Pulau Sempu, Surga Kecil di Malang Selatan
Segara Anakan (foto oleh Rina, dok. pribadi)
Ini bukan kali pertama
aku ke pulau kecil yang terkenal indah ini, tepatnya ini adalah yang
kedua. Pulau Sempu, sebuah pulau kecil yang terdapat di Kabupaten
Malang, Jawa Timur ini bukan hanya memiliki pantai yang indah tapi juga
sebuah laguna yang diberi nama Segara Anakan. Jika sebelumnya aku hanya
menyebrang ke pulau ini tanpa trekking menuju lagunanya karena
sampai terlalu sore dan tak berniat kemping, maka di kesempatan yang
kedua ini perjalanan pun dibuat lebih terencana.
Berangkat dari Malang kota aku dan
temanku menuju Terminal Gadang dengan naik angkot. Lanjut ke Turen kami
naik bus kota dan memakan waktu sekitar satu jam. Di pasar Turen kami
harus menunggu angkot yang akan mengantarkan kami ke Sendang Biru penuh.
Beruntung, sebuah rombongan besar, anak-anak dari Bandung rupanya
berniat ke Sempu juga. Angkot pun langsung penuh sesak dengan penumpang
juga barang bawaan kami. Dua orang bahkan harus naik di atas angkot
karena tidak muat.
Angkot mogok (foto oleh Yula, dok. pribadi)
Medan yang menanjak membuat angkot yang kelebihan muatan terseok. Bayangkan saja, dua puluh orang ditambah carrier-carrier
besar dalam satu angkot mungil. Pikiranku mulai tidak enak manakala
suara gas terdengar kasar dan tidak kuat. Benar saja, baru beberapa
menit berjalan angkot mogok, tepat di tanjakan. Cemas tentu saja,
membayangkan angkot mundur. Si kernet yang sigap langsung turun
mengambil batu besar di pinggir jalan dan mengganjal ban angkot agar
tidak mundur. Tak berani ambil resiko, sang sopir pun meminta sebagian
dari kami pindah ke angkot lainnya.
Pantai Sendang Biru (foto oleh Yula, dok. pribadi)
Mulai trekking (foto oleh Yula, dok. pribadi)
Tadinya berpikir kami akan di angkot
ini sampai Sendang Biru, rupanya hanya sampai melewati tanjakan saja.
Selanjutnya kami kembali berjubel di angkot tadi. Kurang lebih dua jam
akhirnya kami sampai di Sendang Biru. Mencari perahu adalah yang kami
lakukan selanjutnya. Tak sampai limabelas menit kami sudah sampai di
seberang, di Pulau Sempu. Trekking menuju Segara Anakan kami harus melewati hutan dengan pohon-pohon besar dan monyet yang bersliweran. Tak sampai dua jam kami sudah tiba.
Pohon besar (foto oleh Yula, dok. pribadi)
Si cantik di tengah hutan (foto oleh Yula, dok. pribadi)
Tenda-tenda sudah berdiri (foto oleh Yula, dok. pribadi)
Dari cerita seorang teman kemping di
tempat ini menyeramkan. Hutan lebat yang jarang terjamah dengan binatang
buas juga “makhluk lain” menambah cerita tentang pulau ini. Tidak yang
kami jumpai sore itu. Beberapa tenda sudah berdiri ketika aku dan
temanku sampai di Segara Anakan. Beberapa orang juga asyik mengambil
foto dan bermain air. Semakin sore semakin banyak yang berdatangan untuk
kemping. Satu-satunya yang menyeramkan yang kami temui di sana adalah
sampah-sampah yang berserakan, kotor.
Pantai Pasir Panjang (foto oleh Rina, dok. pribadi)
Panjat tebing (foto oleh Yula, dok. pribadi)
Hampir terbenam (foto oleh Yula, dok. pribadi)
Bulan malam itu (foto oleh Yula, dok. pribadi)
Tak hanya ingin di Segara Anakan, setelah mendirikan tenda aku dan temanku melanjutkan trekking
mencari pantai lain. Pantai Pasir Panjang, begitu namanya. Pantainya
mengingatkanku pada pantai-pantai di Gunung Kidul, Jogjakarta. Pasirnya
putih, airnya terlihat hijau jernih, bertambah indah dengan langit biru
serta awan putih di atasnya. Menjelang matahari terbenam, temanku
mengajak naik ke tebing karang. Jangan ditiru karena selain tidak
memakai pengaman masuk area ini memang dilarang, berbahaya begitu
seperti tertulis di sebuah papan kayu.
Selesai menyaksikan matahari terbenam
dari atas tebing kami pun kembali turun untuk menyiapkan makanan. Tenda
depan yang membawa bekal cukup banyak tampak sedang membakar ikan segar.
Aku dan temanku cukup mie instan saja ditambah satu dua potong roti dan
teh panas. Malam ketika bulan mulai menampakkan dirinya kami memilih
menggelar sleeping bag di depan laguna, mendengarkan musik dari telepon genggam serta celoteh anak-anak yang kemping.
Pagi, matahari terbit tak terlihat dari
tempat kami kemping. Tenda-tenda sebelah sudah ramai. Beberapa anak
tampak berenang di laguna. Air laut yang pasang masuk ke laguna lewat
karang yang berlubang atau Karang Bolong membuat air yang tadinya surut
melimpah. Selesai sarapan, kami pun tak sabar untuk berenang. Air yang
jernih, terlihat hijau, dingin menyentuh kulit begitu kumasukkan kakiku.
Ikan-ikan kecil juga besar terlihat jelas, berenang bebas bersama kami.
Karena tak pandai berenang temanku menyarankanku untuk meniti karang
saja. Sebagian tubuhku di air kecuali kepala dengan tangan berpegangan
pada karang. Sakit karena karang yang tajam tak mengurangi semangatku
menuju Karang Bolong. Apalagi ikan-ikan di bawah yang cantik mengiringi.
Sungguh pengalaman yang luar biasa.
Lompat (foto oleh Rina, dok. pribadi)
Ikan (foto oleh Rina, dok. pribadi)
Karang Bolong (foto oleh Rina, dok. pribadi)
Setelah puas bermain air aku dan
temanku, juga penghuni tenda-tenda yang lain berkemas. Anak-anak Bandung
yang kemarin seangkot dengan kami rupanya akan melanjutkan perjalanan
ke Bromo. Karena sudah janjian dengan kernet angkot yang kemarin kami
pun kembali satu angkot ketika kembali ke Malang. Mereka bahkan menyewa
angkot sampai Terminal Arjosari. Kami pun berpisah di Gadang.
Untuk informasi saja, angkot di Malang
(kota) rata-rata 3.000 rupiah. Dari Gadang ke Turen naik bus biaya 5.000
rupiah. Sedang dari Turen ke Sendang Biru 15.000 rupiah. Sewa perahu
100.000 PP, jangan lupa catat nomor telepon perahu yang ada di tiangnya
untuk janjian dijemput. Selamat menjelajah!
Segara Anakan dilihat dari tebing (foto oleh Yula, dok. pribadi)
“Kehidupan sekarang benar-benar
membosankan saya. Saya merasa seperti monyet tua yang dikurung di kebun
binatang dan tidak punya kerja lagi. Saya ingin merasakan kehidupan
kasar dan keras … diusap oleh angin dingin seperti pisau, atau berjalan
memotong hutan dan mandi di sungai kecil … orang-orang seperti kita ini
tidak pantas mati di tempat tidur,” - Soe Hok Gie
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar mu sangat berarti :