Indah

Memulai cerita hari ini dengan sebuah kata terindah. "Perjuangan"

Senin, 23 April 2012

Sebuah Impian

 #CERPEN#

Sama seperti murid lainnya aku menyibukkan diriku untuk menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan ujian nasional. Entah kenapa aku sangat membenci menteri pendidikan Republik Indonesia yang menetapkan adanya ujian nasional yang mensyaratkan kelulusan bagi salah siswa sekolah dengan standar nilai tertentu. Bayangkan saja kalau murid berprestasi yang tidak lulus hanya karena human error dan keadaan saat mengikuti ujian yang tidak baik dan akhirnya dia tidak lulus? Mau dikemanakan bakatnya yang terpendam selama ini? Ya sudahlah, nampaknya percuma saja aku berbicara secara terus menerus, toh juga pemerintah tak akan mendengar bisikanku pada negeri ini.

Sudah tidak terasa dua tahun sudah aku duduk di bangku SMA, padahal rasanya baru kemarin aku duduk di bangku ini. Mengikuti seleksi masuk SMA Negeri dan mejalani masa orientasi siswa dan kenangannya pun aku masih simpan saat aku disuruh menyatakan cinta pada salah satu kakak kelas sampai diterima. Dan nampaknya aku tidak terlalu beruntung untuk tidak diterima. Kelas XII.IPA1, kelasku merupakan kelas unggulan di sekolah yang masuk dalam salah satu daftar sekolah unggulan di palembang. Semua guru dan kawan-kawan berekspektasi lebih kepada aku dan teman-teman XII.IPA1 bahwa kami akan lulus 100%. Berbeda dengan kelas lain yang masih dikhawatirkan oleh seluruh dewan guru akan kelulusannya. Karena ekspektasi itulah akibatnya kelas kami jarang diperhatikan terutama guru yang selalu menganggap kami bisa dalam segala hal. Jadi ketika mengajarpun, guru-guru selalu menganggap kami sudah bisa dan tidak perlu dijelaskan. Hal tersebut membuat aku dan teman-temanku takut. Meskipun ujian nasional berlangsung masih dalam hitungan beberapa bulan. Namun ketua kelasku selalu menuliskan angka berukuran kecil pada pojok kanan atas papan tulis didepan kelas untuk sisa-sisa hari kami menghadapi ujian nasional. Aku tidak mengerti hal tersebut bermaksud menakut-nakuti atau sebaliknya malah menyemangati kami? Yang jelas aku  pribadi merasa ketakutan ketika melihat angka (hari) di papan tulis tersebut semakin berkurang.

Suasana sekolahpun berbeda untuk siswa kelas XII. Kami memiliki pelajaran tambahan dari sepulang sekolah tepat pukul 2 siang hingga pukul setengah lima sore untuk mempelajari kembali mata pelajaran yang akan menjadi materi ujian nasional. Bisa dibilang kami kembali nostalgia pada pelajaran-pelajaran kelas 1 SMA yang sebenarnya sudah kami kubur dalam-dalam. Kalau boleh aku berpendapat pada pelaksanaan jam belajar tambahan ini malah sangat tidak efektif. Aku sudah sangat lelah mengikuti pelajaran tambahan yang menjenuhkan ini. Alhasil kami malah disuruh membayar uang tambahan karena ada jam tambahan ini.

Karena ketakutan yang sangat mendalam pada siswa-siswi kelas XII akan ketidak lulusan kami di ujian nasional. Aku dan teman-teman berniat untuk mengambil bimbingan belajar di luar sekolah. Bayangkan betapa sibuknya kami saat itu. Sudah belajar hingga jam 2 siang ditambah jam tambahan hingga jam setengah 5 sore lalu kami harus bimbingan belajar diluar sekolah hingga aku bisa tiba dirumah pukul setengah sembilan malam setiap harinya. Aku tersenyum dengan korban dari kebijakan pemerintah yang menurutku salah. Kami hanya ditemani ketakutan saat itu. Bayangkan saja kalau aku sudah belajar masuk kelas unggulan dan tidak lulus hanya karena masalah yang tidak bisa dihindarkan atau nilaiku pada satu mata pelajaran saja kurang? Sebenarnyapun aku merasa yakin untuk lulus tapi entah mengapa aku masih merasa ada bayang-bayang yang menghantui begitu dahsyatnya. Lagi-lagi pilihanku untuk mengamil bimbingan belajar sangat tidak tepat. Kelelahan menjadi faktor utama aku menolaknya. Alhasil aku malah bolos dan menjadikan waktu bimbel tambahanku untuk bermain bersama teman-teman karena aku jenuh dengan keadaan ini. Kenapa semua hanya ditumpukkan pada satu tahun. Disaat kami seharusnya berfikir bagaimana caranya untuk lolos ke perguruan tinggi negeri. Bukan malah memikirkan untuk lulus sekolah lagi.


Semua hal telah aku lakukan hanya untuk meraih kelulusan hingga semester pertama pun berakhir dan memasuki semester kedua. Tulisan yang ada di papan tulispun berubah semakin mendekat. Bulan Januari, berarti 90 hari tertulis jelas dipapan tulis kami menuju ujian nasional. Tepat pada tanggal 24 April 2008. Hari pertama sekolahpun dimulai pada semester kedua di kelas akhir.  Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, sekolah kami selalu didatangi oleh kakak-kakak kelas kami yang sudah kuliah di beberapa perguruan tinggi ternama di Indonesia seperti Universitas Nasional Jakarta, Institut Teknologi Ganesha Bandung dan Universitas Hayam Wuruk Yogyakarta. Ketiga universitas itulah yang menjadi dambaan seluruh siswa SMA se Indonesia, dan aku memiliki keinginan kuat untuk masuk dan berkuliah di Universitas Hayam Wuruk yang terkenal dengan kualitasnya yang mendunia. Hampir setiap minggu promosi universitas datang ke setiap kelas secara bergantian baik dari universitas swasta ataupun negeri. Sehingga aku selalu mengoleksi brosur dikamarku. Kumpulan brosur untuk kuliah di perguruan tinggi negeri. Namun tidak tau mengapa hati ini tetap saja tertuju pada satu nama. Universitas Hayam Wuruk Yogyakarta. Ada banyak alasan mengapa aku harus kuliah disana. Karena kota Yogyakarta adalah kota pelajar, budaya, dan murah jadi mungkin kedua orangtuaku tidak akan menghabiskan uang banyak untuk menyekolahkanku di Universitas tersebut dibandingkan di Provinsi lain. Selain itu juga universitas ini juga telah memiliki nama di dunia internasional. Hingga aku punya mimpi disiang bolong untuk dapat kuliah keluar negeri. Kalau teman-teman mempersiapkan diri untuk ujian nasional, aku tidak hanya itu. Aku harus mempersiapkan diriku mengikuti ujian seleksi masuk Universitas Hayam Wuruk (USM-UHW).

Malam itu aku nampak sangat lelah sekali namun  entah mengapa bunda ingin mengajakku bicara, aku sempat menolaknya namun bunda tetap saja memaksa. Lalu aku terduduk di depan televisi mendengarkan pembicaraan bunda. Menurutku penting, ternyata bunda hanya menanyakan tentang persiapanku menghadapi Ujian Nasional “Gilang, gimana persiapan ujianmu. Kira-kira akan lulus tidak? Bunda lihat di televisi banyak siaran ujian nasional tahun lalu siswa yang bunuh diri karena ujian nasional. Kamu harus benar-benar mempersiapkan nya ya”. Tanpa mngurangi rasa hormat aku pamit pada bunda karena memang seperti hari-hari bisaanya aku sangat lelah sekali karena harus menghadapi buku dan buku. Setelah minum susu aku lekas tidur. Tiba-tiba Fendy, sahabatku bisa dibilang satu-satunya sahabatku, datang kerumah. “Fen, kan gw udah bilang besok aja lo kesini nya. Gw ngantuk banget nih. Sumpah dah!”. “Kalo gw nyampein berita ini gw jamin lo gak akan bakalan ngantuk dah Lang!”. Sambil terpejam mengantuk aku mengiyakan “Apaan?”. “Liat brosur apaan yang gw bawa?. Universitas Hayam Wuruk. Kemaren mereka promosi disekolah gw. Mungkin besok di sekolah lo. Yang jelas, yang harus perlu lo tau. Seleksi masuk kesana itu seminggu sebelum ujian nasional. Itu masalahnya. Lo siap gak”. Aku kaget dan adrenalinku tiba-tiba saja mengencang dan aku segar bugar kembali “Seminggu sebelum Ujian Nasional. Kan sebentar lagi? Bisaanya bulan juni yah kalo seleksi masuk itu. Waduh mana gw belum ada persiapan apa-apa lagi. Ngomong ke nyokap aja belom klo gw mau kuliah. Belajar aja udah BT gw. Pendaftarannya kapan?”. “Sudah dibuka, tutup minggu depan”. “Hah”.

Malam itu seakan atmosfer kesusksean telah datang pada hidupku. Efendy sahabatku dari kecil di kampung ini bahkan temanku satu-satunya memang sangat bersahabat sekali. Dy sangat mengerti sekali keinginanku untuk kuliah di Hayam Wuruk.Aku dan Efendy memang berbeda sekolah. Sejak SD aku lebih beruntung dari Fendy. Aku selalu lulus pada sekolah favorite dan masuk kelas favorite. Sementara Fendy masuk sekolah negeri yang bisaa-bisaa saja. Tapi jelas itu bukan menjadi halangan kami untuk bersahabat. Aku dan Efendy tetap sejati hingga kini.

Masalah kini timbul lagi. Disaat aku seharusnya mulai fokus pada ujian nasionalku. Namun aku kembali di buat pusing dengan persiapan kuliahku. Bagaimana aku membicarakan ini kepada kedua orangtuaku. Menurutku pasti mereka tidak akan setuju. Begini memang nasib menjadi anak tunggal. Selalu saja sangat untuk dilepas dari orang tua. Semua secara detail selalu diperhatikan bahkan sempat aku merasa terlalu berlebihan kasih sayang mereka terhadapku. Sudahlah, aku memutuskan untuk tidur saja. Karena aku benar-benar sudah lelah dan malas memikirkan ini. Aku masuk kamar dan segera tidur.

Hari ini tepatnya pagi ini aku mendengar kabar bahwa senior kami yang telah kuliah di Universitas Hayam Wuruk akan mempromosikan UHW ke sekolah kami. Dan aku adalah orang yang bangga pertama kali dan penyambut pagar betis urutan pertama didepan gerbang sekolah untuk menyambut mereka. Akhirnya mahasiswa gagah perkasa mengenakan jas almamater UHW masuk kekelasku dan dengan bangga kami langsung menepuki mereka dan penasaran sekali dengan informasi yang mereka sampaikan. Promosi selesai dan aku adalah siswa yang paling aktif bertanya dibandingkan dengan teman-teman yang lain. Karena teman-temankupun sangat tau ambisiku untuk menjadi mahasiswa UHW. Sampai-sampai seniorku memberikan nomor HP dan siap untuk membantuku disana nanti hingga aku resmi menjadi mahasiswa UHW. Waktu sangat jahat sekali hingga harus mengakhiri perjumpaanku dengan peri-peri dari kerajaan ini. Ingin sekali aku meminjam jas alamamter mereka untuk sedetik saja. Namun menurutku itu sangat berlebihan.
Besok harinya aku melakukan rutinitas seperti bisaanya belajar hingga larut malam dan pastinya selalu melihat angka di papan tulis yang semakin menantang mendekatkan ke hari ujian nasional. 50 hari lagi. Aku dan teman-teman mengadakan acara syukuran dan pembacaan yasin disekolah hanya untuk berdoa agar kami lulus semua. Memang dahsyat pengaruh program departemen pendidikan saat ini. Bisa mengubah kamuflase hidup dunia pendidikan. Bukan hanya itu, bahkan banyak hal-hal lain yang menurutku sangat aneh dilakukan saat kamu duduk di kelas XII. Hanya karena satu hal. Ujian Nasional. Contoh kecil saja. Bisaanya kami tidak pernah melakukan sholah dhuha. Tapi setiap istirahat pertama aku melihat masjid penuh dengan siswa khusus kelas XII. Aneh. Setidaknya ada hikmah positif dari kebijakan ini. Dan masih banyak lagi hal-hal lain yang berbeda hanya karena ujian nasional.

Dijalan menuju rumah aku berfikir terus menerus tentang pendaftaran Universitas Hayam Wuruk. Bagaimana aku mengatakannya kepada ibu? Dan kalimat apa yang pantas aku lontarkan sebagi pembuka dan apa yang harus aku persiapkan. Aku kebingungan dan tak disangka kaki ini telah melangkah tepat di gerbang rumahku. Kenapa langkahku semakin berat untuk masuk kerumah. Aku mengurungkan niat untuk masuk rumah padahal waktu menunjukkan pukul 9 malam. Aku duduk di depan pagar memikirkan tentang keberanianku berbicara pada ibu. Hingga Bunda memanggilku dari dalam rumah. “ Gilang masuk saja, ngapain kamu duduk di depan gerbang begitu. Seperti anak hilang saja. Kenapa kamu duduk disana?”. Aku segera melangkah masuk dengan meberatkan otot-otot pada kakiku berharap waktu akan memberikan aku kesempatan berfikir. Ternyata ide itu juga tak kunjung datang sampai aku terduduk diam kaku diruang tamu. “Kenapa kamu duduk seperti anak hilang saja diluar? Kenapa? Kamu bingung mau ngomong sama ibu atas perbincangan kamu dan Fendy kemarin malam?” Aku terbagun dan mengapa tiba-tiba tubuhku terduduk tegap dan kaget melihat ibu tau apa yang ingin aku bicarakan. Setidaknya aku tak perlu menghabiskan banyak waktu untuk berfikir memulai kalimat pertama karena Bunda telah memulainya. “Iya bu, dari SMP, Gilang punya niat untuk kuliah di jurusan Psikologi di Universitas Hayam Wuruk Yogyakarta. Gilang punya cita-cita menjadi seorang psikolog lulus universitas ternama di Indonesia bunda. Maafin gilang bunda. Gilang gak berani ngomong langsung sama Bunda. Habisnya Bunda seperti tidak tertarik kalau ada pembahasan pembicaraan mengenai kuliah. Tapi Bunda, kekuatan hati Gilang untuk kuliah disana sangat besar bunda. Gilang mau mimpi Gilang terwujud dan Gilang sudah melakukan banyak hal untuk itu. Untuk dapat menjadi mahasiswa disana. Tujuan Gilang ikut Bimbingan Belajar sebenarnya bukan sematamata karena ujian nasional. Tapi karena bimbingan belajar gilang adalah bimbingan belajar yang menyediakan program khusus seleksi di Universitas Hayam Wuruk Bunda. Gilang sering sekali berhayal menjadi mahasiswa di Universitas Hayam Wuruk, menjadi anak kos. Trus memakai jas almamater dan bangga menyebutkan kalau gilang mahasiswa Universitas Hayam Wuruk”. Pembicaraan menjadi tegang dengan sendirinya dan ayah tetap saja menonton TV seakan tidak perduli. “Bunda sangat paham keinginan besar darimu. Dan bunda juga sudah mendiskusikan ini masak-masak dengan ayah. Sangat masak. Bahkan keluarga kami berduapun kami libatkan karena ayah dan bunda pikir ini masalah penting, Ini masalah masa depan anak satu-satunya Bunda. Bunda sangat menghargai mimpimu Gilang, semua orang juga punya hak untuk bermimpi. Ada beberapa alasan yang membuat kami tidak mengijinkanmu untuk kuliah disana. Hal yang paling mendasar adalah karena kamu adalah anak kami satu-satunya. Bayangkan betapa kami akan merasa sangat kesepian jika tidak ada kamu disini. Dan bagaimana dengan kamu yang tidak terbisaa jauh dari orang tua, bahkan untuk hal-hal kecil saja kamu selalu minta perhatikan bunda. Hal selanjutnya adalah Ayah sekarang kan hanya  pensiunan bisaa saja dan sekarang untuk makan pun kita sangat kesusahan. Sebenarnya kami tidak ingin membawa-bawa kamu kedalam masalah ini. Tapi kamu sudah dewasa dan harus berpikir tentang masalah yang kami anggap penting ini. Dan bagaimana nanti kalau kamu putus kuliah ditengah jalan malah akan sangat menyayangkan bukan? Untuk hal ini Bunda akan mengusahakan sekuat tenaga”. Aku hanya terdiam lemas mendengar penjelasan bunda dan menuju kamar lalu merenung sebelum tidur. Apa yang seharusya aku lakukan? Aku sudah terlanjur mendaftar online bersama Efendy dan dua minggu lagi test akan dilaksanakan di SMA Santa Benadius Palembang. Aku sudah mempersiapkan segalanya dengan matang.
Akhirnya aku menganggap test ini hanya iseng-iseng saja, aku menjadikan seleksi ini sebagai latihan sebelum aku menghadapi ujian nasional, walaubagaimanapun caranya jika aku lolos seleksi maka aku akan berangkat kuliah dengan atau tanpa restu ayah dan bunda. Pelaksanaan ujian seleksi Universitas Hayam Wurukpun dilaksanakan dan hampir seribu siswa yang mengikuti seleksi ini dan aku dan Efendy mungkin hanya sebagian kecil saja orang yang mendaftar. “Lang, gile orang yang daftar bejibun banget nih. Kita kagak usah mimpi untuk lulus dah ya!”. “Kalo kita gak punya mimpi untuk lulus. Kenapa kita daftar Fen”. Bel berbunyi dan semua peserta memasuki ruangan ujian. Aku dan Fendy berbeda ruangan karena Fendy siswa jurusan IPS, sementara aku jurusan IPA. Aku mencoba membuka lembar soal satu persatu. Dan aku seperti tidak melihat tulisan pada lembar soalku. Yang aku lihat hanya gambar gedung universitas hayam wuruk dan imajinasiku liar kembali untuk menjadi mahasiswa Universitas Hayam Wuruk Yogyakarta. Gambar imajinasi itulah yang membuat aku semangat mengerjakan lembar-lembar soal tersebut. Hingga semua rutinitas rangkaian seleksi sudah aku jalankan, Aku dan efendy serta peserta lainnya tinggal menunggu pengumuman seleksi bulan juni. Tapat seminggu sebelum pengumuman ujian nasional.


Mimpi memang indah dan semakin liar jika dibiarkan. Maka aku mencoba untuk menghentikan mimpiku sejenak menjadi mahasiswa Universoitas Hayam Wuruk. Angka dipapan tulispun berubah dengan elok dan terlihat seksi. Angka 3. Berarti menandakan kalau tiga hari lagi ujian nansional akan berlangsung. Entah megapa aku merasakan hegemoni yang berbeda saat mengikuti seleksi ujian nasional dan tes masuk perguruan tinggi. Tekanannya lebih ganas saat ujian nasional berlangsung. Lembar-lembar soal berubah menjadi bara api terutama untuk ujian fisika. Hari pertama keributan terjadi disekolah kami karena diisukan ada siswa yang keliru membulatkan lembar jawaban dan dipastikan tidak lulus. Akhinya isupun berlalu seiring dengan berlalunya ujian nasional. Angka dipapan tulispun berubah menjadi angka menuju penguman ujian nasional.  

Suasana menjadi renggang disekolah karena beban hilang begitu saja. Namun kami harus kembali menyiksa otak kami dengan rangkaian ujian praktek dan ujian sekolah yang akan diadakan sesaat lagi. Entah kenaapa aku tidak bisa menjelaskan sangat membenci pelajaran praktek olahraga, itu dia jawaban atas fisikku yang tidak proporsional. Gilang gembul. Julukan yang sudah tidak asing aku kenal. Semua kegiatan berlangsung seperti apa adanya. Begitupun dirumahku. Aku sama sekali tidak berani mengucapkan kata kuliah didepan bunda, karena aku tidak mau bunda merasa tertekan karena memikirkan kuliahku. Jadi aku berusaha membantu kedua orangtuaku menjaga warung kelontong saja di depan rumah. Selain pensiunan ayah. Inilah yang menjadi nafkah keluarga kami. Toko kelontong kecil didepan rumah.
Pengumuman dimulai.

Efendy datang kerumah kali ini bukan untuk mengajakku bermain. Namun secara diam-diam dia mengajakku ke warnet melihat pengumuman kelulusan penerimaan mahasiswa UHW. Dan kami berangkat dengan membuat suasana candaan agar tidak terlihat menegangkan. Dan komputer sudah didepan mata kami. Menunggu loading internet membuat kami melawan tingkat kesabaran kami yang paling tinggi. Dan jelas nama Efendy Gozali tidak dinyatakan lulus pada jurusan pilihannya, yaitu manajemen dan akuntansi. Lalu aku mengetik satu persatu angka nomor pendaftaranku sebagai syarat log in. Satu demi satu angka aku ketik seakan menjadi slow motion. Dan lama sekali jari-jari ini mengetikkan pada angka-angka pada keyboard komputer ini. Lengkap sudah angka nomor pendaftaran dan password yang aku tulis. Dan tombol enter aku tekan seakan membawa aku pada dimensi waktu yang berbeda membuat duniaku berputar sesaat terus berputar menuju perjalanan kehidupan dimensi waktu dan terus berputar hingga tulisan SELAMAT! Aku baca pertama kali. Kelanjutan kata itu mungkin sudah bisa ditebak kalau aku lulus seleksi pada jurusan Kedokteran Hewan. Meskipun bukan pada jurusan utamaku Psikologi. Setidaknya dokter hewan adalah pekerjaan yang menjanjikan. Profesi lebih tepatnya. Entah apa rasa saat itu yang dapat aku rangkaikan pada monitor layar komputer didepanku. Yang jelas aku sangat bangga sekali dan Efendy ikut menari-nari kecil riang karena meskipun dia tidak lolos. Namun Efendy merasa bangga atas keberhasilanku. Lagi-lagi nasib dari SD hingga ke bangku kuliah tidak bisa berubah. Aku memang sedikit lebih beruntung dari Efendy. Dan Efendy mempersiapkan dirinya untuk menunggu pengumuman di universitas negeri lain. Kebanggaan ku tidak menjadi lengkap rasanya kalau toh juga aku tetap tidak akan berangkat kuliah, dan aku teringat pesan ibu. Aku terduduk dan ekspresiku berubah secara tiba-tiba dan Efendypun keheraan.”Kenapa lang? Lo bukannya seneng malah kok jadi kayak ayam sayur gitu. Ayok bangga kawan. Lo gak mau mengekspresikan kebahagiaan lo karena gw gak lolos? Santai kali bro. Gw masih punya kesempatan di Universitas lain. Lagi pula gw gak terlalu kepengen amat kuliah disana. Sebenernya juga gw daftar tu cuma buat seru-seruan aja nemenin lo. Lo kan obsesi banget tu disana. Gw harus kuliah di Balikpapan. Orang tua gw harus nyuruh gw kuliah disana. Gw nurut-nurut aja. Minggu depan pengumumannya. Lo doain gw yah keterima disana. Jadi gak Cuma gw yang bangga. Tapi gw juga sekaligus bisa buat bangga kedua orang tua gw. Karena gw sudah memenuhi keinginan mereka, hidup untuk apa kalo gak memenuhi keinginan orang yang sudah melahirkan dan membesarkana kita. Ayolah kita makan2. Lo traktir gw ya!”. Aku makin pucat lemas pasi “ah lo! Buat gw tambah sedih aja. Justru itu yang buat gw jadi done. Kedua orang tua gw. Mereka gak setuju gw kuliah. Jadi ntar waktu nganter gw pulang. Lo jangan pernah berekspresi sedikitpun yah. Bisaa aja, anggep aja kita lagi maen dari mana gitu. Ok”. Efendy marah-marah “ gak bisa seperti itulah. Gimana ceritanya lo gak mau ngasih tau kedua orang tua lo. Itu universitas Unggulan di Indonesia dan harusnya lo bangga dan tunjukin kebanggaan itu ke keluarga lo juga biar mereka juga bangga. Gak mungkin mereka gak bangga”. Aku terus berdebat dengan Fendy masalah itu. Persetujuan orang tua, sebenarnya Fendy tinggal diam sajapun cukup kepada kedua orang tuaku. Tapi entah mungkin karena rasa persahabatannya itulah yang membuat dia merasa bertanggung jawab atas  kebahagiaanku. Saat di motor menuju pulang pun kita masih berdebat tentang hal itu dan akhirnya Fendy terdiam juga saat berada dihadapan bunda. Aku memutuskan untuk mandi dan langsung mentraktir fendy makan diluar. Kuharap Fendy tetap tenang terduduk diruang tamu rumahku. Semoga saja bibirnya tidak khilaf tentang penerimaanku di Universitas Hayam Wuruk. Mandi Selesai dan aku bergegas pergi untuk mentraktir Fendy makan.

Malam hari yang sangat larut pukul 12 malam aku tiba dirumah. Dan ibu sudah menungguku didepan pintu. “Gilang. Bunda mau bicara serius!”. Aku sontak kaget. Mungkin aku akan dimarahi bunda karena pulang terlalu larut. Tidak bisaanya juga bunda menungguku hingga larut malam. “Bunda tadi membereskan kamarmu. Tidak sengaja bunda lihat ada buku rekening tertulis atas namamu. Dengan nominal yang membiayai kamu kuliah bunda rasa cukup. Jelaskan Bunda dari mana kamu dapat uang itu dan kenapa kamu merahasiakannya dari Bunda”.
“Maaf bunda, kalau gilang sudah tidak jujur dengan bunda. Uang itu gilang tabung dari uang jajan gilang dari SMP. Karena memang gilang sudah punya niat dan tekad yang kuat dari SMP kalau gilang akan kuliah di Universitas Hayam Wuruk. Akhirnya perjuanagan Gilang gak sia-sia. Awalnya gilang berpikir tanpa atau dengan restu bunda, gilang akan kuliah. Karena gilang sudah memiliki uang sendiri untuk mendanai gilang kuliah”

“Kenapa kamu tidak menceritakan ini dari dulu? Kalau kamu memang punya tekad yang sangat kuat, silahkan kamu kuliah saja. Ayah dan Bunda tidak melarang. Untuk masalah dana nanti kami usahakan. Yang mengkhawatirkan bagi kami adalah melepasmu sendirian. Kalau tekadmu seperti itu Bunda yakin akan rela melepasmu, ayah juga. Jadi apa lagi yang membuat kamu ragu sekarang untuk menjadi mahasiswa Universitas Hayam Wuruk. Tinggal tunggu minggu depan untuk kelulusan Ujian Nasionalmu. Kalau pengumuman Tes seleksi sudah ada, beritahu bunda. Nanti kita rayakan ssama-sama”.
“Baik bunda”. Aku hanya terdiam. Dan aku tidak berani bilang pada bunda Kalau aku sudah lulus tes di jurusan kedoteran hewan. Tapi aku tidak berniat memberitahukannya malam itu pada bunda. Mungkin lebih tepat bunda tau dulu hasil ujian nasionalku.

Hari pengumuman ujian nasionalpun diumumkan dan aku beserta 239 peserta ujian lainnya penasaran dengan isu yang menyebar, menyatakan kalau ada banyak orang yang tidak lulus. Dan hasil terjawab sudah. Aku lulus dengan nilai cukup. Dan kurasa semua teman satu kelasku yang hadir juga lulus semua dikelas ini. Terlihat dari aura kebahagiaan yang menyeruak di ruang kelas kami. Hingga tak ada satupun yang tersedu dan menunjukkan tanda-tanda ketidak lulusan. Tapi ada satu kejanggalan dariku dan teman-teman adalah ketidak hadiran satu orang teman kami. Alessius Gonanza. Murid juara umum 2 tahun berturut-turut dikelas kami serta peserta olimpiade matematika tingkat nasional tidak ada diruangan kelas kami. Kemana perginya dia?

Desas desus kabar meyatakan bahwa Nanza tidak lulus ujian nasional karena jatuh dinilai bahasa inggriss. 4,00 dengan nilai standar 4,25. Dan dia memiliki nilai matematika 9,86. Nyaris sempurna. Ini dia yang menjadikan aku sangat membenci Ujian Nasional. Karena aku telah mengalaminya sendiri, bukan hanya melihat ditelevisi lagi. Aku menyaksikan temanku sang juara harus kandas hanya karena sebuah sistem yang rusak parah. Mungkin nasib saja tidak berpihak padanya.

Aku kembali kerumah dengan perasaan bangga dan segera memberitahukan ibu tentang hasil ujian nasionalku lengkap beserta kelulusan tes masuk UHW ku. Aku bangga sekali hari itu. Berasa seperti terbang diangkasa. Aku tidak mau ikut bergabung dengan teman-teman melakukan sebuah rutinitas budaya pelajar SMA, yaitu melakukan corat coret seragam sekolah. Aku sangat mendukung ritual itu karena itu pantas dijadikan ungkapan kebahagiaan atas kerja keras yang kami lakukan selama ini, bahkan sangat pantas. Tapi menurutku tetap saja. Lekas memberitahukan kedua kabar gembira  ini kepada ayah dan bunda membuat segalanya tidak penting dan aku pulang dengan melayang-layang menuju rumahku karena aku sangat bangga. Yeah aku akan kuliah menjadi mahasiswa Universitas Hayam Wuruk dan tinggal di Yogyakarta.
Aku mengetuk pintu dan mulai masuk kerumah, meletakkan tas di kamarku. Tanpa sempat membuka baju dan makan aku ingin segera memberitahukan hasil ujian ini pada ibu. Dan nampaknya ayah dan bunda tidak ada dirumah. Ternyata dugaanku salah. Ayahku ternyata berada dikamar dan aku melihatnya dibalik hordeng pintu kamar Bunda. Namun kenapa ada yang berbeda dengan ayahku? Kenapa ayah memegang dadanya seperti orang menahan rasa sakit. Dan aku terus memperhatikan. Aku mencoba mendekat meyakinkan. Aku terheran dan berteriak “Ayaaaaaaaah”. Ayahku terjatuh kesakitan sambil memegang dadanya. Dan aku berteriak meminta tolong ketakutan. Aku melepas genggaman kertas hasil kelulusanku. Membuangnya entah kearah mana aku tak perduli. Yang aku pikirkan saat itu adalah jiwa ayah dan rasa ketakutanku yang amat dalam dan aku terus berteriak. Semua tetangga datang kerumahku dan segera menolong ayah dan bunda tiba-tiba datang dengan heran karena melihat rumah ramai dengan penduduk. Bunda membuang belanjaannya dari pasar dan segera merangkul, membopong ayah menuju mobil dan membawanya kerumah sakit segera.  Aku membiarkan bunda berjalan duluan kemobil sementara aku berniat mencari kertas perjuanganku yang ntah aku lempar kesisi mana. Karena tergesa-gesa aku lantas tidak memperdulikannya dan segera menyusul ibu ke mobil. Aku melupakan pesta pora ujian nasional dan hanya memfokuskan pikiran pada ayah. Mobil ini seakan lambat sekali jalannya aku dan ibu pun histeris diluar kendali karena rasa takut melihat ayah semakin kesakitan. Akhirnya rumah sakitpun mulai tampak dipelupuk mata. Ayah langsung dilarikan ke UGD Rumah Sakit Islam Permata Hati Palembang. Dan semua nampak tegang saat itu. Tak ada suara, tak ada arah pikiran dan tak ada kepentingan apapun kecuali satu kata AYAH!.

Pikiran jahatku tiba-tiba merasuk melawati telinga dan merangsang otakku untuk berpikir bahwa aku tidak akan punya ayah lagi dan aku semakin ketakutan. Apa yang aku lakukan dan bagaimana dengan bunda jika kami tanpa ayah? Lantas bagaimana dengan kuliahku jika bunda tinggal tanpa ayah. Aku menangis dan mengingat masa-masa kecilku bersama ayah, saat ayah mengajariku bermain sepeda, mengajak aku menembak burung gereja di sawah belakang rumah nenek dan banyak kenangan yang akan membuat tangisku semakin rontok dari mata. Yang jelas aku sangat ketakutan saat itu. Hingga dokter keluar dari ruang UGD. Dan menyatakan ayah baik-baik saja. Dokter menjelaskan ayah terkena serangan jantung dan sementara ini harus dirawat bebearap hari di rumah sakit untuk melihat proses selanjutnya.
Ayah dirawat, dan aku dan bunda selalu menemani ayah diumah sakit. Aku duduk dikursi luar ruangan ayah mencoba memberanikan diri menghayal tentang kuliahku dan masa depanku yang sudah tidak ada harapan lagi. Bunda mengagetkanku keluar dari pintu. “Gilang. Bagaimana hasil kelulusanmu?”. Aku diam sesaat dan setelah cukup lama aku terdiam aku memberanikan menjawab “Lulus bunda”. “Baguslah, bunda berharap nanti juga tes UHW kamu akan lulus seperti yang kamu inginkan”. “Iya bunda” pengumuman itu terasa bisaa saja dan menjadi tidak penting buat hidupku. Aku mencoba untuk mengerti karena kondisi kami yang seperti ini mungkin membuat hal yang seharusnya istimewa harus menjadi bisaa saja. Tapi aku tidak berani mengatakan aku lulus di UHW. Aku semakin bingung mengatakannya dengan kondisi seperti ini. Dan bunyi gaduh terdengar dari ruang kamar ayah. Aku dan bunda segera membuka pintu dan melihat ayah sangat ketakutan. Ayah kejang-kejang dan kamipun ikut gelisah. Segera aku berlari memanggil dokter dan dokterpun datang dengan sigapnya. Ayah dibawa keruang khusus apa yang aku tidak tau namanya. Dan berbeda dengan kasus di UGD, dokter tidak memberikan angin segar pada kami dan mengatakan “Maaf bu, bapak terkena stroke dan kemungkinan dy akan lumpuh seumur hidup”. Bunda goyah dan aku kaku dibuat oleh perkataan dokter tersebut. Aku berusaha meyakinkan apa yang dibicarakan dokter benar adanya. Ternyata itu bukan mimpi. Ayah memang lumpuh saat aku meyakinkan diri memasuki ruang ICU tempat ayah dirawat dan ibu masih pingsan disalah satu ruangan. Aku tidak boleh mengangis melihat keadaan ayah begini. Aku harus tetap kuat karena jika aku menangis lalu siapa yang akan menjadi sandaran ibu saat bersedih? Aku mengajak bicara ayah yang tak dapat bicara lagi kini. Aku tertawa dan meneteskan air mata. Aku sudah berusaha kuat untuk tidak menangis. Ayah pun menangis. Namun aku kembali tertawa dengan tangisanku pada keadaan ini. Aku menatap wajah ayah dan terus menciumnya tanpa henti karena aku memang menyayanginya. Memang nasib tidak ada yang bisa ditebak arahnya kemana.
Aku tidak sadar kalau Efendy telah berada lama dirumah sakit dan menemani ibu yang pingsan di ruang sebelah. Aku menghampiri ibu dan Efendy mengajakku keluar membicarakan sesuatu. Aku mendengarkan Fendy dan menghapus air mataku. “Maaf Lang, tadi gw keceplosan bilang ke nyokap lo kalau lo keterima, Karena gw pikir pasti nyokap lo udah tau. Tapi nyokap lo bilang kalo dy belom dapet kabar dr lo. Gw gak tau kalo lo masih nyimpen kebahagiaan buat diri lo sendiri”. “Gak papa Fen. Sudah gak penting sekarang ngomongin ini. Sekarang lo anterin gw pulang ya. Gw pengen menyendiri untuk sesaat aja”.
Aku dan Fendy pulang menuju rumah dan membereskan rumah serta mempersiapkan barang bawaan yang ingin dibawa kerumah sakit. Aku kembali kerumah sakit malam harinya dan bunda menyambutku. “Bunda ingin bicara sama kamu tentang kuliah kamu”.

Aku dan bunda menuju pojok lorong rumah sakit. “Lagi-lagi kamu mengulangi keslahan yang sama. Kenapa kamu gak biang sama bunda kalau kamu sudah keterima sebelum pengumuman ujian nasional di UHW? Fendy bilang pendaftaran ulang terakhir hari rabu berarti lusa. Kenapa kamu gak ngasih tau ibu, besok segera kamu daftar ulang pake uang tabunganmu dulu nanti suatu saat bunda ganti. SEGERA! Tanpa memikirkan apapun”. Bunda sedikit marah dan memaksa. “Gak bunda, gak! Gilang gak mau kuliah. Gilang sudah memutuskan itu sejak Gilang sadar menjaga ayah dan bunda yang sudah semakin lanjut usia itu lebih penting dari pada kuliah mengejar impian yang belum pasti”.
“kamu jangan bodoh Gilang, besok kamu berangkat kejogja dan langsung daftar ulang dan mempersiapkan diri kamu untuk kuliah disana, itu impian kamu. Impian yang tidak  bisaa yang sudah kau tanamkan sejak SMP, dan itu waktu yang sangat lama. Kamu harus kejar dan menyelesaikan sesuatu yang sudah kamu mulai”.

“Tidak bunda. Gilang sudah pikirkan semuanya sejak lama. Gilang memang gak mau kuliah, karena buat gilang ayah dan bunda jauh lebih penting dari hidup gilang sendiri. Bunda jangan salah paham. Gilang sudah merencanakan semuanya. Itu alasan kenapa Gilang gak mau kasih tau kelulusan gilang. Gilang punya rencana yang indah dari pada menjadi mahasiswa UHW. Gilang akan kursus bahasa inggris disini dengan lokasi yang dekat dan biaya yang murah trus gilang merasa punya banyak keahlian untuk mencari pekerjaan. Mungkin Gilang akan bekerja di bengkel milik Om Burhan dekat dengan rumah kita. Mereka sangat membutuhkan pekerja atau lain apapun yang bisa Gilang kerjakan. Om Burhan sudah mengiyakan untuk Gilang bekerja disana. Gilang sudah mempersiapkan semuanya dengan indah bunda. Nanti Bunda pakai uang tabungan Gilang semuanya, dan sisanya gunakan buat usaha yang gilang pikir dapat dijadikan kehidupan sehari-hari kita bunda. Gilang sudah punya rencana akan merawat Bunda sampai masa tua Gilang. Merawat ayah juga. Coba bunda lihat wajah ayah. Gilang yakin, gilang masih bisa membuat wajah ayah selalu tersenyum saat gilang disamping ayah. Dan gilang bisa jadi seseorang yang bunda andalkan bunda. Gilang bisa jadi kepala rumah tangga yang baik buat keluarga kita bunda. Gilang sudah merencanakan semuanya dengan indah Bunda. Tidak ada hal yang paling indah buat gilang sekarang selain tetap disamping Bunda dan ayah selamanya”.

Bunda memelukku dengan eratnya, sangat erat. Bunda tidak pernah memelukku selama aku dewasa. Setidaknya ini lebih membanggakan. Mengejar impian dibalik sebuah impian yang terbentang menjulang.

Kasih sayang yang paling indah adalah kasih sayang yang selama ini ibu berikan untuk kita. Ibu memperkenalkan pada kita sebuah keputusan Tuhan yang masih bertanda tanya. Dan ibu juga yang memberikan jawaban karena ibu uluran tangan Tuhan. Setiap orang akan berfikir bahwa kesuksesan adalah apa yang ia dapatkan dan ia raih dengan penuh perjuangan dan kerja keras. Membuat lupa bahwa do’a ibu adalah pekerjaan paling keras untuk perjuangan seorang anaknya. Percayalah dalma setiap detik kita merasakan kebahagiaan, maka ada seribu do’a ibu yang turut campur tangan. Ibu adalah dosa besar saat kita melangkah menuju surga. Lihatlah wajahnya lebih dalam maka engkau akan tau berapa banyak dosa yang kau miliki pada ibumu.

Impian tidak mempunyai batas ruang dan waktu, impian juga tidak bisa diterka, impian juga tidak bisa dipastikan. Karena impian adalah kebahagian buka kemenangan.

Pelajaran Hidup


Hari ini aku kembali walau sekian lama aku tak perduli dalam hidup ini. Sesaat aku mengerti bahwa hidup yang aku gunakan ternyata penuh dosa. Seakan aku menggali kemaksiatan lalu aku terperana melihat takdir yang seakan murka. Saat ini aku hanya terperanga saja melihat sebuah keputusan yang mungkin hasil sebuah dosa besar yang telah aku lakukan. Namun aku hanya bisa terpaksa senyum saja melihat semua ini, karena semua telah terjadi. Tapi mengapa hasil yang menyakitkan ini terjadi saat aku ingin kembali. Perih rasanya jika kita tau telah merasa dipermainkan oleh hidup ini, tapi aku akan mencoba untuk bangkit dan terus kembali. Walau jalan seakan pucat tapi telah kutemukan sebuah pelajaran yang mungkin saat  ini telah menampar bias wajahku. Keadaan seperti tak kualami hanya sekali ini saja. Namun kebiasaan menerima sebuah kegagalan membuat aku kuat dan merasa bahwa dunia ini di takdirkan memang untuk kebaikan. Namun kejahatan yang ada hanya sebuah lakon drama yang membuat kita seakan sadar betapa perihnya hidup ini.
Terima kasih Tuhan dan terima kasih cinta. Engkau selalu memberikan pelajaran yang sangat banyak akan hidup ini. Hingga membuat aku semakin percaya bahwa Tuhan itu ada dan memberikan cinta. Terima kasih takdir, yang membuat aku percaya bahwa hidup ini memang harus dibuat lurus dan maju terus. Meskipun jalan itu terasa sakit jika terinjak, tapi aku yakin bahwa hidup ini akan berakhir pada sebuah tanda Tanya. Dan berujung sebuah kebahagiaan. Harapan. Jika hari ini tak terjadi mungkin aku tak akan pernah mengerti bahwa Tuhan memperhatikan setiap langkah yang pasi. Namun aku terlalu mempermainkan kebaikan Tuhan sehingga ia murka dan aku hanya diam. Tapi yang aku harus ingat adalah bahwa hidup ini akan selalu berdampingan dengan Tuhan. Dan aku akan selalu bertanya pada Tuhan, kenapa aku dibiarkan kejalur yang hitam, Karena agar aku tau bahwa hitam itu buruk. Dan Tuhan akan kembali memberikan maaf yang berbentuk cahaya kecil di ujung sudut mata memandang. Dan aku kembali terdiam dan menyiapkan strategi untuk maju kedepan dan meraihnya. Karena Tuhan selalu memberikan tanda-tanda akan kebenaran. Terima kasih Tuhan telah memberikan aku sebuah penghargaan dalam sebuah keterpurukan dan kebimbangan. Aku akan terus mengambil pelajaran dari semua hanya untuk kembali pada-Mu karena yang aku tau… hidup itu tak palsu, iya nyata dan aku akan terus bermain bersamanya. Tuhan.

Manusia Sampah


Saat ini aku kembali berdiri menapaki hari demi hari. Seakan pucat dan bias oleh sinar mentari yang ternyata kembali bersinar lagi. Aku baru sadar ternyata pagi telah kembali lagi dan aku hanya berdiri tegak menapaki mimpi. Maafkan aku atas hidup yang selama ini aku terpaki karena aku rasa itu kemampuanku dan ternyata aku hanya bisa diam tak berbuat apa-apa dalam hidupku ini. Saat aku mencoba kembali melihat manusia yang tersenyum dengan keadaanya yang bahagia, dan aku Cuma bisa diam bediri manis sambil memberikan senyum terindahku. Tapi lagi-lagi aku hanya diam. Salahkah aku jika aku selalu memuji dan terpaku melihat keindahan manusia sementara aku tertawa dalam keterpurukanku yang tak berdaya tak bisa apa-apa. Aku kembali lagi tersenyum melihat sebuah keanekaragaman mimpi indah pada semua manusia. Mencoba menebak bahwa akhir pada hidup mereka semua adalah garis yang telah mereka ukir saat ini dan aku kembali merenungi bahwa aku tak berbuat apa-apa. Bagaimana cara untuk membuat hidup ini berharga dan mempunyai nilai jika aku terus saja menilai akan kebaikan tiap orang dan aku selalu merasa hina. Menanti mati disini seakan lelah menatap masa depan karena aku berfikir diriku sampah yang sengaja ditimbulkan karena memang aku harus ada bukan karena aku memiliki arti yang hingga kini aku tak mengerti. Hmmm, terlalu termangu hingga aku terlelap melihat indahnya semua manusia dan aku hanya bisa terpuruk disini. Aku ini siapa? Berlagak heboh dan gaduh pada semua keramaian tapi sebenarnya aku bisu dalam sebuah kesendirian. Aku sepi, aku sendiri dan aku sudah terpuruk pada dunia ini. Aku disini hanya terdiam lalu menyalahi masalalu sehingga aku murka pada tiap manusia di masalalu yang menjadikan aku sampah saat ini. Aku kembali memaki diriku sendiri. Mereka semua bisa membuat menara indah pada sebuah mimpi sedangkan aku menjadi bias akan sebuah prestasi lalu apa yang bisa aku banggakan pada hidupku saat ini? Aku merasa sunyi dan sendiri seakan tak pernah ada orang yang mengerti. Karena aku lagi-lagi sendiri. Mereka berlari tapi aku hanya bisa merangkak, mereka tertawa namun aku hanya bisa tersenyum, mereka memukul aku hanya bisa menyentuh, lalu apa yang bisa menjelaskan bahwa hidupku adalah manusia? Aku merenungi seakan memang benar bahwa aku disini terlambat untuk bermimpi. Aku takut pada diriku sendiri, aku takut pada mimpi-mimpi ini. Aku takut pada semua orang yang semua sudah berlari dan aku masih memegang tongkat untuk berjalan. Karena kebenaran yang hakiki untuk hidupku sudah tak ada lagi.
Tuhan. Aku merasa engkau telah berlari dan membiarkan aku disini? Dan apakah kau telah jemu melihat sampah ini tak berani dalam kehidupan ini? Atau kau telah muak memberikan kesempatan pada hambamu yang rindu akan mimpi ini? Tuhan. Aku merasa sulit untuk berlari padamu dan mengapa semua ini terjadi Tuhan. Aku hanya ingin kau tetap disisiku menjadi teman terbaikku tapi iblis dalam diri ini selalu menjadi akrab saat Kau mulai mendekat dan menjadi musuh saat Kau pergi jauh. Aku bingung pada hidupku sendiri Tuhan. Setidaknya aku mendapatkan sebuah pelajaran bahwa aku harus berani melawan semua hidup ini, aku harus menerjang akan mimpi yang sudah lalu lalang bahkan menghilang. Kakiku sudah patah Tuhan untuk mengejarmu. Hatiku sudah beku saat aku ingin menangis menyembahmu. Bahkan otakku sudah gila bahwa Kau sudah tak ada. Aku sepi Tuhan. Aku sendiri Tuhan, manusia pergi karena aku keji. Mereka segan karena aku bertemankan setan. Tuhan. Hanya ini yang dapat aku lakukan. Dekaplah aku saat aku tak memiliki siapapun. Biarkan semua orang pergi meninggalkanku tapi kumohon Tuhan. Jangan Engkau berlari dariku karena aku merasa sempurna didekatmu meskipun manusia menganggap aku tak bisa apa-apa. Tuhan salahkah jika aku mengeluh pada rinduku pada masalalu. Lalu kenapa kau membiarkan aku dewasa tapi Kau tak memberikanku apa-apa. Seakan aku tak punya bekal dihidupku saat ini. Aku kosong dan merasa tertinggal bahkan merasa hina pada setiap manusia yang ada. Mereka semua sempurna dan Engkau berikan mereka kapur tulis untuk mereka membuat garis hidup mereka masing-masing sementara mengapa Kau tak memberikan apapun padaku? Dimana letak unsur-unsur manusia pada hidupku yang kini telah dewasa. Tuhan. Kembalikan hidupku kemasalalu karena aku takut dan ngeri jika harus bertempur pada mimpi dengan manusia yang semuanya memiliki amunisi. Dan aku dipaksa untuk jadi seorang pendekar yang bertangan kosong. Aku pasi Tuhan. Semua manusia disekelilingku hanya memberikan kebohongan padaku seolah mereka adalah belahan jiwaku. Tapi aku masih merasa kosong dan tak punya siapa-siapa. Berikan aku petunjuk Tuhan agar aku menemukan diriku di manusia lain agar aku punya teman dalam melangkah dan dapat membopong hidupku karena aku patah. Aku patah. Tuhan. 

Tulus Mencintai


Kini aku mencoba berani membuat kisah dalam percintaan. Percintaan yang dimulai dengan permulaan yang salah, aku mencintainya karena aku rasa benar. Aku juga mencintainya karena nafsu dan itu sebuah kesalahan, dan juga aku mencintai yang lainnya lagi karena sebuah kenyamanan. Inti dari semua permasalahan karena bimbang. Karena aku takut, karena aku merasa tak berarti.

Aku mencinta cinta karena aku yakin aku memiliki masa depan, mengukir keindahan agar aku dapat menanti mati bersamanya. Aku juga ingin hidup yang sebenarnya tanpa sebuah kebohongan meski cinta tak nyata pada sebuah kasih sayang dan nafsu yang liar. Aku hanya ingin masa depan yang indah karena aku  yakin bersamanya aku ada. Meskipun rasa cinta yang sebenarnya belum  tumbuh. Tapi ini nyata dan harus dinyatakan. Penuh sebuah kebohongan memang. Tapi ini lah kehidupan atas nama cinta, aku butuh pengakuan atas nama sosialita dan aku menemukannya. Aku mencintainya dengan sungguh-sungguh seperti aku mencintai diriku sendiri tapi tidak nafsuku. Aku bias seolah ketidaknormalanku membuat nyaman akan percintaan. Aku mencintainya untuk menjalani hidup, melangkah dan menantang dunia. Tapi sampai detik ini pun aku tak mengerti apa itu cinta? Kasih sayang? Nafsu? Atau perjuangan yang sebenarnya? Aku tak merasa memiliki ketiganya karena aku hampa dan sirna. Aku menjalaninya hanya karena aku ingin diakui didunia ini hanya karena aku ingin dunia menganggapku ada. Tapi apa ini salah? Tapi aku yakin semuanya akan timbul ketika aku terus bersamanya sehingga kasih sayang, nafsu dan perjuangan akan berjalan beriringan. Aku yakin punya mimpi itu meski sulit dan butuh banyak perjuangan.

Tuhan. Yakinkan aku bahwa dia milikku seutuhnya dan aku bisa mencintai setulusnya seperti seorang laki-laki mencintai seorang wanita yang sebenarnya. Aku ingin hidup sesungguhnya dan melihat dunia kedepan dengan penuh harapan. Tuhan, terima kasih telah menciptakannya untukku karena aku tau ini sebuah petunjuk bahwa hidupku akan lurus. Nikmat mana yang ku dustakan Tuhan. Karena wanita ini adalah anugerah terindah yang pernah aku miliki. Bersamanya aku yakin bisa. Aku yakin bahwa cinta tidak hanya kasih sayang saja, nafsu saja dan perjuangan saja. Tapi pertautan diantara ketiganya. Mulai detik ini aku akan mencoba mencintai orang yang mencintaiku dengan sungguh-sungguh. Karena itulah cinta yang sebenarnya. Tuhan.

Takut Hidup


Hari ini aku mengadu lagi, sebagai orang yang lemah, tak bisa berbuat apa-apa. Aku kembali bingung pada hidupku Tuhan, aku tidak mengerti apa yang sebenarnya kau beri pada cerita hidupku ini. Mengapa aku terus tersakiti pada hidup yang aku buat sendiri. Tuhan, aku sungguh tak bisa membohongi rasa ini, aku bingung ingin berbuat apa lagi. Aku sampai tak mengerti dengan hidupku sendiri.

Kalau memang benar kau telah menciptakan cerita yang salah pada hidupku. Mengapa aku terus dipaksa berjuang agar kembali kepada kebenaran. Kalau memang aku harus berjalan pada jalan yang benar, mengapa sesat itu nyata menyala dan terus menganga? Tuhan, kadang kau memberiku petunjuk bahwa kesalahan inilah kenyataan. Tapi kadang juga kau memberi jalan bahwa kebenaran jalanku sebenarnya sudah ada? Jadi mana yang benar Tuhan? Ini sakit Tuhan. Sakit. Aku semakin tertampar-tampar oleh jalan yang aku tapaki, aku tak bisa sembunyi pada hidupku sendiri Tuhan. Secara terus menerus.

Andai ada satu pilihan yang dapat menjamin seluruh jawaban benar, maka aku tak memilih Tuhan. Karena hatiku selalu dikendalikan setan. Namun kenapa kau terkadang enggan mengarahku dan berdiam saja terus menuntut aku berpikir? Aku lelah Tuhan. Lelah. Aku tak mau hidup terus begini. Penuh kepalsuan dan ketidak jujuran. Aku ingin diteguhkan dan aku ikhlas Tuhan jika nanti engkau memberikan aku jalan seperti apapun. Tapi tolong engkau juga ikhlaskan aku agar aku yakin bahwa jalan ini engkau yang telah beri kepadaku. Tapi aku yakin dan terus meyakini. Bahwa jalan yang aku inginkan bukan keinginanmu Tuhan. Karena aku salah, terus saja salah.

Tuhan, mengertikah engkau bahwa aku takut pada hidupku sendiri, aku sesak dan tidak bisa bernafas, ingin segera mengakhiri hidup ini. Aku sepertinya sudah tak menemukan lagi makna aku hidup di dunia ini. Karena aku sudah hilang pada kenormalan hidup yang selalu dipamerkan setiap orang. Aku cacat Tuhan. Beri aku petunjuk untuk aku lebih mengenal siapa aku sebenarnya. Dan beri aku petunjuk, hidup seperti apa yang kau inginkan dariku sebenarnya. Agar aku tidak bimbang dalam menjalani keputusan. Agar aku tidak nyaman dalam kesesatan. Agar aku tidak penuh dengan rasa ketakutan. Aku tidak mau berada pada ketidaknyamanan pada hidupku sendiri yang seharusnya aku nikmati. Aku merasa beda dari semua makhluk yang engkau ciptakan. Engkau sangat cerdas Tuhan. 

Perpisahan


Untuk apa ada kebahagian kalau toh tangis juga tetap ada. Untuk apa ada kesempatan kalau ujung-ujungnya digagalkan? Untuk apa ada waktu kalau akhirnya menyakitkan, Untuk apa dipertemukan kalau akhirnyapun harus dipisahkan? Detik detik waktu mendekat semakin melaknat. Membuat aku takut bangun di pagi hari ini untuk membuka mata melihat cahaya matahari. Kaktus-kaktus kecilpun mulai merontokkan durinya dan waktupun hilang begitu saja. Rumput-rumput basah mengering, waktu telah lama berbaring. Telah banyak tinta-tinta pena yang buyar tertulis di lembar yang kusam demi sebuah kenangan. Sampai suatu titik dimana aku merasa ini sudah menjadi kerajaanku. Selir-selir dan dewa-dewa bersabda dan baginda raja mengangguk menuai petuah. Aku pangeran yang terlanjur nyaman dengan keadaan. Titik demi titik ku tuai ditempat ini hingga terangkailah sebuah gambar indah. Vegasus bersayap jingga, terbang diangkasa, berputar-putar membentuk sebuah lingkaran tanda mempersatukan sebuah ikatan. Tempat ini terlanjur menjadi dalang sebuah pertemuan, lalu begitu saja diputuskan. Tempat ini juga ternyata menjadi biang perpisahannya. Disini aku tidak mengenal kesepian, disini aku tidak mengenal kehampaan karena disini aku mengenal kalian. Tuhan memperkenalkan aku pada kurcaci-kurcaci lucu, menggandengku setiap pagi mengayunkan tangan yang sudah dipersatukan, menghapus air mata yang sudah berkarat kusam dimata, mengeratkan untaian demi untaian sebuah kenangan. Ku dekap dan kupeluk mereka, hingga hujanpun turun membuat semakin bergairah. Pangeran telah menemukan titahnya. Titahku tentang masalah waktu. “kalau memang benar waktu tak bisa dihentikan, berikan aku kesempatan berdiri pada suatu detik waktu, mengatakan pada kenangan bahwa aku akan merindukan kalian” jari jariku mengkerut mengkerdilkan kenyataan kalau ternyata kita harus dipisahkan. Semoga saja kaki ini tak lumpuh untuk menapak menempuh waktu, menjauh. Semoga saja mata ini tak sayu saat aku mulai berjalan maju, menjauh. Semoga saja hati tak runtuh saat aku berpaling darimu, menjauh. Selamat jalan kawan, izinkan aku membalikkan badan dan kembali menatap masa depan. Kemudian tangan-tangan kecil mungil menepuk pudakku menopang daguku, senjata untuk membunuh iblis-iblis yang tega menjalankan waktu. Sampai akhirnya datang hari paling kejam, hari ini. Akan aku jadikan ini rangkaian petuah kepada rakyat dinegeri antah berantah. Tentang kalian, tentang bersama kalian, tentang suatu kebahagiaan. Ku ceritakan bagaimana kita bisa tertawa bersama, ku buat mereka iri karena kita sering bercanda. Ternyata langit melepuh, mendung mengayuh membuat hujan semakin rusuh, keadaanpun mulai lumpuh. Kawan. Bejanjilah bahwa kita akan bersama-sama kembali menengok kebelakang tentang sebuah kenangan, di suatu hari nanti disaat kita berdiri melihat mentari yang sama seperti hari ini. Demikianlah sabda dan petuah raja yang sebenarnya. Tentang hari ini, tentang kebersamaan, tentang kita bersama.

Harapan CINTA


Dengan senyum aku mulai berani melangkahkan kaki. Bermimpi bahwa dy punya niat untuk datang lagi. Dengan sabar aku menanti, bergumam pada gelas menceritakan kejadian sebuah kesalahpahaman. Air bergemerecak menemani kesabaran. Akankah harapan berani unjuk gigi? Ku bicara lagi pada gelas akan arti sebuah mimpi. Dan senyumpun sedikit demi sedikit mulai merata. Kebahagiaan mulai sayup dan penyesalan semakin meraja lela. Apa aku dipermainkan pada sebuah harapan? Baru saja aku ingin bercinta rumput sudah bergoyang-goyang tanda tak suka. Atau memang dy tak akan datang. Dan senyumku akhirnya benar-benar melepuh. Miskin penantian. Ku buka sebuah pesan, berniat mencari kepastian. Dan nasib lagi-lagi menjadi banci kali ini. Aku kalah pada harapanku. Kemarin aku gagal, itu juga karena nasib yang berulah. Sekarang aku gagal, masih pantaskah nasib yang salah? Rumput terdiam, air di gelas tenang. Kalau sudah begini, siapa yg dipersalahkan? Alasan apalagi yg ada esok hari untuk menjelaskan semua ini? Kusenderkan bahu pada dinding yang mulai letih, kuhembuskan nafas berkali-kali karena aku kecewa lagi. Hari ini aku lebih tegar, selagi masih bisa menyalahkan nasib esok hari. Kucoba berbincang pada angan, kau juga tak datang. Kutelan habis air di gelas, kau tak datang. Ku potong rumput hingga akar, kau juga tak datang. Kau tetap tidak datang. Hari ini aku lebih tegar. Kau juga tak datang.

Tapi akankah membuat aku lupa pada lukisan wajah yang tersangkut dikepala. Panas bara matahari aku rasa tak akan mampu menghapuskan bayanganmu dalam pikiranku. Tiba-tiba muncul sebuah harapan, mencoba berjalan kedepan menabrak perbukitan yang sejak tadi kupandang. Karena mentari terletak dibaliknya. Ku harap kudekat semakin membara panas yang aku rasa. Agar pikiran ini melepuh. Sia-sia. Kubalikkan badan dan kuterjang semua hayalan. Kudobrak pintu demi pintu rumahku demi sebuah kenyataan bahwa dibalik pintu kesepuluh akan ada masa depan yang lebih indah dari pada memikirkannya. Aku masih terduduk dipintu pertama.

Menanti CINTA


Kupersiapkan diri menanti mentari pagi. Memberikan harapan yang sebenarnya sudah lama hilang. Ku buka pintu dan duduk penuh impian. Genteng-genteng rumah bergoyangan, angin kencang datang tak pernah senang. Pintu menabrakku luput sudah masa depan. Aku masih terbayang-bayang wajah yang kian menggerayang malam. Aku terbangun di pagi ini bukan tanpa alasan. Hati kembali bergumam. “sosok mana yang membuat kau lupa akan tenangnya malam? Jantung ikut berontak semakin berdetak tak punya otak. Darah mengalir deras melindas-lindas organ dalam tanda tidak tenang. Waktu mana lagi yang akan aku hancurkan untuk menindas-nindas kenangan yang tak berangan. Prosa cinta hanya bermain-main saja. Pandangan masih gelap tapi bayangan masih benderang. Apa mungkin wajahmu sulit untuk dilupakan. Selalu mengganggu dan semakin lama akan merusak pikiran. Kuhadapkan tembok persis didepan wajah, kubenturkan kepala namun wajahmu tak juga reda. Perlukah ku jatuhkan lonceng diatas kepala lalu kepalaku pecah? Otak berceceran dan di syaraf yang mana wajahmu tersimpan. Kupandangi pelan-pelan garis lurus mata, membentur kaca rumah sebelah. Aku melihat kembali wajahku. Kau melihatku dari balik kaca jendela, apakah itu rumahmu? Ilusi. Kusenderkan pikiran pada sebuah tiang, kupeluk dan kudekap ia mesra.  Kucumbu sampai melenguh. Uh. Cinta menuntut kenyataan. Ada sinar tiba-tiba datang dari sudut mata memandang, mentari muncul memberikan harapan. Tapi akankah membuat aku lupa pada lukisan wajah yang tersangkut dikepala. Panas bara matahari aku rasa tak akan mampu menghapuskan bayanganmu dalam pikiranku. Tiba-tiba muncul sebuah harapan, mencoba berjalan kedepan menabrak perbukitan yang sejak tadi kupandang. Karena mentari terletak dibaliknya. Ku harap kudekat semakin membara panas yang aku rasa. Agar pikiran ini melepuh. Sia-sia. Kubalikkan badan dan kuterjang semua hayalan. Kudobrak pintu demi pintu rumahku demi sebuah kenyataan bahwa dibalik pintu kesepuluh akan ada masa depan yang lebih indah dari pada memikirkannya. Aku masih terduduk dipintu pertama.

Kesepian


Takdirku memang selalu bisa mencintai dan berharap pada cinta itu sendiri. Tanpa perduli apakah dy mencintai. Seluruh kata pujangga seakan habis terbuai-buai menampar dinding-dinding kamar yang hampa. Selimut menyadari keadaanku yang semakin sepi tanpa cinta, berani membayangi, menatap pada kekosongan ruang yang pengap dipenuhi kata-kata mutiara. Pujangga sekalipun akan kalah jika harus membuktikan rasa. Dan kudekap selimut dengan kencang agar aku tersadar bahwa kesepian ini bukan hayalan. Ini nyata. Buta tanpa cinta. Satelit mana yg tidak aku gunakan utk memberi sebuah pertanda. Pujangga mana yg tidak aku pakai untuk sebuah ungkapan? Kumelirik jam didinding. Satu jam yang lalu aku memikirkannya. Kubunuh waktuku malam ini dengan berharap bahwa cinta akan datang. Lagi lagi tabu. Kupejamkan mata berharap tuhan mengasihaniku, memberiku sebuah mimpi. Ternyata cinta menuntut sebuah kenyataan. Bunyi detik jam semakin membuat aku percaya bahwa sebenarnya cinta itu tak ada. Jatuh pada pukul berapakah pikiranku akan mengaung? Tersiksa akan sebuah harapan. Bunyi lonceng tiba tiba saja mengalun memberikan aku kenikmatan akan sebuah harapan. Dan akupun terbuai dan mencoba berbincang pada mimpiku malam ini. Akankah besok kabut akan muncul lagi?
dan kebahagiaanku dan batal semua pelangi di siang hari. Almari dihadapanku berdiri kokoh sama tinggi seakan menantang, kau dan aku siapa lebih bahagia? Aku terpeleset, almari terpelanting dan blur penantianku. Berpaling aku pada langit. Dy masih saja mengawasiku. 



Menuntut bahagia


Ternyata memang benar. Tuhan membatasi kebahagiaan tiap orang. Itu kata langit padaku. Disaat aku terbang melayang diudara. Burung pun ikut berkicau, bersenandung kemilau. Aku jatuh dan mendung mendekap dengan hangat. Kebahagiaan itu oase padang pasir semakin dikejar semakin menjauh, sampai aku tak sadar sedang bermain-main pd kemelut. Langit menghitam, petir menyambar, aku semakin takut. Berlindung pada pinus membuat aku berdarah. Badai datang, alam murka dan mendung melepasku dengan kejamnya, hujan datang dan petirpun menyambar, halilintar menghadang dan tumpukan dedaunan masih melindungiku. Akankah bumi juga menelanku?

Duduk di bawah pohon bergosip dengan nasib, jauh sampai pandangan berani menatap keujung lalu aku dibutakan. Semua tertutup kabut sehingga aku lupa Tuhan berlindung dimana untuk memperhatikanku. Kasihan Tuhan, mengawasi domba kesepian. Terus dituntut sementara manusia melayang terbang. Daun kering jatuh menampar, ada mercusuar meledak buyar smw keadaan. Hilang tanpa arah dan langit masih saja berkata-kata. Itulah indahnya jagat raya kata dunia.

Tuhan masihkah aku diberikan harapan untuk berteriak menuntut kebahagiaan? Apa aku harus berbisik saja. Tapi nanti langit mendengar dan ia iri pada kebahagiaanku dan batal semua pelangi di siang hari. Almari dihadapanku berdiri kokoh sama tinggi seakan menantang, kau dan aku siapa lebih bahagia? Aku terpeleset, almari terpelanting dan blur penantianku. Berpaling aku pada langit. Dy masih saja mengawasiku. 

27 November

#CERPEN#

Semua ini memang berjalan indah ketika kita menatap langit biru jika saja dia tetap ada disampingku berdua saja. Mungkin itu akan menjadi harapan terakhirku pada rumput yang mengangguk-angguk setuju dihadapanku. Sayangnya perpisahan ini menjadi kelabu merubah langit yang nyatanya biru mengapa terlihat kelabu? Setidaknya aku tidak buta karena cinta. Aku mabuk pada diriku sendiri. Aku khilaf pada keputusan yang telah lama aku buat. Dan saat ini aku sedang marah pada lamunanku sendiri. Dan mencoba menimpuk bukit tepat dihadapanku namun tak sampai dan tak akan pernah sampai. Satu, dua, dan tiga, dan hampir ratusan batu-batu kerikil disekelilingku menjadi ungkapan kemarahanku, kemarahan pada bayangan yang sudah lama hilang, namun melintas dan terdiam lama berhadapan dengan mata seakan menjelaskan peristiwa saat aku masih gila dengan cinta.
---
27 November 2000, tepat 3 tahun aku bersamanya. Aku bersama kekasih yang aku cintai. Dan tepat 2 tahun aku bersekolah di tempat ini. SMA Muara Gita Sulawesi Utara. Seharusnya aku tidak bertempat disekolah ini. Karena pada saat aku mengikuti ujian seleksi sekolah menengah negeri, namaku tercantum jelas di Koran tepat dua tahun lalu. Namun kebahagiaan yang harusnya aku rasakan tidak juga dirasakan pada belahan jiwaku saat itu. Andreas, lelaki yang membuatku selama ini mengerti akan hidup, membuat aku merasa berguna disaat semua orang menganggap aku sampah, dia seakan menjadi mesin pendaur ulang hidupku. Disaat akupun sudah tidak kenal keluarga yang utuh saat ayah dan ibuku bercerai, dan Andre lah yang menjadi satu-satunya sandaran kegelisahan. Dan andre sudah lekat terlalu dalam dihatiku. Nama Andreas Purba Sinaga jelas-jelas tidak tercantum pada Koran yang menjadi sumber informasi kelulusan SMA negeri di Manado, dan kami terus mencari lagi dan lagi. Tetap saja namanya tidak ada. Hatiku senang saat aku lulus pada urutan ketiga dan kesenangan itu tak dapat aku rasakan saat aku tau andre tidak berbahagia atas hal ini. Aku langsung merenggut Koran yang terus andre baca dan mengajaknya kesebuah bukit yang menjadi milik kita berdua, tempat bisaa kami menikmati dan menyatakan bahwa benar dunia hanya milik kita berdua, bukit itu kami beri nama bukit Senja. Karena kami pergi kebukit tersebut selalu dalam waktu senja hari.
Terdiam beberapa menit dan membicarakan segalanya. Lalu aku berani berbicara dalam keheningan “Ndre, kita daftar di SMA Muara Gita yuk besok. Ntar kamu jemput aku. Kita daftar bareng, SMA Muara Gita itu bagus loh, dy terkenal dengan basketnya. Jadi inget waktu kita pertama ketemu di team basket sampai-sampai membuat kita jadian begini. Dan kamu juga bisa menerapkan impian kamu menjadi pemain basket internasional. Dan di SMA Muara Gita selalu mengirimkan wakilnya ke pentas nasional loh Ndre. Ayok kita pulang persiapkan semuanya”. Aku merenggut tangan Andre dan mengajaknya pulang. Namun Andre menahannya “Maksudmu apa? Kamu bermaksud merendahkan aku? Kamu pikir dengan berkorban kayak gini kamu bisa jadi pahlawan buat aku. Kamu sadar satu hal Viola, kalau kita itu punya kelebihan pada bidang masing-masing. Aku memang lemah pada bidang otak. Tapi aku punya keahlian lain. Kamu jangan pernah berkorban terhadap satu hal yang masih absurd. Kita cuma pacaran, dan sekolah itu masa depan kamu. Kamu jangan pernah berkorban masa depanmu hanya karena sesuatu yang absurd. Kamu temenin aku daftar di SMA Muara Gita dan aku temenin kamu daftar di SMA Negeri Teladan Manado. Gak semua orang dapet kesempatan itu. Dan kamu udah jadi 3 terbaik”.
“Orang tuaku tidak pernah mengenal istilah absurd dalam hidup Ndre. Orangtuaku selalu mendidik aku memiliki sesuatu yang pasti dan sesuai hati nurani. Dan aku sudah yakin itu saat aku pilih kamu buat aku”. Viola meneteskan air mata. Akhirnya mereka berdua pergi untuk menyiapkan pendaftaran di SMA Muara Gita.
Kami menjalani sekolah kami sangat menyenangkan. Semua kami buat menjadi romnatis. Kami merasa bahwa sekolah ini hanya numpang lewat saja pada cerita hidup kami hingga tak pernah aku memikirkan ujian atau apalah yang berkaitan dengan nilai. Sehingga ayah dan ibu sangat kecewa karena nilaiku yang jatuh menurun selalu mendapatkan peringatan ketidak naikan kelas. Buatku itu tidak penting dan Andrelah satu-satunya alasan yang paling penting buatku. Tanpa dia, jangankan ujian, hidupku saja tak ada nilainya. Andre bisa membuat aku bahagia dan menjadi orang paling beruntung telah hidup didunia ini. Tidak sama sepertiku, Andre memiliki nasib yang lebih beruntung. Dia lebih berkarya dan besok saatnya seleksi untuk tingkat provinsi agar mewakili ketingkat nasional pemain basket. Dan aku terus mendukungnya.
Setiap aku pulang kerumah, aku tidak pernah menganggap bahwa aku benar-benar berada pada sebuah tempat yang bernamakan rumah. Selayaknya cerita dongeng indah pada buku Bahasa Indonesia yang aku pelajari. Keluarga itu ada ayah, ibu, kakak dan adik. Aku menjadi anak tunggal yang seharusnya dimanja dan dipelihara. Namun harapku tidak sejauh itu pada keluarga ini. Keluarga yang miskin arti keharmonisan. Berkali-kali aku mencoba mengartikan pengertian ayah dengan keadaan realitas yang aku rasakan. Ternyata berbeda, buku hanya dongeng dan memuat sesuatu kebohongan. Arti ayah tak seindah yang dituliskan. Tak jauh berbeda dengan ibu. Sempat aku melihat wanita-wanita bodoh yang menangis di café saat seorang penyanyi café menyanyikan lagu bunda oleh potret. Aku jijik melihat mereka semua. Bunda seperti apa yang mereka harapkan. Lagu yang penuh keabsurdan. Sendiri. Selalu saja aku sendiri dirumah busuk ini. Tak ada ayah dan ibu, karena sebenarnya pun aku lebih berharap begini. Aku lebih berharap mereka tidak berada disini. Dari pada memenuhi pandangan mataku tapi tak pernah berguna buatku untuk apa? Ayah mabuk-mabukkan setiap pulang tengah malam dan ibu dengan sucinya membawa leaki yang tak pernah aku tau siapa dia. Rumah ini sudah menjadi tempat penampungan sampah-sampah yang sudah tak bisa didaur ulang. Membusuk. Hal tersebutlah yang membuat aku lebih nyaman tinggal bersama Andre. Meskipun kami hanya berpacaran untuk siswa kelas 1 SMA tapi kami merasakannya lebih dari itu. Lebih dari orang dewasa rasakan. Karena kami benar-benar mencintai, saling mencintai.
27 November 2000. Menjadikan tanggal istimewa untuk perayaan kita jadian. Karena ini sudah dua tahun kita berpacaran aku berharap akan memberikan sebuah kejutan pada Andre. Makan malam spesial di tengah danau. Akhirnyapun tepat pada malam harinya kami benar-benar melakukan itu. Suasana tercipta begitu romantisnya. Danau yang gelap hanya ditemani lilin-lilin diatas meja mungil dengan menu seafood bisaa saja. Yang menjadi special malam itu bukan suara keheningan alam, bukan lilin-lilin yang bersinar. Namun hanya sesosok lelaki yang ada dihadapankulah yang menjadikan ini semua istimewa. Kami melewatkan malam begitu indahnya sehingga kami tak mengenal lagi alur hidup ini. Yang kami tau hanyalah langkahmu dan langkahku maka jadilah langkah kita berdua. Semilir angin Nampak menerjang bulu-bulu roma menambah keromantisan malam itu. Arus air danau membawa kami kearah mana kami tak perduli. Yang jelas aku dan Andre sedang berbincang pada bintang malam itu. “Sayang, aku mau kamu jadi bintang itu. Aku mau ngomong sesuatu sama bintang itu malam ini. Tapi kamu gak boleh nguping yah!”. Aku bersandar mesra di pelukan tubuh gagah Andre. Aku berniat ingin memberitahukan andre kalau bagaimana kita menikah saja. Karena menurutkan dinegara ini sudah tidak asing lagi menikah muda. Sudah banyak orang yang bahagia karena menjalankan nikah muda nya. Toh juga kita sudah tidak muda lagi. Namun jari telunjuk Andre yang halus menyentuh bibirku dengan mesranya “sebelum kamu bicara sama bintang itu, aku dulu yang akan ngomong sama bintang yang bersebelahan pada bintang itu. Itu kamu. Bintang itu punya tangan berwarna hitam, jadi kita tidak bisa melihatnya. Dan kita tidak pernah tau kalau bintang mu dan bintangku sedang berpegangan erat sekarang. Tapi kita bisa merasakannya kan? Karena cinta memang harus dirasakan. Aku mau ngomong sama bintang itu. Tapi kamu boleh dengar. Bahkan semua isi bumi ini boleh dengar. Yang pertama dan terakhir. Pertama, aku cinta kamu. Terakhir, aku tidak lolos dalam seleksi nasional team basket. Sempat merasa gagal karena impianku kandas begitu saja. Namun pelatih SMA Muara Gita ngasih kesempatan aku buat latihan basket di London. Selama 1 tahun. Aku berharap bisa latihan bersama team-team terkuat di Inggris. Dan dari situlah aku bisa menjadi bintang dunia. Tidak hanya sepak bola, bola basketpun memberikan kesempatan untuk putera daerah latihan diluar negeri. Bahkan pelatihku bilang. Aku boleh meneruskan kuliah disana gratis. Dahsyatnya SMA Muara Gita, karena memang SMA ini sudah terpandang team basketnya di London. Dan Juri seleksi kemarin melihat permainanku dan memilihku, agar aku dilatih dengannya di London bersama teman-teman hebat lainnya. Terima kasih sayang dulu kamu sudah ngajak aku daftar di sekolah ini. Sekolah yang benar kata kamu, bisa membawa aku pada kesuksesan. Nanti kalau aku sudah pulang dari London dan menjadi orang sukses. Kita menikah”.
Aku tidak mengerti harus bahagia atau bersedih. Namun setidaknya aku sudah memegang prinsip dan akan selalu aku pegang. Bahwa kebahagiaan andre adalah kebahagiaan untukku. Sementara hati kecilku menangis merasa kehilangan. Bayangkan saja bisaanya setiap detik dalam hariku selalu ada raganya dan mulai minggu depan aku harus menatap tanpa melihat ada sosoknya tergambar dalam pelopak mataku. Sekali lagi, kebahagiaannya adalah kebahagiaanku. “Kamu hebat sayang”. Aku mencium Andre dan kami kembali menikmati malam itu. Dan perahu pun bersandar. Andre mengajak ku agar menginap di danau itu saja. Karena hari yang sudah terlalu larut. Dan kejadian yang tidak pernah aku inginkan terjadi ditempat ini.
“Sayang, jadikan malam ini malam yang begitu special buat  kita. Jadikan malam ini, malam yang tidak dapat kita lupakan saat kita terpisah pada benua yang berbeda nanti. Jadikan malam ini menjadi malam antara aku dan kamu”. Andre mulai merabaku dan mencumbu seluruh tubuhku di danau itu. Hingga aku sudah tidak merasakan adanya sebah kesalahan atas tidakan yang aku lakukan. Walaubagaimanapun aku sudah sangat mencintainya dan akhirnya kami bercinta malam itu.
Waktu sudah melihatkan mentari dan menunjukkan pukul 9 pagi dan Andre mengantarku pulang kerumah. “Sayang, maafin aku yah semalem”. Aku menjawab dengan bibir nyinyir tanda mengiyakan. Seperti bisaa rumahku sepi. Dan tidak pernah terlihat ada keluarga disini. Dan andre langsung pergi begitu saja.
Aku masuk mengetuk pintu rumah. Dan ternyata kali ini rumahku sangat berbeda. Keluargaku lengkap (ayah, ibu, kakek ayah, kakek ibu, nenek ayah, nenek ibu dan keluargaku penuh. Aku bingung ada apa ini? Ternyata mereka sedang membicarakan tentang perceraian ayah dan ibuku. Dan kedua keluarga sudah menyatakan persetujuannya. Ayah dan Ibuku bercerai dan sidang resmi akan dijalankan lusa. Kenapa semua hal ini diputuskan, tanpa memperdulikan aku sedikitpun. Memberitahukupun tidak, aku tiba dirumah dengan bahagia namun keluarga seakan menghancurkannya begitu saja. Aku sudah merasa tidak dianggap di tempat ini. Tempat yang kata orang menjadi surga dunia. Aku menangis mendengar penjelasan nenek dan berlari menuju kamar, membereskan seluruh isi barangku. Aku benar-benar gila hari itu. Aku mengamuk dan berteriak tak tau arah “Ok, kalau kalian semua disini sudah gak pernah menganggapku sedikitpun. Aku terima. Aku benar-benar hilang dari rumah ini. Dan jangan pernah menganggap aku anggota dari keluarga ini. Ayah dan ibu mungkin akan sedkit lebih lega karena tidak perlu repot-repot memperebutkan hak asuh anak. Karena mulai detik ini kalian sudah tidak punya anak. Aku segera keluar dan seluruh isi keluargaku hanya terdiam dan tertunduk malu.
Aku pasi, sudah tidak tau harus bagaimana dan kemana. Satu hal yang ada dalam pikiranku adalah Andre. Aku harus menuju rumah andre siang ini juga. Akhirnya sore pukul 6 sore aku tiba dirumah andre dan mencoba memencet bel rumahnya namun tidak ada tanggapan yang berarti. Aku segera menuju satpam perumahan tersebut dan satpam memberikan kabar yang kurang menyenangkan. Keluarga Thomas (ayah Andre) baru saja pergi kebandara semua. Katanya ingin mengantar keluarganya keluar negeri. Baiklah setidaknya aku masih bisa menunggu di pos satpam ini menanti andre pulang dari bandara bersama kedua orang tuanya yang mengantar saudaranya keluar negeri.

1 jam kemudian tepat pukul 8 malam, mobil yang sering andre pakai berhenti di pos satpam. Dan Ibu Thomas melihatku lusuh dan mengajakku masuk mobil “Viola? Kamu ngapain disitu. Ayok masuk mobil”. Tante menyuruhku masuk mobil dan membawa aku kerumahnya. Namun kenapa yang menyupir mobil Pak Burhan, supir Om Thomas. Kemana Andre? “Kamu terlambat viola, Andre baru saja pergi. Tadi kami mengantarnya kebandara. Kami menunggu kamu 1 jam dirumah untuk ikut mengantar andre karena beasiswa basketnya dimajukan. Katanya ada proses administrasi. Andre tadi sedih sekali kamu gak datang dan mengantarnya ke bandara. Bahkan dia berniat untuk cancel keberangkatan. Tapi gak jadi karena pelatih yang dari London mengharuskan dia berangkat malam ini. Kamu kemana saja Viola?” Aku segera merogoh handphone di saku ku. Ternyata tidak ada. Handphone ku tertinggal di rumah. Pantas saja keluarga Thomas tidak bisa menghubungiku. Aku sangat menyesal. Sangat menyesal sekali. Aku sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Aku hanya bisa membisu sampai akhirnya kami tiba dirumah Andre. Tante menyuruhku masuk. Dan dalam keheningan malam itu. Aku mulai berbicara jujur tentang keadaanku kepada tante. “kamu tidak boleh bersikap seperti itu Viola, tante juga seoarang ibu. Jadi tante tau benar bagaimana perasaan ibu kamu saat ini. Sebaiknya kamu pulang. Tapi jangan sekarang. Tante pikir kamu perlu menenangkan diri dulu. Kami sangat menyediakan kamar untukmu tinggal disini. Tapi jangan terlalu lama. Karena nanti tidak enak dengan keluarga kamu. Kamu harus pulang nak”. Tante mengijinkan aku menetap sampai saat sidang perceraian resmi diumumkan.
Dua hari kemudian. “Hari ini, kedua orangtuamu menjalani sidang perceraian kan? Kamu datang kan Viola? Ayok tante antar. Biar sekalian tante jelaskan ke keluargamu”.
Aku dan tante Thomas tiba di pengadilan dan aku melihat dengan jelas ketukan palu itu. Ketukan palu yang menandakan kedua orang tuaku resmi bercerai. Aku seperti melihat palu itu malaikat pencabut nyawa dan saat permukaan palu membentur alasnya. Rasanya semakin dekat malaikat itu ingin mencabut nyawaku. Dan aku berteriak tepat saat palu diketuk sehingga keluarga ayah dan ibu sadar kalau akupun ada di persidangan itu. Hakim memberikan keputusan hak anak sepenuhnya kepadaku. Untuk memilih ayah atau ibu dalam waktu seminggu ini. Setidaknya aku banyak berterima kasih pada ibunya andre yang sudah banyak membantu. Dan setelah berbincang dengan ibuku, Nyonya Thomas pun menghampiriku untuk berpamitan. “Nak, mungkin minggu depan kami sekeluarga akan pindah ke London tinggal bersama Andre mengejar impiannya. Karena Om juga sudah tidak bekerja disini jadi kami ingin membantu keluarga kami di London dalam sebah proyek. Ada yang ingin kamu sampaikan pada tante?”. Aku ingin menjawab, aku ingin ikut tante. Aku sangat ingin ikut. Namun aku sudah tidak mau merepotkan tante lagi. “Tidak tante, salam saja buat andre, saya harap andre akan selalu menghubungi saya dan mengejar cita-cita indahnya dengan pasti dan sukses, selamat jalan tante”.
Akhirnya keluarga Thomas pergi ke London dan aku tinggal bersama ibuku di rumah yang dulu aku anggap neraka. Ayah memutuskan untuk bekerja di Bolivia dan menetap disana. Ibu sudah banyak berubah, setidaknya perceraian ini membuat ibu menyadari apa arti seorang anak. Dan ibu sangat mencintaiku dan akupun merasa sangat dicintai. Akhirnya aku kenal hubungan antara Ibu dan anak saat itu. Sementara ayah? Tidak ada kabarnya.
Begitu juga dengan keluarga andre. Sejak saat tante pamitan, mereka sudah tidak ada kabarnya lagi. Hilang seperti ditelan bumi. Aku sangat merasa kehilangan andre dan menemukan ibuku kembali. Bertahun-tahun aku menanti andre dan tepat hari ini, disaat ulang tahun hubungan kita.
27 November 2006. Delapan tahun sudah Andre benar-benar hilang ditelan bumi dan aku terduduk saat ini. Pada sebuah bukit yang dulu kami beri nama bukit senja. Dan aku terduduk memegang sebatang lilin berharap andre datang memberikan kejutan. Setiap tahun, aku selalu seperti ini, tepat ditanggal ini dan di waktu ini. Aku terus menimpuki kerikil-kerikil yang ada di sekitarku. Menghancurkan bukit yang tepat berada didepanku. Dan andre pun tak datang seperti tahun-tahun sebelumnya. Malam telah tiba dan ibu sudah menungguku di mobil untuk pulang. Ibu sangat mencintai dan menghargaiku saat ini. Sampai-sampai ibu rela menemaniku mengenang andre pada bukit ini. Bukit Senja yang nampaknya akan terbenam. “Nanti kita usaha lagi yah menghubungi andre”. Ibu memang ibu yang luar bisa sekarang. Selama ini dia berusaha kesana kemari untuk mencari tau keberadaan Andre. Namun tidak berhasil. Ibu sangat mendukungku dalam segala hal terutama karir. Rasa cintaku pada dunia basket ternyata tidak pudar hingga usiakku yang ke 28 tahun yang terus menanti kekasihnya untuk pulang. Aku bekerja pada perusahan pembuat bola basket sebagai Manajer produksi. Karierku sangat berkembang disini. Hingga dalam waktu tidak lebih dari lima tahun, aku sudah bisa menduduki posisi jabatan yang diidamkan oleh semua orang. Yaitu sekretaris direktur. Ini sudah tahun ke 5 saya bekerja di perusahan ini. Melihat bola basket seperti melihat andre rasanya.
 Bukit senja memang akan tetap senja. Dan aku masih mengunjungi bukit itu minimal satu tahun sekali. Dan andre juga tidak datang. Hingga di perusahaanku akan berganti direktur karena direktur yang sekarang sudah tidak bisa bekerja lagi secara fisik dan akan digantikan dengan direktur baru seorang lelaki tampan yang sudah berkeluarga dan mempunyai 2 orang anak yang masih kecil. Karena aku sangat menyukai anak kecil. Sangat idak sabar aku menanti direkturku ini. Terutama anak kecilnya. Acara perkenalan direktur baru diadakan tepat tanggal 27 November dan sore harinya setelah ini aku akan kembali kebukit senja. Mengenang cinta yang telah lama hilang. Pak Josep selaku pembicara memperkenalkan bahwa direktur barunya bernama Pak Aga. Dia biasa dipanggil seperti itu dan dia akan datang nanti sore. Sebagai seorang sekretaris yang diharapkan datang aku menyatakan tidak bisa karena datang kebukit senja adalah segalanya.
Pertemuan sore pun dilakukan seperti biasanya. Dan aku terduduk kembali dibukit senja. Sendiri tanpa ibu dan siapapun. Merenung dan meratapi. ”Jadi ini yang menjadi alasan seorang sekretaris ternama di kantor untuk tidak ikut acara penyambutan direktur baru, cuma memandangi mimpi-mimpi kosong bersahabat dengan ke sia-siaan meskipun cuma sekali setahun. Tapi setidaknya dia terlalu sempurna untuk menangis hanya karena menatap terus bukit yang gak akan hacur meski ribuan kerikil di lontarkan”.
Benar sekali. Itu seperti suara andre Purba Sinaga. Aku menengok kebelakang dan meyakinkan sosok tersebut benar adanya. Andre Purba Sinaga. Aku segera memeluknya dengan tangis melampiaskan bertahun-tahun penantian yang tak kunjung datang. Dan aku sangat menikmatinya sore itu. Hingga kami berbincang penuh dengan keriangan sehingga tak ada waktu lagi buatku untuk marah atas perbuatannya yang tak pernah memberi kabar bertahun-tahun. Setidaknya yang paling penting dia hadir dihadapanku. Itu saja cukup. Apalagi ditempat istimewa seperti ini. Tempat kesepakatan cinta kami. Kami menghabiskan malam itu hingga larut bahkan sangat larut mengenang kembali perayaan saat kami merayakannya di danau dulu. Akhirnya andre mengajakku pulang dan mengantarku sampai rumah.
Keesokan harinya aku pergi kekantor dan beraktifitas setidaknya dengan senyum dan tidak jutek lagi. Karena dulu aku memang terkenal sangat jutek diperusaahaan ini, itu dia yang menjadikan mereka beralasan kalau aku belum punya pendamping. Padahal salah besar. Setidaknya aku akan memiliki pendamping karena Andre telah kembali. Dikantor itu, aku melihat anak kecil jatuh dan menangis dilantai tepat didepanku. Karena aku memang sangat mencintai anak kecil dan aku langsung menduga bahwa itu adalah anak pak Aga. Aku langsung menggendongnya dan membawanya menuju ruangan pak Aga, direktur baru yang baru sempat aku temui saat ini. Akupun mempersiapkan berkas-berkas dokumen yang harus diserakan pada direktur baru itu dan membawa anak tersebut ke ruangan pak Aga. Dan aku segera masuk dan melihat wajah yang sama persis seperti wajah andre tepat di balik pintu itu. Dan seraya anak kecil tersebut pun memanggilnya dengan sebutan “papa”. Setauku andre tidak mempunyai saudara kembar dan kalau memang mirip itu tidak mungkin karena hampir saja tidak ada perbedaan sedikitpun. Aku pasti bermimpi saat ini. “ Akhirnya kita ketemu lagi Viola. Silahkan masuk” Ya, benar itu adalah Andre Purba Sinaga. Di London dia mengakrabkan dirinya dengan sebutan Aga sesuai nama belakangnya. Namun apa arti semua ini? Kenapa dia datang disaat aku mulai ada surga baru pada mimpiku? Lantas anak ini? Pantas saja dia kemarin menghampiriku ke bukit senja. Jadi dia sekarang direkturku. Aku bingung, aku bingung pada mimpiku sendiri. Dan aku meletakkan dokumen dimeja pak Aga lalu segera lekas pergi dari ruangan itu dan saat aku membalikan badan, aku menabrak sesosok wanita yang sangat cantik bak model kenamaan Internasional. Wanita bule, “sorry miss” dan aku segera keluar menutup pintu. Saat itupun aku mencoba bekerja seperti biasanya dan seminggu kemudian aku tidak pernah masuk kekantor karena aku tidak bisa membohongi rasaku yang sudah retak dan hancur. Dia datang saat aku kembali menuai harapan. Aku masih mencintanya. Dengan sangat jelas masih mencintainya. Aku mencoba untuk memaafkannya dan merasakan kembali cintanya saat dia datang.
Sejak saat itu aku memutuskan untuk berhenti dari kantor tersebut dan karena ikatan kontrak yang sudah disepakati. Maka aku harus tetap bekerja secara professional setidaknya selama kontrak selesai 5 tahun kedepan. Tapi apa aku kuat menjalani ini. Mencintai kekasih yang saat ini sudah menjadi istri orang? Kenapa dia datang kehidupku disaat aku memang tidak mungkin memilikinya? Meskipun aku bekerja selalu berdua dengannya dan kami berhubungan sama seperti semesra dahulu saat kami masih berpacaran dan aku harus meyakini diriku bahwa lelaki yang berhadapan denganku saat ini adalah milik orang lain kini dan aku tidak akan pernah memilikinya. Aku tidak mungkin berharap lagi akan cintanya dan bermimpi agar dia bersamaku kembali. Aku sering melihatnya bahagia sekali dengan keluarganya dan sama sekali tidak pernah memperdulikanku yang terus memandanginya di rumahnya. Sampai kapanpun aku akan tetap mencintainya. Aku sudah terlanjur menjaga cinta ini terlalu lama dan begitu dalam sehingga sulit dan sangat sulit menghilangkannya begitu saja. Kalau aku bisa menahan rasa saat aku ditinggalkan bertahun-tahun lamanya. Aku yakin bahwa aku juga bisa menahan rasa pahit saat orang yang aku cintai bermesraan dengan istri yang dia cintai. Setidaknya aku kenal satu karakter jelas yang tidak aku ketahui selama ini yang ada pada dirinya. Egois. Dia sangat egois tanpa sedikitpun memperdulikan rasa yang sudah menancap di sanubari ini. Yah! Dia sangat egois. 5 tahun aku mencoba belajar bagaimana menahan rasa. 5 tahun rasanya aku berkorban pada sebuah kata cinta. 5 tahun lamanya. Hingga saatnya kontrakku selesai dan aku memutuskan pergi untuk meninggalkan cintaku selamanya. Aku akan mengubur setiap mimpi yang ber-asa-kan cinta dan aku tidak pernah berfikir itu sedkitpun. Hatiku terlalu lemah untuk satu kata. CINTA. Dan aku izin kepada ibu untuk pergi ke Bolivia menyusul ayah. Berkarya dan hanya berkarya, tanpa perduli adanya kata CINTA. Semoga saja aku tau bahwa cinta diciptakan untuk berharap. Dan semoga aku tidak pernah lagi melihat bukit senja, dan aku tidak akan lagi melihat Andrea Purba Sinaga. Ibuku sangat mengerti dan mengijinkanku pergi ke Bolovia karena ibupun juga akan menikah dengan lelaki yang sangat dicintainya. Jadi aku merasa sedikit lega meninggalkan ibu dan kuharap juga cintaku. Aku memang tidak seperti ibu yang bisa bertemu cinta sampai dua kali dalam hidupnya sementara aku merangkai sumpah untuk tidak mau tau apa arti cinta lagi dalam hidupku. Cintaku hanya untuk Andrea Purba Sinaga dan telah dibawa mati bersamanya dan keluarga bahagianya.
Aku tiba di Bolivia, dan aku tidak mengenal cinta.