layu dan pasi. Kebahagiaan yang datang tiba-tiba malam itu seperti tak ingin berteman denganku terlalu lama. Aku menyaksikan hal yang seharusnya tak mungkin aku saksikan. Aku melihat hal yang seharusnya mustahil akan terjadi. Aku semakin layu saat melihat Doni berciuman dengan penuh nafsu liarnya. Dia mencium orang seperti ia mencintai dengan sepenuh hati. Doni berciuman liar didepanku bersama Andre.

Aku semakin jijik melihatnya, aku seperti melihat seekor lintah sedang enaknya menyedot darah manusia. Menjijikan. Penglihatanku membuat rasaku menjadi mual dan airmataku sudah tak dapat aku bendung lagi. Aku muntah, menangis dan berlari dengan perasaan galau menuju toilet. Aku menagis ditoilet saat itu, perasaanklu hancur muram dan bingung tidak karuan. Aku remuk seakan raga sudah tak punya masa lagi. Tangisanku sangat terisak-isak sehingga membuat orang yang berada di toilet itu khawatir terhadapku. Aku ingin sekali melawan takdir saat itu. Aku liar, ganas dan tidak menjadi diriku saat itu. Aku berteriak seakan emosikupun tak dapat bersahabat. Aku hilang akal pikiran dan mengamuk seliar-liarnya di toilet itu. Aku menghapus make up tenal di mukaku dengan kekuatan penuh sehingga membuat wajahku nyeri dan terluka karenanya. Aku benar-benar sedang berada pada titik payah kehidupan. Tapi kenapa keadaan seperti ini rasanya tidak tepat. Aku dihancurkan oleh orang yang seharusnya mendukungku. Aku dipatahkan oleh orang yang seharusnya mendorongku pada malam ini. Aku sudah tidak memikirkan kontes ini lagi. Aku hancur malam itu. Pikiran untuk menangpun sudah menjauh mengambang pergi dari pikiranku. Aku benar-benar layu. Aku ingin hidupku dan aku ingin masa depanku. Lelaki yang seharusnya bisa mendampingiku malah mendorong hidupku jauh dari kenyataan atas kebahagiaan. Aku terselungkup pada lingkaran yang aku buat sendiri dan mengaku kalah, mengaku kalah dengan keadaan yang selama ini tidak aku pikirkan.
Acara pemelihan pun segera dimulai dengan khidmat. Aku sangat melihat dengan jelas, Doni yang duduk tepat bersebelahan dengan Andre, dan Om Burhan beserta keluargaanya. Aku jijik dan semakin jijik melihat mereka berdua berdampingan. Aku jijik. Doni tersenyum bahagia seolah memberikan semangat usaat pengumuman 10 besar nominasi terbaik diatas semua kebohongan yang telah dibuatnya. Kemunafikan dan Fake! Hingga diumumkan 1o besar wanita tercantik di Indonesia ini disebutkan dan nama ke sepuluh terpanggil dan itu bukan namaku. Aku merasa kalah 2 kali, aku merasa pecundang. Tapi sama sekali aku tidak terpikirkan atas kekalahanku padaa kontesku tapi aku kalah dari kebodohanku. Aku telah mengecewakan keluargaku dan keluarga Om Burhan yang sedang menonton di deretan bangku penonton. Aku gagal dalam kontes pemilihan ini dan bertepatan dengan aku gagal meraih cinta yang aku baru saja dapatkan dari seorang lelaki yang aku harapkan dapat menjadi pendamping hidupku yang ternyata seoarang gay. Aku menangis dan menyelesaikan acara malam itu dengan seluruh sisa semangatku hingga berakhirnya acara malam itu namun tak diiringi rasa pedih dihatiku. Rasa kecewaku.

Acara pemilihan kontes kecantikanpun berakhir dan aku akan segera mengakhiri masa depanku dan seluruh pengorbananku selama ini. Aku mengakhiri sesuatu yang baru saja aku mulai. Yah! Aku akan mengakhiri semua ini. Keluarga Om Burhan sudah menungguku dimobil beserta keluarga yang lainnya. Mereka berusaha memberikan semangat atas kekalahanku dan aku yakin mereka tidak akan bisa memberikan semangat pada kehancuran hidupku. Saat pulang aku lebih memilih satu mobil dengan Om Burhan dan tidak dengan Doni.
“Kenapa kamu tidak satu mobil dengan Doni dan Andre saja?”
“Tidak Om, Doni masih punya urusan penting dengan Andre dan aku capek jadi mau langsung istirahat”
aku menjawab karena aku masih belum siap melihat wajah mereka berdua lagi di hadapanku.
Doni tidak sama sekali menyadari kalau aku sudah tau atas hubungannya dengan Andre, jadi ia bersikap bisaa saja terhadapku. Pada suatu titik aku sudah tidak bisa lagi menahan semua kebohongan ini. Dan aku sudah bersama titik kejenuhanku pada kepalsuan hubungan ini. Aku akan mengakhirinya saat ini juga, agar Donipun senang dengan kehidupannya dan aku dapat mengulangi lagi kebahagiaanku dan terus mencari.
Saat dengan rasa heran karena Doni aku panggil tiba-tiba untuk aku ajak bicara berdua membicarakan hal ini, tentang masa depan hubungan kita. Aku mengurungkan niatku mengatakannya. Aku merasa aku terlalu egois jika secepat ini aku mengakhiri suatu hubungan yang aku mulai dengan tidak gampang. Dan sama sekali aku tidak memikirkan keluargaku, keluarga Om Burhan jika tiba-tiba saja perjodohan kami batal. Lalu bagaimana dengan hukum adat kami. Aku tidak mau menjadi penentang pertama keputusan adat yang sudah dibuat oleh para leluhurku, dan aku tidak mau membuat orang lain kecewa dan menjadi korban atas korban keboodohanku.
“...”
“Kenapa kamu Liz? Kok tiba-tiba bingung mau ngomong apa? Kenapa kamu memanggilku aneh begini.  Ada apa Liza? Aku jadi bingung?!”
“Gak jadi Don, aku sedikit pusing saja. Aku tidur dulu ya, mungkin kecapekan setelah acara tadi malam”
Aku langsung pergi meninggal Doni dengan keheranannya.
Akhirnya aku dan Doni menikah di tahun berikutnya dan memiliki 2 orang anak yang kami beri nama Danu dan Gian, semuanya laki-laki. Hingga saat ini Doni tidak tetap saja menjalankan hubungan gay nya dengan Andre dan aku sering beberapa kali melihat mereka berciuman. Dan Doni masih belum tau kalau aku sudah mengetahui hubungan mereka berdua. Bisa dibilang aku memang manusia bodoh. Kenapa aku tetap mempertahankan hubunganku dengan seorang lelaki yang menyukai lelaki. Tapi rasa cinta ini lah yang semata-mata mempertahankannya. Cinta memang buta buatku. Entah mengapa juga, aku yakin Kalau Doni punya harapan untuk sembuh dan aku yakin bisa membuatnya normal dan benar-benar mencintaiku dengan tulus. Setulus ia mencintai Andre saat ini. Segala cara aku lakukan agar membuat Doni sembuh dan kembali padaku. Dari konsultasi ke psikolog, ustadz, dan orang yang ahli dalam bidang rumah tangga cukup membuatku semangat untuk aku berperang pada hubunganku sendiri. Dan keyakinanku akhirnya terjawab.
Suatu malam aku memergoki Andre dan Doni sedang berbincang di taman dibelakang rumahku. Meskipun jarak aku menguping sangat jauh tapi suara mereka yang keras seakan membuat aku mengerti tentang pembicaraan mereka.

Doni: “Kenapa kamu kerumahku mendadak begini?”
Andre: “Aku Cuma pengen kejelasan dari hubungan kita, semenjak menikah kamu berubah. Kamu mulai seakan menjauh dari ku. Padahal dulu kamu janji kalaupun kamu sudah menikah, kamu akan tetap menjadi lelaki idamanku. Tapi kenapa semua ini jauh diluar dugaan dan janji kita dulu?. Kalau begini ceritanya, aku mau kamu cerai dengan Liza dan kita ke Belanda untuk berhubungan serius”.
Doni: “Gila kamu Andre, sebenernya kalau kamu pengen tau tentang perasaan yang aku rasakan kekamu. Dari awal kita kenal. Aku ngerasa aneh dengan hubungan kita. Jujur. Sama sekali aku gak ada rasa cinta sama kamu. Mungkin karena kamu terlalu memberikan perhatian yang lebih ke aku. Jadi kita mepersepsikan ini beda. Sampai pada akhirnya kita melakukan hal-hal yang seharusnya gak kita lakukan. Aku saying sama kamu. Tapi bukan untuk hubungan yang salah begini. Please, kamu ngerti aku. Aku sudah bahagia dengan keluarga yang mulai aku cintai. Aku sekarang mencintai Liza dan kedua anakku. Aku harap kamu mengerti itu”.
Andre: “Kamu?..............” Andre meneteskan air mata.

Aku semakin merasa enggan untuk melanjutkan mendengar pembicaraan mereka. Aku memutuskan untuk masuk kamar dan segera tidur. Sejak saat itu aku mengetahui Doni mulai mencintaiku dan menyadari bahwa hubungan yang selama ini ia jalani adalah sebuah kesalahan. Aku tetap berjuang sebagaimanapun caranya untuk mempertahankan rumah tanggaku dan membuat Doni lebih sadar dan benar-benar mencintaiku.
Akhirnya lama-kelamaan seiring perjuangankku dan berjalannya waktu, Andre meninggalkan Doni untuk selamanya. Aku dengar kabar bahwa Andre pergi kenegeri Belanda agar bisa nyaman dengan kehidupannya. Dan aku merasa menang saat itu. Aku merasa menang pada perjuanganku. Andre meninggalkan Doni karena ia geram terhadap Doni yang sudah tidak mencintainya lagi. Semakin hari rasa cinta Doni kepadaku semakin bertambah sehingga membuat Doni jarang bertemu dengan Andre, apalagi ketika kami sudah memiliki anak. Doni terlihat sangat mencintaiku dengan sepenuh hati. Seiring aku melihat mereka berdua berkelahi karena hubungan mereka yang sudah tidak seindah dulu lagi sehingga akhirnya Andre menyerah dan pergi kenegeri dimana negeri yang bisa menerima dia apa-adanya. BELANDA. Dan aku disini masih hidup berbahagia dengan Doni dan kedua orang anakku. Perjuanganku tidak berhenti disini, karena masalah hidupku bukan hanya ini. Hidup keluargaku masih panjang dan membutuhkan perjuanganku. Benar sekali kata kedua orangtuaku, sebuah rumah tangga itu butuh perjuangan. Bukan hanya cinta.

Kehidupan rumah tangga adalah kehidupan yang dijalani atas dasar cinta, jika tidak ada maka buatlah. Hingga kamu tau bagaimana indahnya berjuang demi cinta. Hidup berumah tangga tidak berjalan hanya dengan satu kepala, maka jangan berpikir saja, tapi berjuanglah. Keluarga yang bahagia adalah keluarga yang merasa menang atas perjuangan yang diraihnya sehingga dia sadar bahwa rumah tangga bukan hanya 2 kata, tapi ada kata perjuangan didalamnya. Berjuanglah! Seburuk apapun Rumah Tangga yang pernah kamu terima, sehingga nanti kamu akan tersenyum melihat bahagia pada akhirnya. Ingatlah bahwa rumah tangga dibentuk dengan cinta pada awalnya maka tidak ada kata kesedihan sampai mati nya, kecuali untuk orang-orang yang tidak pernah berjuang pada nasib Rumah Tangganya. Kalahlah dia!

Cinta bukan bagaimana kita mendapatkannya, tapi bagaimana kita mempertahankannya.
Anton Hidayah

Sebenarnya Cinta


Tuhan, Inikah sebenarnya CINTA?


Aku mengambil secangkir teh diatas meja dan meneguknya untuk melepas sore yang penat di hari ini. Tepat sepuluh tahun pernikahanku bersama suamiku Edo. Sambil berbincang santai aku dan Edo di teras depan rumah kami, kami pun bergumam mengenang kisah manis perjalanan rumah tangga kami. Sore itu aku hanya bersama Edo, secangkir teh dan biskuit serta ditemani sebuah kisah unik yang kami kenang bersama.
Sejak SMA aku suka sekali berolahraga, mulai dari olahraga-olahraga yang biasa dilakukan oleh para lelaki hingga olahraga yang beresiko kematian. Olahraga berat seperi itu aku lakukan karena pada dasarnya aku adalah orang yang menyukai tantangan. Kedua orangtuaku sering sekali menegurku akibat dari tindakan ku ini hingga mereka sendiri sempat berfikir untuk memasukkan aku ke sekolah kepribadian agar aku dapat menjadi wanita normal yang sesungguhnya. Namun sekolah yang menurutku tidak berguna itu hanya aku singgahi selama 1 atau 2 bulan saja, selanjutnya ada saja ulahku agar aku dikeluarkan dari kursus itu. Menurutku sekolah-sekolah kepribadian hanya menghabiskan waktu-waktuku yang seharusnya dapat aku gunakan untuk melakukan hal-hal yang menantang. Ibu selalu menganggap menjadi wanita adalah harus lemah gemulai, cantik, lembut, dan santun. Semua itu jelas tidak terlihat padaku sejak kecil. Itu tak perlu disesali karena memang aku begini dan menurutku menjadi wanita tidak harus lemah gemulai, cantik, rapih dan sejenisnya. Menjadi wanita di jaman emansipasi sekarang harus bisa berprestasi dan menjadi diri sendiri. Aku sangat menghargai usaha ibuku yang ingin membuatku wanita yang dia inginkan.

Di sekolah kepribadian sangat tidak mengenakkan sekali. Aku seperti merasa tidak menjadi diriku sendiri. Aku disini benar-benar didik untuk menjadi lembut dan lemah gemulai. Dimulai dari table manner, public speaking dan semacamnya. Hal seperti itu sangat membuatku tidak nyaman dan aku merasa tidak menjadi diri sendiri saat aku menjalani semua pelatihan. Susah sekali aku menjelaskan pada ibu tentang diriku ini. Aku lebih memilih diam dan menuruti apa kata kedua orang tuaku, meski pun aku sangat tersiksa. Empat kali dalam seminggu aku menjalani pelatihan dan mungkin satu kali dalam seminggu aku benar-benar mengikuti pelatihan, selebihnya aku memilih bolos dan mengikuti teman-teman ku untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang lebih ekstrim dan adventure. Pada suatu saat ibu mengetahui hal ini dan sempat mengingatkanku dengan tegas tentang hal ini, bahwa ibu bersikeras untuk mtetap memaksakku menjadi seorang wanita yang sesungguhnya. Aku pun tidak mengerti, wanita yang sesungguhnya yang seperti apa yang ibu maksud. Lebih gilanya lagi. Tanpa sepengetahuanku, Ibu sudah mendaftarkanku pada ajang pemilihan putra-putri daerah di tempatku, acara itu satu bulan dari sekolah kepribadian ini selesai. Hingga akhirnya aku memaksakan untuk mengikuti kontes tersebut. Sesuai dugaanku semula, aku tidak menang dan ibu serta keluarga sangat kecewa sekali padaku. Lagi-lagi aku merasa tidak menjadi diri sendiri. Teman-temanku saja sampai tertawa terbahak-bahak saat aku mengikuti kontes kecantikan seperti itu. Mungkin lambat laun setelah kontes itu, Ibu mulai menyadari akan arti dari seorang wanita. Dan mulai mengenal aku sebagai seorang putrinya. Bahwa aku akan menjadi seperti apa yang aku inginkan.

Dari semua olahraga yang aku ikuti, aku hanya setia pada kegiatan-kegiatan yang berbau alam seperti panjat tebing, mendaki gunung dan menelusuri gua. Pernah suatu ketika aku tidak pamit oleh kedua orang tuaku selama 1 bulan hanya untuk kemah bersama teman-temanku di sebuah puncak tertinggi gunung di pulau jawa. Dan disanalah sebuah tragedi terjadi. Hampir satu minggu aku melakukan perjalanan menanjak gunung itu dan persiapan pun sudah lengkap dan terpenuhi hingga aku merasa bahwa perjalananku akan baik-baik saja. Gunung tersebut terkenal sangat indah dengan pemandangan alamnya, sehingga perjalanan ini menjadi perjalanan yang paling aku nanti dari perjalanan-perjalanan yang pernah aku lakukan. Perjalanan yang jauh, serta persiapan yang matang sudah aku lakukan. Izin orang tua menurutku tidak penting. Yang terpenting aku bisa memuaskan diriku sendiri dengan melakukan perjalanan yang aku yakin sangat melelahkan, memakan waktu banyak dan menyenangkan tentunya. Memang benar setelah aku tiba melakukan perjalan selama berhari-hari sangat menyenangkan sekali. Suasana pegunungan seperti membawa kedamaian dalam hidup dan membuat aku lupa akan kepenatan hidup didunia. Aku tenang seakan terbawa alam disini, kedamaian dan keindahan memang terasakan sejak awal aku melakukan perjalanan. Sangat tidak menyesal aku melakukan perjalanan ini dan ini lah yang membuat aku merasa menjadi seorang wanita dan membuat aku menjadi diriku sendiri. Tumbuhan yang terbentang sangat indah, berwarna-warni, debu-debu yang liar diudara dan dedaunan yang berbau segar.  Perjalanan ini aku yakin akan membawa cerita tersendiri dalam sepanjang sejarah adventure ku. Setelah penat aku dan teman-teman team perjalananku memutuskan untuk istirahat sejenak pada sebuah pondok yang memang disediakan untuk singgah.

Tidak lebih dari dua menit kami duduk. Tiba-tiba saja langit menjadi gelap dan cuaca mulai mendung gejala hujan akan turun. Kalau dilihat dari kalender musim, perjalanan kami bukan saat musim hujan. Dan langit semakin gelap sehingga keadaan siang haripun terasa malam tanpa bulan. Keadaan seperti ini sangat mendadak sekali terjadi, baru saja aku melihat berjuta keindahan namun hilang begitu saja dengan cuaca yang membuat kami semua terheran. Seluruh tim panik atas keadaan itu, termasuk aku yang merupakan satu-satunya wanita dalam tim itu. Langit semakin menantang dan tiba-tiba saja kabut bertebaran dimana-mana. Seluruh peserta pendakian berteriak dan keadaan semakin mencekam saat kami sudah tidak bisa saling melihat satu sama lain. Dan akupun tidak bisa melihat siapa-siapa. Aku berteriak sekencang-kencangnya seakan memberi kode kepada teman-temanku tentang keberadaanku. Namun semua orang berteriak dan saling ingin meminta tolong sehingga aku berfikir untuk mengambil jalan sendiri untuk lolos dari keadaan kiamat ini. Dengan menggendong tas besar di pundakku, aku berjalan seolah mencari jalan yang benar untuk lepas dari kabut biadab ini karena aku meyakini pasti ada suatu tempat dimana kabut sudah tidak ada. Badai datang dengan cepat dan sangat tiba-tiba hingga membuatku terpleset dan jatuh ke jurang di gunung itu. Aku menggelundung menuju lereng. Aku semakin berteriak histeris berharap ada malaikat yang tiba-tiba saja menolongku. Harapan semakin kecil ketika aku semakin berguling-guling menuju dasar terendah jurang itu dan tubuhku menghantam batu-batu besar yang menjulang gagah di tebing gunung tersebut. Terus berguling hingga aku mengeluarkan darah dimana-mana. Aku berfikir bahwa aku akan mati disini. Aku akan mengukir namaku disini, di gunung terbesar di Indonesia ini. Namaku akan terkenang sepanjang masa di gunung ini dan setidaknya aku mati menjadi seorang pahlawan yang bertempur di medan perang. Dan namaku juga akan terukir pada sebuah batu di puncak tertinggi gunung ini. Dan terus terukir. Terus saja aku berguling dan ditemani pikiran-pikiran gelap yang tiada hentinya menemaniku. Hingga akhirnya tiba di daratan terendah dan menabrak batu besar yang menjulang gagah di perbukitan batu itu. Aku lemah dan sudah tak berdaya lagi. Tubuhku terasa hancur berkeping-keping terinjak reruntuhan. Aku mendengar banyak teriakan-teriakan disekelilingku, aku pikir bahwa bukan aku saja yang jatuh kejurang itu. Namun suara satu persatu semakin menghilang, aku rasa mereka semua sudah meninggal dan melepas nyawanya di lereng ini. Dan aku berfikir hanya menunggu waktu saja untuk giliranku malaikat pencabut nyawa untuk datang dan mengambil nyawaku. Aku terdiam dan muntah darah. Namun meskipun aku tau bahwa nyawaku akan hilang, tapi aku akan terus berjuang untuk hidupku. Aku masih ingin menyelamatkan diriku sendiri. Aku teringat ibuku, aku tidak mau ibuku semakin kecewa mendidikku untuk wanita sejati sehingga berani mengambil resiko pada kematian. Aku tidak ingin membawa ibuku sedih. Namun kematian rasanya semakin dekat. Ternyata semua pikiranku salah, aku tetap baik-baik saja. Nafasku tetap menghembus kencang diiringi dengan detak jantungku yang terus berpacu. Aku tidak mati. Setelah aku menyadari bahwa diriku masih hidup, aku mencoba untuk menyadarkan diri dan bangun dari keterpurukanku namun aku tak sanggup. Untuk beberapa menit tubuhku lunglai tertimpa batu besar hingga aku pingsan tak sadarkan diri. Aku menyadari semuanya sudah menjadi gelap gulita.

Ketika aku membuka mata ternyata aku menyadari bahwa aku sedang berada disebuah tenda Mahasiswa pecinta alam dari salah satu kampus di sini. Mereka yang berada ditenda terkejut melihat akhirnya aku dapat tersadar juga, karena mereka berfikir aku akan mati karena keadaanku yang semakin parah. Aku berkenalan dengan suamiku ditenda lusuh ini. Tenda ini menjadi awal pertemuanku pada cinta sejatiku Edo. Aku berkenalan pada Edo yang menolongku dan dia menemukanku terkapar saat Edo mencari kayu bakar di gunung tersebut. Edo bagaikan menjadi seorang pahlawan buatku, karenanya lah aku bisa menyambung hidupku kembali dan aku bisa melihat dunia dengan tersenyum lagi. Bayangkan saja kalau Edo tidak mencari kayu bakar untuk membuat tenda pada acara perkemahan kelompoknya, mungkin aku sudah mati ditelan binatang buas. Dian tetap menjadi pahlawanku hingga kami menikah detik ini. Hingga akhirnya aku diberi beberapa perawatan seadanya di tenda Edo. Karena khawatir siangnya pada hari aku sadar, aku segera di larikan ke puskesmas kecamatan terdekat dan melakukan perawatan intensif. Untung saja dokter disini sudah berpengalaman sehingga tidak melarikanku ke rumah sakit di kota besar. Di puskesmas itu tidak hanya aku yang dirawat, banyak pasien-pasien lainnya yang juga di rawat di puskesmas itu. Karena korban badai gunung itu sangat banyak. Sore harinya Edo datang menjengukku untuk memperhatikan keadaanku. Aku sangat takjup pada Edo meskipun keadaanku masih sedikit kurang menyenangkan. Itulah cintaku pada pandangan pertama bertemu. Karena tidak ada yang menemaniku, Edo merelakan dirinya untuk tidak pulang bersama-sama teman kelompoknya. Edo bertanggung jawab untuk menemani aku di puskesmas ini hingga aku dizinkan pulang. Untung saja keesokan harinya dokter mengijinkan aku pulang dan Edolah yang mengantarku pulang kerumah. Kejadian itu sangat teringat dimemoriku hingga aku tua nanti.
Semenjak kejadianku itu, hubungan aku dan Edo semakin dekat. Aku dan Edo mulai jalan bersama dan menikmati waktu bersama. Hingga pada suatu malam di sebuah resto saat Edo mengajakku makan malam. Edo melamarku dan mengajakku menikah secepatnya. Bahagia sekali perasaanku saat itu, sangat tidak bisa dibayangkan. Edo menjadi cinta pertama dan terakhir untukku. Hampir seumur hidup aku tidak pernah mengenal istilah jatuh cinta. Yang aku  kenal hanyalah tantangan dan pertemanan. Hampir semua temanku laki-laki dan tidak ada rasa untuk satupun dari mereka. Hingga aku berani jatuh cinta ketika bertemu dengan Edo, aku mencintainya, sangat mencintainya untuk pertama dan terakhir. Sampai pada akhirnya aku dan Edo menikah. Penikahan kami sangat bahagia sekali. Sampai banyak sekali orang-orang yang iri akan keharmonisan keluarga kami. Karena ini keluarga yang dibentuk dengan sebuah cinta  yang sesungguhnya, cinta yang berawal dari sebuah petualangan. Awalnya pernikahan kami baik-baik saja. Kami merasa menjadi keluarga yang sempurna. Kami memiliki cinta dan kasih sayang, kehidupan kami berkecukupan dan yang pasti kami selalu bahagia. Hingga tiga tahun pernikahan kami. Kami baru menyadari bahwa keluarga kami tidak lengkap. Kami seperti merasa bahwa kami bukan keluarga tanpa kehadiran seorang anak.
Selama ini aku beserta suamiku sudah memprogramkan hal ini dengan cara berkonsultasi dan mengikuti semua anjuran dokter dan kamipun berfikir mungkin Tuhan belum memberikan saja. Namun lama-kelamaan kami berada pada titik jenuh hubungan kami tanpa seorang anak, walaubagaimanapun anak bisa menjadi penyemangat dalam hubungan berumah tangga, dengan adanya anak kita bisa tersenyum saat kita sesedih apapun. Tepatnya pada hari itu juga kami kedokter lagi untuk check kandungan lebih lanjut.
Selama 2 jam kami menunggu dokter memeriksa hasil laboratorium hingga dokter datang dengan membawa kertas hasil laboratorium itu. Dengan mimik wajah yang kecewa dokter mengatakan
“Ovum ibu tidak berkembang karena saluran rahim ibu sobek. Mungkin ibu pernah mengalami kecelakaan hebat yang menyebabkan benturan di vagina ibu sehingga luka itu menyebabkan ovum tidak berkembang dan maaf sekali bu, mungkin ibu akan mandul selamanya”
Kata-kata yang keluar dari dokter itu sungguh menukik arah hidupku. Semakin membuat aku yakin bahwa langkahku besok pagi sudah tidak dapat berjalan lurus lagi. Aku merasa menghancurkan harapan banyak orang, suamiku, kedua orang tua ku dan kedua orang tua suamiku serta semua orang yang mengharapkan ada bayi dalam kandunganku.

Hidupku berubah saat itu, aku syok dan mengalami stres yang berkepanjangan, aku lebih cenderung menyendiri dan tidak ingin bertemu semua orang termasuk suamiku sendiri. Aku semakin menggila saat itu. Suamiku semakin khawatir terhadap keadaan yang aku alami karena dia tidak mau aku hilang dari hidupnya hingga ia mencoba melakukan segala cara untuk membuatku bangkit kembali. Namun cara apapun yang suamiku lakukan tetap saja tidak berpengaruh pada keadaanku yang semakin menjadi-jadi. Pada suatu malam, saat suamiku tidak sedang berada dirumah dan aku merasa tepat untuk melakukan percobaan bunuh diri saat itu, langsung saja aku mengambil pisau yang ada didapur lalu kembali menuju kamar tidur dan menguncinya rapat-rapat agar semua orang tidak dapat mengetahuinya. Dengan air mata yang terus menetes dan pikiran gelapku yang semakin berkuasa ditemani dengan rasa penyesalanku, aku menggoreskan kaca di lenganku hingga nadiku hampir saja terputus. Darah berceceran dimana-mana dan akupun tak sadarkan diri dan hampir mati.
Lagi dan lagi aku tertolong. Hingga aku tersadar sedang berada dirumah sakit dan ternyata aku kembali hidup untuk kedua kalinya. Aku tertegun melamun atas hidup yang terjadi padaku. Aku merasa mati pada hidupku sendiri. Saat itu juga aku bertanya pada 
“Do, kenapa kamu tetap masih mau bersamaku padahal jelas-jelas kalau aku sudah tidak punya anak. Kalau kamu bertahan denganku kamu tidak punya masa depan yang indah. Kamu tidak punya generasi penerus keluarga besarmu. Aku ikhlas Do kalau kamu ingin mencari istri lagi dan meninggalkan aku selamanya, karena memang aku sadar atas kekuranganku. Aku sungguh tidak pernah menyadari kalau kecelakaan di gunung itu telah membunuh jiwaku. Membunuh hidupku dan hanya membuat hidup ragaku saja. Kenapa kamu menolongku saat digunung itu Do, kalau kamu gak menolongku mungkin saja aku sudah mati dan tenang di alam sana. Aku sekarang sudah mati Do, aku seperti mati tanpa anak  Do. Aku gak bisa bahagiain kamu. Aku berharap Tuhan mencabut nyawaku saat ini juga”
“Kamu pernah berfikir dalam hati, kenapa setiap keadaanmu yang hampir mati, Tuhan tidak mengizinkan kamu mati? Kalau Tuhan berfikir bahwa kalau kamu mati adalah yang terbaik. Tuhan sudah lama mencabut nyawamu digunung itu Put. Tapi ini tidak. Karena Tuhan sependapat denganku. Tuhan menyimpan kebahagiaan yang lain dibalik itu semua. Tuhan memberikan kita cinta put. Berapa banyak seorang ibu membuang anaknya dijalanan hanya karena ia tidak mengharapkan anaknya? Mereka tidak punya cinta put. Apakah itu keinginan Tuhan juga? Tuhan tau pada siapa ia akan memberikan anak put. Tuhan tau itu” Edo menjelaskan itu sambil memelukku erat-erat.
“Kamu tenang saja, Put. Aku akan berusaha menerima kamu apa adanya. Tidak dipungkiri kalau memang aku juga membutuhkan seorang anak seperti keluarga-keluarga lainnya, hidup bahagia. Melihat senyum saat anak kita tertidur, menggendong dan lain sebagainya. Aku ingin semua itu. Tapi satu hal Putri. Aku jauh lebih menginginkan kamu dari semua hal itu. Aku ingin kamu menjadi istriku yang dulu, tetap tegar dan aku menerima kamu apa adanya”
Penjelasan Edo membuatku luluh tak bergeming sedikitpun dan aku menangis dipelukannya penuh dengan cinta.
Sejak saat itu, aku dan Edo berencana untuk mengadopsi seorang anak dari keluarganya Edo yang sudah yatim piatu berumur 3 tahun. Aku dan Edo sudah berkomitmen bahwa anak bukan keluar dari rahim tapi dihasilkan dari hati dan cinta orang yang merawatnya. Dan kami akhirnya merasa hidup yang kami jalani sudah lengkap seperti keluarga lain, kami punya segalanya. Terutama CINTA.
--------------
Di sore yang tetap indah itu setelah saling bercerita. Aku dan Edo segera meletakkan secangkir teh kami dan Kami saling berciuman penuh cinta dan Edo berkata dengan mesra ditelingaku.
“I love you, only for you”

Banyak Ibu yang melahirkan anak kedunia tapi tidak mau tau untuk merasakannya. Banyak Ibu yang ingin merasakan anak tapi tidak dapat melahirkannya. Nikmat mana yang dapat kamu dustakan? Selagi banyak Ibu yang dapat melahirkan seorang anak dan benar-benar merasakannya untuk apa manusia yang tidak dapat melahirkan anak tapi tidak mau merasakannya. Rasakanlah, selagi rasa itu masih milik manusia seutuhnya.

Seorang anak bukan manusia yang keluar dari rahim seorang wanita hingga dapat melihat dunia tapi seorang wanita yang membuat anak tau tidak tentang dunia saja.
Anton Hidayah





Cinta yang Abadi


Biarkan Jantung ini Abadi

Sejak orangtuaku menjodohkanku kepada seorang pemuda kaya, pengusaha tekstil ternama di kotaku. Aku sudah menyadari bahwa hidupku akan menjadi buruk. Aku harus banyak berkorban untuk berusaha mencintai orang yang baru aku kenal 1 minggu sebelum pernikahan ini dilangsungkan. Aku menahan air mata ketika kekasihku datang pada saat acara pernikahanku hari ini bersama Jimmy. Ingin rasanya aku melepas baju pengantin yang sesak ini dan memeluk kekasihku yang kini sudah berstatus mantan itu. Namun rasanya hal itu sulit aku lakukan karena sesaat lagi aku akan menjadi milik orang lain. Tapi aku masih sangat mencintai kekasihku. Luthfan.
                Aku dan Luthfan sudah berpacaran lebih dari 3 tahun sejak aku masih duduk di kelas satu SMP. Banyak cerita yang sudah aku buat bersamanya. Meskipun aku dan Luthfan masih sangat anak kecil. Luthfan selalu berjanji padaku bahwa kita akan menikah suatu saat nanti, saat semuanya sudah pasti. Saat semua sudah merasa yakin. Dan saat aku dan Luthfan dewasa tentunya. Luthfan sesosok lelaki yang aku puja dan cintai. Sifatnya yang sangat dewasa dan bisa membimbingku inilah yang membuat aku jatuh cinta padanya. Aku sudah sering memperkenalkan Luthfan pada orangtuaku namun mereka selalu saja menolak dengan alasan yang sangat klasik. Karena Luthfan orang tidak mampu. Sempat suatu ketika. Ibuku mengusir Luthfan dari rumah hanya karena jengah melihat Luthfan selalu mengantarku pulang setiap malam. Lebih-lebih ayah. Ayah sangat tega menghina Luthfan dengan kata-kata kasar yang membuat Luthfan sakit hati. Namun kegigihan dia lah yang membuat aku tetap mempertahankan cinta ini. Karena aku merasa bahwa Luthfan tetap bersih keras ingin menikah bersamaku meskipun kedua orangtuaku menentang. Bahkan ayah sempat memukuli Luthfan didepan mataku karena suatu ketika Luthfan pernah mengajakku pergi hingga larut malam. Jangankan hal-hal buruk. Hal-hal baik yang selalu dilakukan oleh Luthfan selalu dianggap salah dimata ayah. Kemudian kami menjalani hubungan ini dengan status backstreet. Aku berusaha untuk tidak diketahui ayah kalau aku dan Luthfan masih berpacaran. Aku bilang pada ayah karena aku dan Luthfan sudah berpisah dan kami tidak memiliki hubungan apa-apa lagi. Semua hal itu aku lakukan karena aku tidak mau ayah meneror Luthfan. Karena aku sudah geram melihat tingkah laku kedua orang tuaku terhadapnya. Luthfan marah saat kuberitahukan hal ini. Dan kita menikmati hubungan backstreet sudah cukup lama. Hingga suatu hari ayah memergoki kami sedang berjalan di Mall dan ayah langsung menghapiri ku dan memukul Luthfan dihadapan orang ramai dan langsung menarik aku untuk pulang bersama ayah. Sejak kejadian itulah ayah berniat untuk menjodohkanku dengan orang lain. Orang yang menurut ayah tepat. Tampan dan kaya raya. Meskipun Luthfan tidak setampan dan sekaya raya Jimmy. Namun tetap saja cintaku pada Luthfan sudah melekat begitu dalamnya.
                        Seorang penghulu memukul-mukul pundakku menghancurkan ingatanku dimasa lalu. Kemudian menyuruhku untuk mengulang ucapan janji setia aku dan Jimmy. Dan acara hari itu aku anggap sebagai sebuah kekosongan belaka. Acara pernikahankupun usai, dan babak baru dalam kehidupanku pun dimulai. Tanpa terasa aku sudah menjalani pernikahan dengan suamiku hingga aku berusia 32 tahun saat ini. Banyak kisah yang terjadi saat aku menikah diusia 18 tahun hingga kini. Pahit, manis sebuah hubungan pun sudah aku rasakan. Namanya saja menikah tanpa cinta, jadi terkadang dirumahpun aku sempat tidak ingin berbicara pada Jimmy. Aku dan Jimmy berbicara dan bertemu seperlunya saja. Meskipun satu rumah aku tetap saja merasa asing padanya. Lelaki yang secara KTP sudah menjadi suamiku kini. Namun Jimmy lelaki yang sabar hingga dia ikhlas begitu saja menerima sikapku yang kurang elegan padanya. Jimmy sangat menghargai aku sekali. 32 Tahun bukan waktu yang sebentar untuk menjalani sebuah hubungan rumah tangga. Entah karena apa, perasaan itupun berubah begitu saja, aku sudah mencoba untuk mencintai suamiku dengan sepenuh hati dan membuat diriku menerima dia dengan apa adanya. Jimmy lelaki hebat buatku. Dia tampan, kaya memiliki kebaikan hati yang luar biasa serta apapun dia miliki. Aku yakin kalau dia adalah lelaki perfect di dunia dan menjadi incaran banyak wanita. Namun kenapa Jimmy mau menikah denganku.
Sampai pada akhirnya kami memiliki 2 orang anak yang berusia 9 dan 5 tahun. Aku mencoba menikmati keluargaku secara utuh dan bahagia tapi sangat sulit aku lakukan. Karena rasa cinta memang belum tumbuh. Tidak mudah memang membuat diriku sendiri mencitai sesuatu yang aku mulai dengan ketidak ikhlasan. Kedua orang tuaku sering datang ke rumah untuk melihat cucu-cucu mereka dan memastikan kalau aku baik-baik saja. Kehidupanku setelah menikah dengan Jimmy memang sangat berbeda. Benar kata orang tuaku. Jimmy adalah orang yang tepat untukku. Aku mulai percaya saat ini kalau pilihan orang tua adalah pilihan yang terbaik. Aku sekarang sudah menjadi orang kaya dan bergaul ala sosialita. Aku sering mengikuti acara-acara besar yang sebelumnya tidak pernah aku lakukan seperti pesta-pesta para pejabat. Menghadiri beberapa undangan orang-orang penting di Indonesia. Kehidupanku memang berubah, sangat berubah saat aku menikah dengan Jimmy. Aku mulai terbiasa untuk ikut dalam acara-acara bos besar, party-pasrty yang menurutku tidak ada gunanya. Hingga aku harus kontrol kesehatan dan kecantikanku pada tiap bulannya. Aku harus kesalon kapanpun aku mau, hingga berbelanja semua kebutuhan yang aku mau. Ini semua aku lakukan untuk melampiaskan ketidaksenanganku terhadap diriku sendiri, ketidak ikhlasan aku menerima kenyataan yang terjadi. Gaya hidup metropolitan tetap saja aku lakukan karena memang pergaulanku lah yang menuntutku menjadi seperti ini. Dan lama kelamaan aku sangat nyaman untuk bergaya hidup seperti ini. Sosialita kelas atas.
                       Suatu saat aku ingin menjemput anakku yang paling kecil “Bona” di playgroup. Meskipun aku memiliki baby sitter tapi kalau urusan kasih sayang terhadap anak. Aku sangat mengutamakannya lebih dari segala hal. Aku menunggu Bona keluar sekolah didalam mobil sambil mendengarkan musik lewat handphone. Nampaknya kali ini Bona pulang agak terlambat, satu jam sudah aku menunggu Bona untuk pulang namun Bona tidak juga keluar. Aku langsung turun dari mobil dan menanyakan masalah ini kepada seorang wanita cantik yang duduk pada sebuah gerobak bakso didepan gerbang sekolah. Sepertinya dia juga sedang menunggu anaknya untuk pulang.
“Mbak, saya mau numpang tanya. Mbak nya nunggu anaknya pulang juga?”.
“Iya mbak”.
“Kok lama ya?”.
“Tadi saya sudah tanya ke gurunya mbak. Kata gurunya, hari ini anak-anak minta jam tambahan belajar musik. Tadi sudah diumumkan kok mbak”.
“....”
                 Awal pembicaraan yang hangat mulai terjadi saat itu. Aku dan wanita yang kukenal dengan nama Dina ini berbincang-bincang seperti biasanya aku jika bertemu dengan ibu-ibu lainnya. Aku bahkan sempat mengajak Dina untuk bergabung di grup arisanku. Namun Dina menolaknya karena kesibukannya sebagai wanita karier. Dina wanita yang sangat cantik bak model. Sejak saat itu aku sudah merasa akrab dengan Dina dan aku sering bertemu Dina untuk menjemput anak kami. Sebelumnya Dina tidak pernah menjemput anaknya. Namun karena anaknya sering ketakutan jika dijemput dengan baby sitternya, maka Dina berniat untuk menjemput anaknya sendiri.
               Pada suatu pertemuan aku mengajak Dina makan malam dan mengajak anak kami masing-masing hanya sekedar makan malam biasa. Karena Bona dan anaknya Dina sangat akrab sekali sebagai teman bahkan mereka berdua sudah menjadi teman dekat disekolah. Kami berbincang-bincang dengan hangat malam itu. Tanpa berbasa basi aku menanyakan tentang keberadaan suami Dina. Mungkin ini terlalu berani karena kami baru saja kenal dan aku juga tidak berharap jawaban darinya.
“Gak papa kok mbak, suamiku memang jarang keliatan karena dia sangat sibuk bekerja. Malumlah mbak Bussines Development  jadi sering gak ditempat”.
“Suamiku namanya Jimmy, Jimmy Bernadius. Dia suami yang sangat aku cintai”.
“Nama suamiku Luthfan Anggara, seusia dengan saya”. Dina menjelaskan
Aku terhenti sejenak, tertegun mendengar ucapan Dina tadi. Aku memastikan dengan jeli kalau nama yang Dina ucapkan adalah benar nama yang sama dengan mantan kekasihku Luthfan. Tanpa membuat Dina curiga aku langsung memutuskan untuk mengakhiri pertemuan kami malam itu.
Berminggu-minggu aku dan Dina tidak mendengar kabar masing-masing tiba-tiba pada suatu malam handphone ku berdering. Dina menelpon ku.
“Ada apa mbak?”
“Gak papa, saya gak ganggu kan? Malam ini anak saya akan di operasi tepat jam 1 malam, 1 jam lagi mbak. Dia membutuhkan banyak darah. Mungkin mbak bias bantu. Darah anak saya O sama dengan mbak. Maaf ya mbak sudah ganggu”.
“Oh, gak papa mbak, sy senang bisa bantu. Ok. Nanti saya kesana dalam waktu setengah jam”.
Sempat aku merasa heran kenapa Dina tau golongan darahku O. Tapi karena menolong anak perempuan Dina jauh lebih mendesak. Aku melupakan itu. Aku membangunkan Jimmy untuk izin pergi kerumah sakit. Dan Jimmy ingin mengantarku kerumah sakit karena sudah teralalu larut malam.
Setengah jam tepat aku tiba dirumah sakit. Aku segera menemui Suster yang ada di rumah sakit. Tapi disekeliling ruangan memang tidak ada sosok Dina disekeliling ruangan operasi. Aku malah melihat Luthfan yang sebenarnya tidak ingin aku lihat. Dengan nada yang sedikit marah aku memberanikan diri menegur Luthfan dan Luthfan hanya terdiam saja.
“Mana Dina?”
“Dina dikamar, 1 jam lagi dia dioperasi. Kanker rahim”.
“Gak mungkin fan. Tadi setengah jam lalu dia yang langsung telpon aku”.
“Itu suster, Dina sudah 1 minggu tidak sadarkan diri dirumah sakit. Aku tadinya gak mau ngerepotin kamu yang sudah bahagia. Karena ini sudah sangat mendesak dan aku tahu kalau jenis darahmu sama dengan Dina. Aku menyuruh suster untuk menghubungi kamu. Maaf Lusi”.
Aku semakin kebingungan. Dan daraku sudah didonorkan. Dari sudut kaca jendela aku melihat Jimmy dan Luthfan sedang berbicara dengan tertawa kecil.
Malam itu setelah darahku didonor aku dan Jimmy beranjak pulang dan meninggalkan Luthfan seakan akupun baru mengenalnya. Didalam mobil Jimmy terus menceritakan tentang seorang Luthfan. Sampai tiba-tiba aku muak mendengarnya dan menghentak Jimmy untuk berhenti membicarakan lelaki yang sudah menjadi masa laluku. Kami tiba dirumah.
Aku melihat Jimmy sudah tertidur pulas. Entah mengapa malam itu aku tidak bisa tertidur dengan pulas. Aku bangun dan memilih untuk menyendiri di taman belakang rumah. Langkah-langkah kecilku bermain-main menemani kebimbanganku malam itu. Sepertinya pikiranku melarangku untuk beristirahat dan bayangan Luthfan mengganjal sangat besar. Tiba-tiba air mataku menetes dan jatuh kepipi dan terus bergulir tiada henti. Aku mengangis. Pikiranku semakin liar mengenang masa-masa indahku bersama Luthfan. Dan aku marah pada Tuha mala itu atas jalan hidup yag ditakdirkan padaku.
Hari terus bergulir, waktu terus beranjak. Berbulan-bulan aku tidak bertemu dengan Luthfan namun tetap menjaga komunikasi dengan Dina. Hubunganku dengan Dina semakin dekat apalagi kami sama-sama memiliki kecocokan menyukai fashion desain yang sama. Aku sering sekali shopping bersama Dina.
Suatu malam saat aku pulang dari berbelanja dengan Dina. Aku mendengar suamiku Jimmy merintih kesakitan mengepal dadanya seperti menahan rasa sakit. Sontak aku bertindak untuk mendekat dan menolong Jimmy. Jimmy di bawa kerumahsakit dan aku menemaninya. Meskipun aku tidak mencintainya dan masih mengenang Luthfan. Tapi aku tetap menolongnya karena walaubagaimanapun Jimmy suamiku.
Berjam-jam aku menunggu di depan ruang IGD, dokter keluar dan berbicara dengan nada was-was.
“Bu Lisa?”
“Ya, saya dok, suami saya gimana keadaanya dok?”
“Jantung suami ibu klepnya bocor, itu akibat stress dan kelelahan. Salah satu cara untuk menyembuhkannya, kita mencari donor. Kalau tidak mungkin tidak bias diselamatkan. Kita punya waktu 3 hari untuk membuat suami ibu dioperasi jika ada donor”.
Entah ada salah apa denganku sampai-sampai aku tertimpa masalah seperti ini. Pikiranku bingung. Mana ada orang yang mau mendonorkan jantungnya untuk orang lain. Itu sama saja dia mengorbanka nyawanya untuk orang lain.
Satu hari waktu telah tebuang percuma dan aku belum juga menemukan donor yang tepat. Tiba-tiba Dina menelpon.
“Ada apa mbak?”
“Saya turut berduka, saya denger kabar suami mbak sedang dirumah sakit sekarang ya mbak?”
“Iya mbak”.
“Mungkin kira-kira apa yang bias saya bantu?”
“Mungkin gak ada mbak, satu-satunya jalan yaitu menemukan orang yag mau mengorbankan nyawanya untuk suami saya, karena donor jantung menjadi satu-satunya jalan mbak”.
“Mungkin nanti saya akan cari infonya di Internet. Di luar negeri kan banyak mbak yang buka jasa seperti itu.”
“O. Makasih mbak”.
Kata-kata Dina seperti memberikan harapan padaku. Internet. Benar sekali, aku juga pernah mendenga tentang kabar kalau diluar negeri memang ada jasa untuk orang yang menyediakan donor jantung untuk orang lain dengan dana yang besar. Saat itu juga aku mencari-cari info di Internet hingga pada akhirnya aku menemukan orang yang pas untuk mendonorkan jantungnya denga suamiku. Mungkin aku akan menjemputnya dan melakukan check apakah jantungnya tepat dengan jantung suamiku. Malam itu juga aku pergi ke Dubai India, untuk menemui calon donor jantung suamiku. Didalam pesawat aku sempat berpikir. Untuk apa aku menolong Jimmy, toh juga aku tidak mencintainya, bahkan memikirkannya dalam benakku saja tidak. Tapi lagi-lagi naluri yang berbicara. Dan tepat hari terakhir, dimana hari yang sudah ditentukan dokter untuk mengoperasi suamiku, aku tiba di Rumah sakit denga membawa calon donor. Dan dokter menghampirku.
“Ibu kemana aja? Alhamdulilah, sekarang suami ibu sudah selamat. Namun butuh waktu beberapa hari untuk beliau sadar dan siuman. Tadi siang, hampir saja terlambat datang seseorang yang ingin mendonorkan jantungnya untuk Pak Jimmy. Beliau tidak mau disebutkan namanya bu. Selamat ya bu!”
Aku sontak kaget mendengar kata-kata dokter, dan semua masalah selesai dengan mudah dengan begitu saja. Aku kembali menjalani kehidupan seperti biasa dan Jimmy juga semakin membaik. Tujuh hari aku dan Jimmy bersama, banyak hal yang berubah darinya. Jimmy mengerti kalau aku sudah berbuat banyak untuk membuatnya sembuh dan dia berusaha membuat aku agar mencintainya. Sebagai seorang wanita hatikupun luluh karena usaha Jimmy sangat luar biasa untuk membuat aku mencintainya. Saat aku dan Jimmy ingin berciuma dengan penuh cinta untk pertama kalinya. Pembantuku mengetuk pintu. Mengganggu. Aku membukanya.
“Bu, tadi pagi ada pesan dari mbak Dina, malam ini ibu ada undangan untuk datang kerumahnya”.
“Undangan apa bi?”
“Waduh, saya lupa tanya bu, saya kira tadi ibu sudah tau”.
“Oh ya udah bi, tidak apa-apa”.
                 Saat itu juga aku segera menelpon Dina, namun tidak diangkat. Sekarang masih jam 6.30 WIB, semoga saja aku belum terlambat untuk datang ke pesta yang diadakan oleh sahabatku ini. Aku dan suamiku menyegerakan diri untuk bersiap-siap daag ke pesta Dina. Tidaktau kenapa, menurutku malam itu, suamiku jauh terlihat tampan dari biasanya. Apakah aku sudah mulai mencintainya?
             Berharap-harap untuk tidak terlambat datang ke pesta dirumah Dina, Jimmy mulai mengebutkan mobilnya. Dan kami tiba dirumah Dina. Aneh. Saat aku melihat orang-orang yang ada dipekarangan rumahnya, tidak ada tanda-tanda sebuah pesta ingin diadakan. Keadaan terlihat sunyi senyap. Aku dan Jimmy memarkirkan mobil agak jauh dari rumah Dina, untuk memastikan keadaan baik-baik saja. Aku mulai melangkahkan kaki menuju rumah Dina. Dan saat aku memasuki rumahnya di gerbang kenapa aku lebih dapat memastikan ini merupakan acara pengajian. Lebih untuk memastikan diri lagi aku masuk dan menemui Dina. Dan Dina langsung memelukku.
“Ada apa ini mbak”.
“Tidak apa-apa mbak, ini ada acara pengajian 7  hari meninggalnya suami saya”.
“Maksud mbak? Luthfan meninggal?”
“Iya mbak, sudah tujuh hari yang lalu”.
Dunia terasa hening dan hanya ada aku dan nasib. Aku merasa waktu berhenti dan hanya aku pemiliknya. Air mataku menetes. Dina dan Jimmy mungkin tidak mengerti mengapa air mata ini harus menetes. Kekasih yang selama ini masih aku cintai hingga detik ini. Meninggalkan aku begitu saja tanpa mngeluarkan kata-kata sedikitpun. Tanpa ada rasa perduli sedikitpun padaku. Orang yang bertahun-tahun masih mencintainya. Menahan rasa cinta ini hanya untuknya. Tuhan, mengapa dunia ini semakin kejam. Lalu untuk apa aku terus bertahan disini kalau aku sudah tidak pernah dapat melihat orang yang aku cintai lagi.
“Mbak. Mbak kenapa? Mbak baik-baik aja? Oh ya mbak, sebelum Luthfan meninggal, dia menitipka ini. Dia gak kasih tau isis suratnya apa, tapi katanya itu sekedar ucapan terima kasih karena mbak sudah menolong aku donor darah kemarin”.
“Terima kasih mbak. Maaf aku terlambat untuk dating, aku turut berduka cita ya mbak”.
“Ya mbak”.
                  Malam itu sudah hilang dan yang ada adalah mentari pagi yang menemani kegundaanku diawal hari ini. Aku membuka surat dari Luthfan dan membacanya berdua dengan suami yang perlahan-lahan aku cintai ini.
Mungkin kamu akan marah setelah tau kalau aku baru mengabari kamu setelah 7 hari kepergianku. Itu hak kamu, tapi satu hal yang gak kamu tau, kalau selama ini aku masih mencintai kamu. Rasaku sangat tulus sampai saat ini. Saat awal pernikahanmu aku masih tetap sendiri dan berteman dengan kebodohanku untuk dapat menanti kamu kambali sampai pada akhirnya kedua orangtuaku memaksaku menikah dengan Dina. Aku kaget setelah Dina pernah bertemu dengan kamu di TK, hal itu kembali menimbulkan kebodohanku. Aku berharap Tuhan menakdirkan kita untuk tidak terpisahkan dan memberi jalan untuk kamu kembali padaku. Aku sangat senang ketika hubungan kamu dan Dina semakin dekat. Setidaknya aku dapat mengetahui kabarmu dari Dina. Maafkan atas kebodohanku yang menghancurkan kebahagiaanmu dengan Jimmy. Seharusnya juga aku begitu, mencintai Dina dengan sepenuh hatiku. Maafkan juga kalau aku telah memberikan nama anakku seperti namamu. Namamu masih terlalu cantik dihatiku. Sampai suatu saat aku menyadari aku tidak bisa benar-benar mencintai Dina dan melupakanmu, dan aku juga merasa sebuah kesalahan besar untuk menantimu kembali. Aku bingung. Lalu, aku mendapat kabar dari Dina kalau Jimmy membutuhkan donor jantung untuk menyelamatkan nyawanya. Aku membulatkan tekat untuk mendonorkan jantungku kepada suami yang kamu cintai sama seperti kamu telah mendonorkan darah untuk istri yang menurutmu aku cintai. Ternyata dokter menyatakan bahwa jantungku tepat untuk mendonorkan kepada Jimmy. Aku rasa ini petunjuk Tuhan untuk membalas kebaikanmu pada istriku dan berkorban untuk kebahagiaan kamu. Aku bingung bagaimana lagi caranya untuk mendapatkan kamu kembali. Aku berharap, ketika jantungku sudah terpasang kokoh di tubuh suamimu. Aku akan dapat merasakan cinta kembali darimu. Seperti kamu mencintai suamimu. Meskipun aku kalah dalam memperjuangkan cinta agar diriku dapat bersamamu. Tapi aku masih memiliki cara agar jantungku tetap bersamamu untuk dapat kamu cintai. Aku hanya ingin kamu tau satu hal. Bahwa aku akan memenuhi janji kita untuk mempertahankan cinta kita kekal abadi. Cintai jantung suamimu seperti kamu mencintai aku dulu…
Luthfan Anggara

Kadang setiap manusia merasa sudah menjadi pahlawan, hebat ketika dia sudah merasa berkorban untuk hidup orang lain. Tanpa ia sadari sebenarnya ia belum melakukan apa-apa. Ikhlas mencintai orang lain adalah bukan bagaimana kita berusaha mencintainya, tapi bagaimana kita tetap mencintainya dengan sepenuh rasa yang ada tanpa ada rasa penyesalan. Ikhlas mencintai seseorang adalah bagaimana diri kita merasa dicintai dan mencoba untuk tetap mencintai tanpa ada prasangka.

Manusia yang hebat bukan manusia yang berhasil berjalan pada pilihan hidupnya, tapi manusia yang mencoba tetap menapak pada jalan hidup yang bukan keinginannya.
Anton Hidayah