Aku terheran mengapa Ibuku sore ini tidak
memanggil untuk menyuruhku pulang. Biasanya kalau sudah tepat waktu maghrib
tiba. Ibu sudah memegang gagang sapu dan teriakan khasnya untuk menyuruhku
pulang kerumah, karena kalau sudah bermain aku sangat lupa dengan waktu. Karena
teman-teman dikampungku sangat banyak untuk diajak bermain. Setiap harinya aku
bermain dari seusai sekolah hingga malam tiba dan tidak akan pernah mau
berhenti bermain sebelum ibu memanggilku. Adzan maghrib berkumandang dan Ibu
belum juga memanggil. Heran bercampur rasa takut bergerumul menjadi satu. Aku
senang,
mungkin saja ibu hari ini benar-benar memberikan kesempatan kepadaku untuk
bermain hingga larut malam atau dirumahku sedang ada tamu penting hingga ibu
benar-benar tidak memiliki waktu untuk memanggilku. Rasa takut karena bisa saja
Ibuku sedang mengujiku agar aku bisa tepat waktu pulang kerumah dan jika aku
benar-benar tidak pulang Ibuku memukulku di rumah nanti. Begitulah kehidupan keluarga dikampung kami, cara
mendidik dengan kekerasan menjadi acuan utama. Aku bingung
apa yang harus aku lakukan. Sampai pada akhirnya seluruh kawan-kawanku pulang
kerumah masing-masing karena waktu sudah sangat larut. Aku merasa nyaman ibu
tidak memanggilku lantas akupun mengikuti ajakan Toni untuk bermain dirumahnya.
Toni ingin memamerkan mainan baru miliknya padaku. Toni merupakan anak orang
termasuk paling kaya di kampung kami meskipun Ibunya hanyalah sebagai seorang
pemilik Toko Kelontongan saja. Namun kehidupan mewah keluarga Toni sangat
mencolok sekali dibandingkan kehidupan tetangga-tetangga kami di kampung ini. Segalanya dimiliki
Toni hingga mainan terbarupun yang hanya dijual terbatas, sudah dimiliki oleh
Toni. Yah, begitulah kampung kami, pemilik toko saja bisa dibilang saudagar.
Sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam
tapi Ibu belum juga memanggilku pulang kerumah. Ini sudah merupakan sesuatu
ketidak wajaran yang terjadi yang pernah Ibu lakukan kepadaku. Aku sudah merasa
bosan bermain dengan Toni dan memutuskan untuk pulang kerumah. Ditemani rasa
deg-degan aku melangkah menuju rumahku, aku berfikir ibu pasti sudah siap-siap
memgang kayu besar didepan pintu untuk memukulku karena kesalahan fatalku kali
ini, aku hampir saja tidak berani pulang, namun karena waktu sudah larut malam
dan akupun mengantuk, aku memutuskan untuk berani mengambil resiko apapun yang ibu berikan
padaku nanti. Setibanya aku dirumah ternyata ibu tidak dipintu, dengan mengendap-endap
aku membuka pintu berharap ibu sudah tidur. Dan mengapa rumahku sepi-sepi saja,
hanya ada kakakku Joko yang sedang membaca-baca buku. Aku berfikir atau mungkin
ibu sedang mencariku keliling-keliling kampung? Pasti ibu marah sekali padaku
kali ini, tanpa memperdulikan semua itu, aku bergegas mandi agar ibu tidak terlalu marah
kali ini. Aku semakin terheran, waktu sudah pukul 11 malam tapi ibu belum juga
pulang.
Lantas aku bertanya pada kakakku, dan seperti biasanya kak Joko tetap tidak mau
tau tentang keadaan rumah. Kak Joko mengatakan kalau Ibu memang sudah tidak ada
saat dia pulang kerumah sore tadi. Kemana ibu? Atau mungkin ibu pergi menginap
dirumah keluargaku? Tidak seperti biasanya ibu pergi tanpa mengajakku. Pasti
ibu tau, kalau dia tidak mengajakku pergi bersamanya pasti aku akan menangis hebat dengan manjanya. Namanya
anak bungsu yang masih berumur 5 tahun. Dan akupun sudah
mempersiapkan skenario itu. Ketika ibu pulang nanti, aku akan menangis seperti
bocah yang benar-benar marah manja kepada ibunya kalau memang ibu pergi
ketempat keluarga ku.
“Kak Joko, ibu pergi kemana?” dengan nada
bercampur rasa marah dan sedikit ingin menangis aku bertanya kepada kakakku
yang memang cuek dengan keadaan rumah.
“Kakak bilang gak tau ya gak tau, kakak juga
marah dengan Ibu, pergi tapi kok tidak meninggalkan makanan...” Kak Joko marah.
“!!@#$%*()” akhirnya akupun menangis saat itu.
Kak Joko hanya membiarkan aku menangis begitu
saja dan malah memarahiku. Hingga seperti biasanya saat menangis aku tertidur
dengan sendirinya.
Aku terbangun dipagi yang cerah dan merona, biasanya
ibu membangunkanku dan menyuruhku bersiap-siap berangkat sekolah, aku melamun
sesaat berusaha menyesuaikan keadaan pagi itu dan melihat rumahku yang sepi
tanpa berpenghuni. Aku benar-benar marah pada ibu, kenapa pergi menginap di
rumah saudara tapi tidak mengajakku, tega sekali ibu terhadapku. Aku semakin
dongkol dan kembali ingin menangis. Aku mengamuk-ngamuk dikamar tidur seolah
marah pada ibu tapi tetap saja tidak ada yang merespon karena dirumah tidak ada
siapa-siapa, hanya aku dan barang-barang tua milik keluargaku. Semakin lama aku
menangis semakin terisak menanti ibuku untuk pulang kerumah tapi tetap saja,
sudah 1 jam aku menangis, ibu tidak pulang. Pagi itu aku tidak berangkat
kesekolah “TK Santa Ursula 8 Makassar”. Sampai saatnya aku lapar dan ingin
sarapan. Tapi setelah aku periksa di meja makan sama sekali tidak ada makanan,
minumpun habis. Aku geledah-geledah seisi rumah hanya untuk mengganjal perut
agar tidak terlalu lapar hingga kakakku pulang nanti. Isi lemari, lemari makan,
dapur, semua sudah aku bongkar. Namun tetap saja tidak ada satu makananpun yang
ada dirumahku untuk aku makan. Aku duduk dikursi termangu, dan tanpa sengaja
aku melihat ada sebuah snack dibawah kursi, mungkin itu bisa mengganjal perutku.
Aku berusaha mengambilnya dengan mendorong kursi itu dan mencoba mengangkatnya.
Tanganku tergores oleh sudut kursi yang sangat tajam dan berdarah. Aku pun
kembali menagis seakan tidak kuat menahan rasa sakit itu ditambah dengan
jengkelku pada ibu yang belum juga pulang. Aku makan snack sambil menangis.
Snack yang aku makan sudah tidak enak lagi rasanya. Mungkin snack ini snack
sisa jajanku seminggu lalu yang tak sengaja menyangkut dibawah kolong kursi.
Tapi aku tetap memakannya karena perutku memang sudah sangat lapar.
Aku semakin marah dan waktu sudah menunjukkan
siang hari pukul 12 siang, ibu belum juga pulang. Tiba-tiba Toni datang
kerumahku untuk mengajakku kembali bermain. Tapi aku menolaknya. Toni terheran
melihat keadaanku yang sudah tidak biasanya ini. Aku menceritakan kejadian yang
sebenarnya pada Toni dengan sisa-sisa isakan tangisku.
“Ton, ibuku pergi tapi belum pulang-pulang dari
kemarin, tadipun aku tidak berangkat kesekolah. Aku mau ibu.”
Toni terharu melihat keadaanku dan Toni
mengajakku untuk pergi keliling-keliling kampung menghampiri tiap-tiap rumah
untuk menanyakan keberadaan ibu. Jalan demi jalan aku lalui bersama Toni
berharap bahwa ada satu tetanggaku yang tau tentang keberadaan ibuku, dan
langkahku ditemani isakan tangis yang membuat harapankupun menjadi hilang
tentang ibuku. Tak ada satu orang tetanggaku pun yang tau keberadaan ibuku.
Akhirnya aku sudah tidak bisa menahan rasa tangisku. Aku menangis terisak-isak
dipinggir jalan untuk kesekian kalinya
di pusat kampung tempat aku tinggal. Aku menangis berharap
ada orang yang memperhatikanku. Rasa tangisku merupakan rasa tangis bukan lagi
karena aku marah pada ibuku tapi karena aku sudah merasa kangen pada ibuku, aku
rindu dan semakin khawatir pada keadaan ibuku. Dan akhirnya salah satu
tetanggaku membawa aku kerumahnya dan memberikan aku makan. Setelah aku kenyang
aku memutuskan untuk pulang saja. Dan Tonipun pulang kerumahnya. Saat aku masuk
kerumah ternyata keadaan rumahku tak jauh berbeda. Masih hampa bersama
barang-barang tua milik kami. Aku menuju kamar mengambil baju ibu yang
tergantung dibelakang pintu kamar, menciumnya dan memeluk baju itu dengan rasa
kangen sambil aku kembali menangis dan berharap ibuku akan pulang. Aku semakin
ketakutan.
Andai saja ayah tidak pergi meninggalkan rumah
saat aku masih berumur satu bulan. Mungkin rumah ini tidak sesepi ini, kalau
tidak ada ibu kan masih ada ayah. Namun tidak untuk kali ini, aku merasa
kedua-duanya sudah tidak ada. Aku melamun, merenung dan masih terisak-isak.
Keadaan rumahku terasa hening sekali dan akupun menangis semakin menjadi-jadi.
Hingga energiku habis untuk menangis dan merasa sangat kehausan.
Tepat saat pukul 2 siang tetanggaku datang
kerumah, dia bernama mbok inah, biasa dipanggil mbok gosok karena pekerjaannya sehari-hari hanya sebagai
tukang gosok dan tukang cuci dikampung kami. Tapi mbok gosoklah yang paling
akrab dengan ibuku. Aku merasa harapan itu ada dengan
hadirnya mbok gosok, setidaknya aku bisa makan. Dan semoga
saja mbok gosok datang untuk mempertemukan aku dengan ibuku.
“Dion, maaf yon, mbok telat. Ya ampun,
keadaanmu kok begini. Ayo mbok mandiin. Mbok tadi harus mencuci dirumah ibunya
Toni dulu, padahal mbok mau kerumahmu tadi pagi. Mbok sampe lupa” aku sempat menolak ajakan mbok gosok untuk memandikanku.
“Ibu mana mbok?” terisak dan berharap.
“Kamu mandi dulu yah, ntar kamu ditempat mbok
aja, soalnya mbok gak bisa lama-lama dirumahmu. Mbok harus gosok baju lagi ni
dirumah. Cup...cup...cup....”
Aku menurut pada si mbok dan keadaan
sudah semakin membaik. Aku ikut si mbok kerumahnya dan menonton TV bersama kak
Darsum, anak dari Mbok gosok. Tiba-tiba aku digaungi kembali oleh kerinduanku
pada ibu.
Ibuku memang sangat tegas, perawakan ibuku
yang memang tidak seperti wanita biasanya membuatku sangat takut pada ibuku,
Ibu tidak pernah tidak untuk memukulku jika aku melakukan sebuah kesalahan, ibu
tidak pernah tidak berhenti mengoceh jika aku pulang kerumah dengan keadaan
kotor. Bahkan ibu tak pernah segan untuk mengusirku dari rumah hanya untuk
mengancamku jika aku bertindak melebihi batas. Itulah yang terjadi pada lingkungan keluargaku. Kami dipaksa untuk
memutarbalikkan arti dari sebuah kasih sayang dengan kekerasan. Kami dipaksa
untuk membuat sebuah hantaman sebagai sebuah teguran. Itulah didikan oleh
seorang ibu yang tak kunjung juga datang. Namun semua itu tetap aku rindukan
pada sosok ibuku, wanita berumur 38 tahun yang tidak ada kabarnya hingga kini.
Aku kembali menanyakan pertanyaan yang belum
sempat dijawab dengan mbok gosok tentang ibuku. Tapi mbok hanya bilang kalau
ibu sedang bermain dirumah saudaraku dan menitipkan aku pada mbok untuk
sebentar saja karena ini penting. Aku marah, kenapa ibu tidak mengajakku, aku
ingin ikut dan memaksa mbok untuk mengantarku kerumah saudaraku yang cukup
jauh. Tapi karena si mbok sibuk, mbok wanita yang berusia 49 tahun ini berjanji
mengajakku nanti malam. Aku pun menurut dan sangat percaya dengan mbok gosok.
Malam hari tiba dan aku menagih janji mbok
gosok untuk mengantarku, namun mbok gosok masih berkelik, dan mbok berjanji
akan mengantarku seusai pulang sekolah besok. Kecewa, tapi aku benar-benar
melihat mbok gosok sangat sibuk dengan pekerjaannya jadi aku memaklumi saja.
Untuk beberapa hari hingga
berbulan-bulan akhirnya aku tinggal bersama mbok gosok hingga melupakan waktu dan
rasa kangenku pada ibu. Aku sudah tidak berharap lagi ibu dating. Menurutku ibu
sudah keterlaluan dan tidak perduli lagi padaku. Jadi aku dengan sangat terpaksa
untuk tinggal dengan wanita tua renta yang aku anggap juga dengan terpaksa sebagai
ibu penggantiku.
Meskipun mbok gosok sangat
baik hati dan berlapang dada untuk merawatku hingga dewasa, namun perlakuanku padanya
memang sangat tidak pantas. Tapi menurutku wajar saja untuk anak seusia aku yang
masih haus kasih sayang dengan ibu kandung.
Pada suatu hari mbok gosok
dating kesekolah berniat untuk menjemput dan membawakan aku payung karena hujan
dating sangat lebat siang itu. Dengan langkah tertatih tua rentah mbok gosok jalan
dari kejauhan dengan penampilan yang lusuh dan menghampiriku. Penampilan mbok gosok
sangat lusuh sekali sangat mencerminkan seorang tukang cuci. Dan aku pun jadi malu
dengan adanya mbok gosok siang itu. Untuk menghindari ejekan dari teman-teman. Aku
segera menuju gang sempit didekat sekolah untuk memanggil mbok gosok agar tidak
ketahuan teman-teman. Namun meskipun bangkai disembunyikan tetap saja akan ketahuan,
akhirnya Rega dan kawan-kawan memergoki ku dan berkata.
“Sejak kapan kamu punya
pembantu?”
“Diam kalian”
Aku pun marah dengan mbok
gosok membawaka aku paying kesekolah. Padahal kalau saja dia tidak dating, mungkin
teman-teman tidak tau kalau mbok gosok yang memang sudah dikenal teman-teman sebagai
tukang gosok tiap rumah adalah yang mengasuhku semenjak ibuku pergi tanpa alasan.
Suatu hari mbok gosok memiliki
inisiatif yang menurut aku sangat bodoh.
“Dion, kalo besok kamu
mau gak bantuin mbok untuk ambil cucian kotor dirumah pak Rastam? Mbok lagi gak
enak badan ini. Tidak tau kenapa dada mbok sesak beberapa minggu ini.”
“Loh kok mbok sekarang
nyuruh-nyuruh Dion? Mbok kan bukan siapa-siapanya Dion, Cuma tetangga yang disuruh
jagain Dion. Ntar kalau mama datang, Dion bilang kalau mbok sudah menyuruh-nyuruh
Dion seperti ini”.
Dengan nada yang sambil
menahan batuk mbok berkata: “Ya sudah, nanti mbok menyuruh mang Asep saja mengambil
ke rumah Pak Rastam sebelum dia narik becak, kamu belajar sana yah.”
Malam itu aku merasa menang,
dan aku selalu mengeluarkan ancaman-ancaman itu kepada mbok gosok kalau dia berani-berani
memperlakukan aku tidak sesuai dengan keinginanku. Karena menurutku, pasti ibu sudah
membayar mbok gosok untuk merawatku. Ada hikmahnya juga aku tidak tinggal dengan
ibu, tinggal bersama mbok gosok aku selalu dimanja dan dipenuhi semua keinginanku
karena aku sangat dimanjakan sekali. Karena mbok gosok tau, kalau selama tinggal
dengan ibu, aku selalu dimanja dan disayang.
Pada suatu malam saat aku
ingin pulang dari bermain dengan teman-teman, aku melihat mbok gosok terjatuh sambil
memegang tumpukan pakaian kotor yang di bawanya dari rumah tetangga hingga pakaiannya
berserakan di jalan. Aku melihat mbok gosok dari kejauhan. Karena aku malas membantu
mbok gosok dan kalau aku berpapasan dengannya namun tidak membantu membawa pakaian
kotor yang dibawanya yang berat dan bau, pasti tetangga-tetangga akan mencibirku.
Aku memutuskan untuk lewat gang lainnya menuju
rumah dan membiarkan mbok gosok tersungkur. Biarkan saja dia, toh juga dia bukan
siapa-siapa saya.
Perlakuan yang menurutku
keterlaluan bukan hanya itu, suatu saat aku ingin meminta uang pada mbok gosok untuk
membeli mainan seperti Tony.
“Mbok, aku minta uang lagi,
mau beli mainan seperti Tony”.
“Untuk apa? Mainan kamu
masih banyak, mbok udah gak punya uang lagi”.
“Uang kiriman ibu pasti
mbok pakai bukan keperluan pribadi ya mbok, mbok benar-benar keterlaluan. Nanti
Dion akan bilang ke Ibu”.
“Baik besok pagi beli yah,
mbok pinjam dulu ke Pak Rastam”.
Lagi-lagi dengan ancaman
itu mbok langsung luluh.
Sudah pagi dan tidak ada
yang menyiapkan pakaian sekolahku dan juga makan sarapan di rumah mbok gosok. Aku
pun sontak kesal, karena hari itu aku sudah bangun kesiangan dan aku tidak mau lagi
dihukum mencabuti rumput sekolah karena telat. Aku langsung menuju kamar mbok gosok.
“Mbok, pakaian sekolah
aku mana? Sarapan juga gak ada, mbok malah tidur-tiduran. Dion gak tau gimana kalau
ibu bisa tau kalau Dion gak diurus dengan baik dengan mbok. Mbok bangun dong mbok
sekarang, Dion gak mau telat”. Sambil menarik-narik paksa mbok gosok dari tidurnya
aku memaksa mbok gosok.
Dengan nada batuk-batuk
mbok gosok melepas tangannya dan menariknya
“Mbok jahat sama Dion,
mbok gak ngerti gimana Dion dihukum kalau Dion telat”.
“Dion itu sudah kelas 5
SD sekarang, jadi harus sudah bisa urus semuanya sendiri. Mbok lagi tidak enak badan
Dion”.
Aku semakin mengamuk dan
berteriak “Dion bakal aduin ini ke ibu”.
Aku meninggalkan mbok dan
terlintas aku melihat mbok gosok batuk mengeluarkan darah dank arena aku kesal dan
marah aku tidak perduli dan meninggalkannya. Akhirnya mang asep mendengar teriakanku
dan berjalan cepat menghampiriku dari luar rumah. Anehnya kenapa mang asep tidak
naek becak hari ini. Lagi-lagi aku tidak perduli. Mang asep dating dengan wajah
marah dan ekspresi wajah penuh kekesalan dan hendak memukulku.
“Kamu dasar anak keterlaluan
gak tau diuntung. Mbok lagi sakit parah begitu, tetap saja tega. Manja banget kamu
ini”.
Aku menangis masuk kekamar
dan memutuskan untuk tidak mau sekolah. Mbok gosok pun marah pada mang asep yang
sudah memperlakukan aku keterlaluan hingga berani memukulku. Akhirnya terjadi pertengkaran
hebat antara mang asep dan mbok gosok yang aku tidak tahu intinya apa. Adu mulut
mbok dengan mang asep berujung dengan kata-kata bahwa mbok mengusir mang asep dari
rumah. Aku tetap tak mau memperdulikan mereka. Yang jelas, aku akan memberitahukan
ibu kalau nanti ibu pulang. Mang asep pergi untuk beberapa hari meninggalkan mbok
gosok sendirian. Namun karena tidak tega mang asep pulang dan meminta maaf pada
mbok gosok karena telah memperlakukan aku seperti ini.
Sore harinya aku menghadiri
penghargaan lomba puisi dan aku menjadi juara terbaik di tingkat Sulawesi Selatan.
Dan keesokan harinya, aku melihat mbok sedang berbicara dengan wali kelasku atas
prestasiku yang membanggakan dan Bu guru menghampiriku.
“Dion, tadi ibumu kesini,
bu guru Cuma mau kasih tau kalau uang hadiahmu nanti akan diserahkan ke ibumu”
“Bu, dia itu bukan ibu
saya, dia Cuma orang yang di bayar ibu untuk mengasuh saya, uangnya kasih saya aja
bu, biar buat beli buku. Nanti kalau dikasih kedia, bakal dipake untuk keperluan
pribadinya bu. Uang kiriman ibu untuk merawat aku aja di simpen untuk kepentingan
dia pribadi bu”.
Bu guru malah memarahiku
dan tidak sependapat. Akhirnya uang tetap diserahkan ke mbok gosok karena aku masih
terlalu kecil untuk menerima jumlah uang yang lumayan besar. Setidaknya aku tambah
ada alas an kalau mbok memperlakukan aku tidak baik, yaitu uangku yang di pegang
mbok.
Pada suatu ketika aku sempat
merasa iri dengan semua teman-temanku yang memiliki keluarga yang utuh, ibu, ayah,
kakak dan semua saling membahagiakan. Tidak seperti diriku yang merasa hampa tanpa
siapapun, tanpa keluarga dan yang jelas tanpa kehadiran ibu kandungku. Tingkah lakukun
semakin menjadi-jadi kepada mbok gosok, karena mbok selalu saja menganggap aku ini
anak kandungnya jadi memperlakukan aku seenaknya. Aku kembali menangis dan rindu
ibuku.
Kejadian itu semakin terus berlangsung hingga
aku berusia 10 tahun kini. Aku sudah duduk dikelas 5 SD. Mbok gosokpun semakin
lupa untuk memberitahukan keberadaan ibuku kini. 5 Tahun sudah ibuku pergi
tanpa kabar dan meninggalkan aku dan kakakku berdua saja di kampung kecil ini,
akupun tidak tau dimana ibuku berada. Karena mungkin waktu yang sudah berlarut,
akupun semakin tidak memperdulikan lagi keadaan ibuku, aku seperti hidup tanpa
ayah dan ibu saat ini, aku sebatang kara dengan seorang kakak yang sekarang
memutuskan diri untuk merantau keluar kota yang akupun tak tau entah dimana,
aku benar-benar sebatang kara.
Aku hidup dengan si mbok yang sudah semakin
tua dan rapuh, akhir-akhir ini si mbok sudah sering sakit-sakitan dan jarang
sekali bekerja. Mungkin karena usianya yang sudah tua. Dan aku tidak perduli karena dia hanya tetanggaku
yang dibayar ibu untuk mengasuhku. Mungkin sama seperti
ibuku juga, aku tidak lagi mau tau tentang keberadaan ibuku lagi. Cukup, ini yang terakhir aku
kangen dan rindu pada ibu.
----------
Hingga pada suatu sore saat aku sedang bermain
dengan teman-temanku dilapangan kampungku hingga waktu maghrib tiba, adzan
berkumandang sore itu seperti memberikan sebuah peringatan dibarengi dengan
teriakan yang kini menjadi tetap khas ditelingaku “Dion, pulang. Ini sudah
maghrib” Aku mendengar dengan seksama suara itu. Dengan sangat seksama. Aku
seperti hafal dengan suara ini. Aku yakin bahwa ini bukan suara mbok gosok
karena tidak mungkin mbok gosok yang sudah sakit-sakitan itu bisa memanggilku
dengan nada yang sekeras itu. Aku semakin menyimak dan terus menyimak suara itu
dengan baik, Aku merenung dan berhenti bermain dengan teman-temanku. Aku
bermaksud untuk mengingat-ingat suara panggilan siapa ini? Sepertinya aku kenal
dengan suara ini, tanpa menunggu lama aku langsung membalikkan badanku untuk
memastikan suara ini datang dari siapa? Saat aku membalikan badanku, aku
melihat seorang wanita yang sangat aku kenal dengan baik tepat berada 100 meter
didepanku yang saat ini sedang memanggilku. Yah! Aku sangat kenal dengan suara
ini. Ini suara ibuku yang sudah 5 tahun menghilang tak ada kabarnya. Aku
berlari mendekat dan semakin medekat seakan memastikan kebenaran bahwa ini
benar-benar ibuku. Ternyata kedekatanku semakin meyakinkanku bahwa ini
benar-benar ibuku. Aku menangis haru dicampur bahagia dan segera dengan lekas
memeluk ibuku. Masih dengan gaya khasnya, ibu masih memegang gagang sapu memanggilku
pulang di sore itu ditemani kumandang adzan yang membawa kebahagiaan. Ibuku
pulang, ibuku datang.
Aku pulang kerumah yang sudah lama aku tinggalkan
karena aku harus tinggal dengan si mbok saat ibu pergi. Dan setibanya aku
dirumah, aku melihat keadaan rumahku berbeda, semua barang sudah dipacking
rapih, termasuk semua barang-barangku. Ini menandakan kalau aku akan pergi jauh.
“Bu, kita mau pergi kemana?” tanyaku.
“Dion, ibu hanya punya waktu 1 hari untuk izin
dari majikan ibu di malaysia, besok kamu ikut ibu tinggal di malaysia untuk
selamanya yah. Bos ibu mengizinkan ibu untuk mengajak seorang anak untuk
tinggal bersama. Kamu siap-siap ya dion. Mbok gosok sudah mengurus semua tentang
sekolahmu, kita berangkat besok yah!”
Ibu membawaku pergi dari kampung kumuh yang
telah meninggalkan banyak cerita buatku, cerita tentang bagaimana indahnya
kehilangan. Aku juga meninggalkan si mbok yang sudah tua rentah untuk ikut
ibuku yang ternyata selama 5 tahun ini bekerja untuk masa depanku menjadi
seorang pembantu di salah satu bos kelapa sawit di Malaysia, aku pun tidak
menyangka bahwa ibuku pergi ternyata untuk mencari nafkah keluarga dan selama
ini Ibu juga mengirimi si mbok uang untuk merawatku dengan baik. Aku harus pergi kenegara
yang sudah sering aku dengar namanya di TV. MALAYSIA. Menjadi anak seorang TKW.
Sudah beberapa hari aku
tinggal di Malaysia dengan hidup bahagia dan nyaman dan tentunya tidak seperti tinggal
dengan mbok gosok yang cerewet. Hidupku dan ibu sekarang sudah lebih baik dari dulu,
ibu mendapatkan majikan yang sangat baik pada ibu dan juga padaku. Hingga aku melupakan
masa-masa 5 tahun aku tinggal bersama mbok gosok dan bahagia disini. Kakakku hingga
kini tak ada kabarnya, dan ternyata ibu memasukkannya ke pondok pesantren di pulau
jawa untuk 6 tahun.
Pada suatu malam ibu bertanya
padaku tentang hidupku bersama mbok gosok. Akhirnya aku menceritakan semua perlakuan-perlakuan
jahat mbok gosok kepaku. Dari yang menjengkelkan sampai hal yang membuat aku menangis.
Aku juga melaporkan pada ibu kalau mbok gosok selama ini menyelundupkan uang kiriman
ibu untukku. Karena aku memang sudah terlanjur jengkel tidakkaruan dengan mbok.
Dan pada malam itu terjadi sebuah rahasia besar yang akhirnya harus ibu ungkapkan.
“Dion, Ibu gak percaya
dengan kata-katamu. Gak ada ibu yang mau jahat kepada anak kandungnya. Kamu pasti
sudah keterlaluan dengan mbok gosok”.
Aku sangat kaget dengan
perkataan ibu yang menurutku itu tidak sengaja ibu ucapkan.
“Maksud ibu, ibu kandung
apa bu? Bukannya ibu kandung aku itu ibu?”
“Sudah kamu tidur saja”.
Ibu merasa serba salah dan memaksaku tidur.
Karena tidak mau membantah
aku segera tidur. Keesokan paginya aku mendengar ibu menelpon seseorang yang aku
yakin dari Indonesia dan dengan nada kecil aku mendengar bahwa ibu mengatakan kalau
keadaan mbok sudah semakin parah. Namun aku tidak memperdulikannya, mungkin ibu
prihatin saja pada mbok gosok karena dia sudah mengurusi aku selama ibu pergi. Karena
sadar aku telah menguping ibu menutup telpon dan menyuruhku untuk segera berangkat
sekolah.
Aku berangkat sekolah.
Sepulang dari sekolah disaat
aku yakin keadaan tenang dan baik-baik saja. Aku iseng untuk bertanya tentang perkataan
ibu semalam saat marah padaku.
“Bu, boleh gak dion Tanya
ke Ibu, tapi ibu harus jujur ya sama dion. Kan dion udah kelas 2 SMP, usah gede
untuk diajak cerita sama ibu”.
“Iya, ibu janji, kenapa?”
“Dion pengen Tanya tentang
kalimat ibu semalem ke Dion”.
Setelah beberapa kalimat
ibu mengelak dan mencari-cari alasan, namun Karena aku memaksa, akhirnya ibu mau
menjawab. Dan akupun terdiam dan sangat serius mendengarkan sambil tertawa-tawa
kecil karena aku yakin ibu akan menjelek-jelekkan mbok dan memujiku.
“Begini Dion, ibu minta
maaf sebelumnya. Mungkin kamu terlalu kecil mendengar perkataan ibu. Tapi ibu juga
bingung mau ngomong kapan sebelum terlambat. Sebenernya mbok gosok itu ibu kandung
kamu. Dan ibu hanya tetangga biasa kamu. Mungkin kamu sulit mengerti dion. Ibu hanya
punya satu anak, semua tetangga di kampong juga tau itu yaitu kakakmu yang sekarang
di pesantren. Pada waktu itu mbok gosok hujan-hujan kerumah ibu. Tepat jam 1 malam.
Mbok gosok hamil 9 bulan mengandung kamu. Mbok minta diantar kerumah sakit karena
beliau dulu tinggal tanpa mang asep dan suaminya. Akhirnya ibu mengantarnya untuk
melahirkan kamu ke rumah sakit. Kabar yang sangat mengejutkan yang pada akhirnya
mbok gosok tau adalah karena dia melahirkan di usia yang sangat tua sehingga sudah
tidak mampu lagi melahirkan ditambah lagi karena dia tetap bekerja keras meski hamil
kamu. Suaminya juga menghilang entah tau kemana, mang asep juga bekas teman dekat
suaminya dulu yang prihatin dan akhirnya tinggal dengan mbok gosok Akhirnya beliau
terkena penyakit kanker di rahim. Dokter memprediksikan bahwa mbok akan hidup hanya
1 atau 2 tahun saja karena kanker ini sangat ganas. Karena semangat hidupnya yang
luar biasa dalam hidup membuat prediksi dokter semakin salah hingga umurnya semakin
tua. Sampai-sampai beliau berharap mati karena tua, bukan karena sakit karena melahirkan
kamu. Karena mbok tidak ingin membuat kamu merasa bersalah dewasa nanti atas kematian
mbok. Sampai detik ini mbok sehat-sehat saja. Mungkin kalau kambuh dia akan batuk
darah yang kalau terus dibiarkan terus menerus akan membuat dia semakin parah penyakitnya.
Akhirnya mbok membuat kesepakatan agar kamu diasuh dengan ibu dengan alasan, mbok
gak mau kamu punya ibu hanya untuk hitungan 1 atau 2 tahun saja. Menurut mbok, bersama
ibu masa depanmu akan sedikit lebih cerah. Padahal mbok gosok ingin sekali bersama
kamu meskipun kamu tinggal dengan ibu, mbok tetap tau tentang kamu. Bahkan mbok
yang mengurusi kamu dalam hal financial. Akhirnya ibu pergi kemalaysia dan dipastikan
tidak akan pulang ke Indonesia. Tau tentang kabar ini, akhirnya mbok memutuskan
agar kamu kembali hidup bersama mbok, ibu kandung kamu. Dengan alasan agar mbok
akan mati di usia tuanya bukan karena penyakitnya di dekat kamu anak kandungnya.
Jadi dengan terpaksa ibu meninggalkan kamu diam-diam dan tinggal bersama mbok dengan
status sebagai pengasuh. Menurut mbok, yang penting bisa tinggal sama kamu dengan
status pengasuh dari pada tidak sama sekali. Bertahun-tahun si mbok tinggal sama
kamu dalam rasa sakitnya yang semakin parah. Sampai pada akhirnya mbok menelpon
ibu untuk menjemputmu. Mbok bilang, kalau mbok ingin lihat kamu bahagia meski gak
bersama ibu kandungnya. Karena kamu lebih bahagia bersama ibu. Mbok sudah putus
asa dan bingung mau berbuat apa lagi. Akhirnya ibu menjemput kamu dan tinggal bersama
ibu”.
Aku menangis secara pelan-pelan
dan semakin terisak.
“Ibu jahat”
“Ibu minta maaf, sekali
mbok gak salah, karena menurut mbok itu yang terbaik. Mbok hanya ingin melihat kamu
bahagia dengan atau tanpa status mbok sebagai ibu kandung kamu, mbok gak salah nak”.
Aku masih menangis dan
merenung, tiba-tiba ibu menerima telepon dari Indonesia. Dan ibu menangis di telpon
lalu menjatuhkan telepon dan tetap menangis. Semakin heran aku mendekati ibu dan
menanyakan keadaan ibu.
“Si mbok meninggal Dion”.
Aku terkejut dengan kalimat
yang ibu ucapkan dan aku pun ikut menangis termenung bersama ibu. Aku kembali ke
Indonesia satu minggu setelah si mbok atau lebih tepatnya ibu kandungku meninggal
dunia. Aku pergi ke Indonesia menuju ke pemakaman dimana tempat ibu kandungku di
makamkan. Aku terduduk lemah tak berdaya dihadapan wanita yang sudah berjuang melahirkan
aku kedunia ini. Mungkin sudah terlambat untuk mengatakan semua nya, untuk meminta
maaf atas segala kesalahan yang aku perbuat. Aku menzolimi ibu kandungku sendiri.
Mungkin aku bisa saja marah dengan keadaan atau mengecam Tuhan yang menakdirkan
jalan hidupku seperti ini. Tapi itu tidak mungkin dan akan membuat ibu akan semakin
marah padaku. Tiba-tiba air mataku menetes jatuh ketanah kuburan ibu.
“Ibu, Dion minta maaf.
Dion Cuma mau bilang ibu gak salah dan Dion yang salah. Dion mau ibu ada lagi disini.
Dion ingin tinggal bersama ibu dengan status bukan sebagai pengasuh, tapi sebagai
ibu kandung Dion… Ibu…”. Aku menangis.
Ini memang kesalahan terbesarku
diusiaku 14 tahun. Aku salah mengartikan kata ibu dalam hidupku. Ibu adalah orang yang merawat kita dengan sepenuh
hati dan cinta, semua wanita yang dengan tulus dan ikhlas memberikan cinta adalah
sesosok ibu yang nyata. Ibu tidak pernah ingin menyia-nyiakan anak kandungnya. Itu
karena kita yang tidak tau makna kebaikan didalamnya. Yah, karena ketidaktahuan
kita. Maafku mungkin tidak akan sampai ke telingamu, tapi aku yakin engkau akan
merasakannya disurga dan tersenyum padaku. Ibu, maafkan aku. Ibu.
Aku marah pada dunia saat aku merasa Tuhan sudah membuat
cerita yang salah. Tuhan memutar semuanya hingga semua menjadi salah. Kekejaman
dunia ternyata bisa membuat seorang anak dan ibunya terpisahkan seakan tak
terpikirkan. Lagi-lagi alasannya karena dunia yang begitu kejam, sehingga kasih
sayangpun dilupakan. Aku murka kenapa semua kembali normal begitu saja ketika
harapan ingin aku buktikan. Dan pada akhirnya harapan itupun harus aku buat
lagi dari sebelum aku bermimpi. Aku benar-benar dipermainkan dengan istilah
kasih sayang. Dan Tuhan menjawab semuanya seolah memberikan ini menjadikan
tantangan yang harus aku jawab hingga hidup tak lagi berulah pada alur ceritaku.
Tuhan akan menjawabnya, karena Tuhan punya maksud dalam setiap kekejamannya.
Karena Tuhan tak pernah KEJAM!
Kasih sayang bisa didapatkan dimana saja dan kapan saja. Tidak
mendapatkannya? Karena tidak mau berfikir bagaimana mendapatkannya. Apakah anda
berfikir?
Anton Hidayah