Tuhan, Inikah sebenarnya CINTA?
Aku mengambil secangkir teh diatas meja dan
meneguknya untuk melepas sore yang penat di hari ini. Tepat sepuluh tahun pernikahanku
bersama suamiku Edo. Sambil berbincang santai aku dan Edo di teras depan rumah
kami, kami pun bergumam mengenang kisah manis perjalanan rumah tangga kami.
Sore itu aku hanya bersama Edo, secangkir teh dan biskuit serta ditemani sebuah
kisah unik yang kami kenang bersama.
Sejak SMA aku suka sekali berolahraga, mulai
dari olahraga-olahraga yang biasa dilakukan oleh para lelaki hingga olahraga yang
beresiko kematian. Olahraga berat seperi itu aku lakukan karena pada dasarnya
aku adalah orang yang menyukai tantangan. Kedua orangtuaku sering sekali
menegurku akibat dari tindakan ku ini hingga mereka sendiri sempat berfikir
untuk memasukkan aku ke sekolah kepribadian agar aku dapat menjadi wanita
normal yang sesungguhnya. Namun sekolah yang menurutku tidak berguna itu hanya
aku singgahi selama 1 atau 2 bulan saja, selanjutnya ada saja ulahku agar aku
dikeluarkan dari kursus itu. Menurutku sekolah-sekolah kepribadian hanya
menghabiskan waktu-waktuku yang seharusnya dapat aku gunakan untuk melakukan
hal-hal yang menantang. Ibu selalu menganggap menjadi wanita adalah harus lemah
gemulai, cantik, lembut, dan santun. Semua itu jelas tidak terlihat padaku
sejak kecil. Itu tak perlu disesali karena memang aku begini dan menurutku
menjadi wanita tidak harus lemah gemulai, cantik, rapih dan sejenisnya. Menjadi
wanita di jaman emansipasi sekarang harus bisa berprestasi dan menjadi diri
sendiri. Aku sangat menghargai usaha ibuku yang ingin membuatku wanita yang dia
inginkan.
Di sekolah kepribadian sangat tidak
mengenakkan sekali. Aku seperti merasa tidak menjadi diriku sendiri. Aku disini
benar-benar didik untuk menjadi lembut dan lemah gemulai. Dimulai dari table
manner, public speaking dan semacamnya. Hal seperti itu sangat membuatku tidak
nyaman dan aku merasa tidak menjadi diri sendiri saat aku menjalani semua
pelatihan. Susah sekali aku menjelaskan pada ibu tentang diriku ini. Aku lebih
memilih diam dan menuruti apa kata kedua orang tuaku, meski pun aku sangat
tersiksa. Empat kali dalam seminggu aku menjalani pelatihan dan mungkin satu
kali dalam seminggu aku benar-benar mengikuti pelatihan, selebihnya aku memilih
bolos dan mengikuti teman-teman ku untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang lebih
ekstrim dan adventure. Pada suatu saat ibu mengetahui hal ini dan sempat
mengingatkanku dengan tegas tentang hal ini, bahwa ibu bersikeras untuk mtetap
memaksakku menjadi seorang wanita yang sesungguhnya. Aku pun tidak mengerti,
wanita yang sesungguhnya yang seperti apa yang ibu maksud. Lebih gilanya lagi.
Tanpa sepengetahuanku, Ibu sudah mendaftarkanku pada ajang pemilihan
putra-putri daerah di tempatku, acara itu satu bulan dari sekolah kepribadian
ini selesai. Hingga akhirnya aku memaksakan untuk mengikuti kontes tersebut.
Sesuai dugaanku semula, aku tidak menang dan ibu serta keluarga sangat kecewa
sekali padaku. Lagi-lagi aku merasa tidak menjadi diri sendiri. Teman-temanku
saja sampai tertawa terbahak-bahak saat aku mengikuti kontes kecantikan seperti
itu. Mungkin lambat laun setelah kontes itu, Ibu mulai menyadari akan arti dari
seorang wanita. Dan mulai mengenal aku sebagai seorang putrinya. Bahwa aku akan
menjadi seperti apa yang aku inginkan.
Dari semua olahraga yang aku ikuti, aku hanya
setia pada kegiatan-kegiatan yang berbau alam seperti panjat tebing, mendaki
gunung dan menelusuri gua. Pernah suatu ketika aku tidak pamit oleh kedua orang
tuaku selama 1 bulan hanya untuk kemah bersama teman-temanku di sebuah puncak
tertinggi gunung di pulau jawa. Dan disanalah sebuah tragedi terjadi. Hampir
satu minggu aku melakukan perjalanan menanjak gunung itu dan persiapan pun
sudah lengkap dan terpenuhi hingga aku merasa bahwa perjalananku akan baik-baik
saja. Gunung tersebut terkenal sangat indah dengan pemandangan alamnya,
sehingga perjalanan ini menjadi perjalanan yang paling aku nanti dari
perjalanan-perjalanan yang pernah aku lakukan. Perjalanan yang jauh, serta
persiapan yang matang sudah aku lakukan. Izin orang tua menurutku tidak
penting. Yang terpenting aku bisa memuaskan diriku sendiri dengan melakukan
perjalanan yang aku yakin sangat melelahkan, memakan waktu banyak dan
menyenangkan tentunya. Memang benar setelah aku tiba melakukan perjalan selama
berhari-hari sangat menyenangkan sekali. Suasana pegunungan seperti membawa
kedamaian dalam hidup dan membuat aku lupa akan kepenatan hidup didunia. Aku
tenang seakan terbawa alam disini, kedamaian dan keindahan memang terasakan
sejak awal aku melakukan perjalanan. Sangat tidak menyesal aku melakukan
perjalanan ini dan ini lah yang membuat aku merasa menjadi seorang wanita dan
membuat aku menjadi diriku sendiri. Tumbuhan yang terbentang sangat indah,
berwarna-warni, debu-debu yang liar diudara dan dedaunan yang berbau segar. Perjalanan ini aku yakin akan membawa cerita
tersendiri dalam sepanjang sejarah adventure ku. Setelah penat aku dan
teman-teman team perjalananku memutuskan untuk istirahat sejenak pada sebuah
pondok yang memang disediakan untuk singgah.
Tidak lebih dari dua menit kami duduk. Tiba-tiba
saja langit menjadi gelap dan cuaca mulai mendung gejala hujan akan turun.
Kalau dilihat dari kalender musim, perjalanan kami bukan saat musim hujan. Dan
langit semakin gelap sehingga keadaan siang haripun terasa malam tanpa bulan. Keadaan
seperti ini sangat mendadak sekali terjadi, baru saja aku melihat berjuta
keindahan namun hilang begitu saja dengan cuaca yang membuat kami semua
terheran. Seluruh tim panik atas keadaan itu, termasuk aku yang merupakan
satu-satunya wanita dalam tim itu. Langit semakin menantang dan tiba-tiba saja
kabut bertebaran dimana-mana. Seluruh peserta pendakian berteriak dan keadaan
semakin mencekam saat kami sudah tidak bisa saling melihat satu sama lain. Dan
akupun tidak bisa melihat siapa-siapa. Aku berteriak sekencang-kencangnya
seakan memberi kode kepada teman-temanku tentang keberadaanku. Namun semua
orang berteriak dan saling ingin meminta tolong sehingga aku berfikir untuk
mengambil jalan sendiri untuk lolos dari keadaan kiamat ini. Dengan menggendong
tas besar di pundakku, aku berjalan seolah mencari jalan yang benar untuk lepas
dari kabut biadab ini karena aku meyakini pasti ada suatu tempat dimana kabut
sudah tidak ada. Badai datang dengan cepat dan sangat tiba-tiba hingga
membuatku terpleset dan jatuh ke jurang di gunung itu. Aku menggelundung menuju
lereng. Aku semakin berteriak histeris berharap ada malaikat yang tiba-tiba
saja menolongku. Harapan semakin kecil ketika aku semakin berguling-guling
menuju dasar terendah jurang itu dan tubuhku menghantam batu-batu besar yang menjulang
gagah di tebing gunung tersebut. Terus berguling hingga aku mengeluarkan darah
dimana-mana. Aku berfikir bahwa aku akan mati disini. Aku akan mengukir namaku
disini, di gunung terbesar di Indonesia ini. Namaku akan terkenang sepanjang masa
di gunung ini dan setidaknya aku mati menjadi seorang pahlawan yang bertempur
di medan perang. Dan namaku juga akan terukir pada sebuah batu di puncak
tertinggi gunung ini. Dan terus terukir. Terus saja aku berguling dan ditemani
pikiran-pikiran gelap yang tiada hentinya menemaniku. Hingga akhirnya tiba di
daratan terendah dan menabrak batu besar yang menjulang gagah di perbukitan
batu itu. Aku lemah dan sudah tak berdaya lagi. Tubuhku terasa hancur
berkeping-keping terinjak reruntuhan. Aku mendengar banyak teriakan-teriakan
disekelilingku, aku pikir bahwa bukan aku saja yang jatuh kejurang itu. Namun
suara satu persatu semakin menghilang, aku rasa mereka semua sudah meninggal
dan melepas nyawanya di lereng ini. Dan aku berfikir hanya menunggu waktu saja untuk
giliranku malaikat pencabut nyawa untuk datang dan mengambil nyawaku. Aku
terdiam dan muntah darah. Namun meskipun aku tau bahwa nyawaku akan hilang,
tapi aku akan terus berjuang untuk hidupku. Aku masih ingin menyelamatkan
diriku sendiri. Aku teringat ibuku, aku tidak mau ibuku semakin kecewa
mendidikku untuk wanita sejati sehingga berani mengambil resiko pada kematian.
Aku tidak ingin membawa ibuku sedih. Namun kematian rasanya semakin dekat. Ternyata
semua pikiranku salah, aku tetap baik-baik saja. Nafasku tetap menghembus
kencang diiringi dengan detak jantungku yang terus berpacu. Aku tidak mati.
Setelah aku menyadari bahwa diriku masih hidup, aku mencoba untuk menyadarkan
diri dan bangun dari keterpurukanku namun aku tak sanggup. Untuk beberapa menit
tubuhku lunglai tertimpa batu besar hingga aku pingsan tak sadarkan diri. Aku
menyadari semuanya sudah menjadi gelap gulita.
Ketika aku membuka mata ternyata aku menyadari
bahwa aku sedang berada disebuah tenda Mahasiswa pecinta alam dari salah satu
kampus di sini. Mereka yang berada ditenda terkejut melihat akhirnya aku dapat
tersadar juga, karena mereka berfikir aku akan mati karena keadaanku yang
semakin parah. Aku berkenalan dengan suamiku ditenda lusuh ini. Tenda ini
menjadi awal pertemuanku pada cinta sejatiku Edo. Aku berkenalan pada Edo yang
menolongku dan dia menemukanku terkapar saat Edo mencari kayu bakar di gunung
tersebut. Edo bagaikan menjadi seorang pahlawan buatku, karenanya lah aku bisa
menyambung hidupku kembali dan aku bisa melihat dunia dengan tersenyum lagi.
Bayangkan saja kalau Edo tidak mencari kayu bakar untuk membuat tenda pada
acara perkemahan kelompoknya, mungkin aku sudah mati ditelan binatang buas.
Dian tetap menjadi pahlawanku hingga kami menikah detik ini. Hingga akhirnya aku
diberi beberapa perawatan seadanya di tenda Edo. Karena khawatir siangnya pada
hari aku sadar, aku segera di larikan ke puskesmas kecamatan terdekat dan
melakukan perawatan intensif. Untung saja dokter disini sudah berpengalaman
sehingga tidak melarikanku ke rumah sakit di kota besar. Di puskesmas itu tidak
hanya aku yang dirawat, banyak pasien-pasien lainnya yang juga di rawat di
puskesmas itu. Karena korban badai gunung itu sangat banyak. Sore harinya Edo
datang menjengukku untuk memperhatikan keadaanku. Aku sangat takjup pada Edo
meskipun keadaanku masih sedikit kurang menyenangkan. Itulah cintaku pada
pandangan pertama bertemu. Karena tidak ada yang menemaniku, Edo merelakan
dirinya untuk tidak pulang bersama-sama teman kelompoknya. Edo bertanggung jawab
untuk menemani aku di puskesmas ini hingga aku dizinkan pulang. Untung saja
keesokan harinya dokter mengijinkan aku pulang dan Edolah yang mengantarku
pulang kerumah. Kejadian itu sangat teringat dimemoriku hingga aku tua nanti.
Semenjak kejadianku itu, hubungan aku dan Edo
semakin dekat. Aku dan Edo mulai jalan bersama dan menikmati waktu bersama.
Hingga pada suatu malam di sebuah resto saat Edo mengajakku makan malam. Edo
melamarku dan mengajakku menikah secepatnya. Bahagia sekali perasaanku saat
itu, sangat tidak bisa dibayangkan. Edo menjadi cinta pertama dan terakhir
untukku. Hampir seumur hidup aku tidak pernah mengenal istilah jatuh cinta.
Yang aku kenal hanyalah tantangan dan
pertemanan. Hampir semua temanku laki-laki dan tidak ada rasa untuk satupun
dari mereka. Hingga aku berani jatuh cinta ketika bertemu dengan Edo, aku
mencintainya, sangat mencintainya untuk pertama dan terakhir. Sampai pada
akhirnya aku dan Edo menikah. Penikahan kami sangat bahagia sekali. Sampai
banyak sekali orang-orang yang iri akan keharmonisan keluarga kami. Karena ini
keluarga yang dibentuk dengan sebuah cinta
yang sesungguhnya, cinta yang berawal dari sebuah petualangan. Awalnya
pernikahan kami baik-baik saja. Kami merasa menjadi keluarga yang sempurna.
Kami memiliki cinta dan kasih sayang, kehidupan kami berkecukupan dan yang
pasti kami selalu bahagia. Hingga tiga tahun pernikahan kami. Kami baru
menyadari bahwa keluarga kami tidak lengkap. Kami seperti merasa bahwa kami
bukan keluarga tanpa kehadiran seorang anak.
Selama ini aku beserta suamiku sudah
memprogramkan hal ini dengan cara berkonsultasi dan mengikuti semua anjuran
dokter dan kamipun berfikir mungkin Tuhan belum memberikan saja. Namun
lama-kelamaan kami berada pada titik jenuh hubungan kami tanpa seorang anak,
walaubagaimanapun anak bisa menjadi penyemangat dalam hubungan berumah tangga,
dengan adanya anak kita bisa tersenyum saat kita sesedih apapun. Tepatnya pada
hari itu juga kami kedokter lagi untuk check kandungan lebih lanjut.
Selama 2 jam kami menunggu dokter memeriksa
hasil laboratorium hingga dokter datang dengan membawa kertas hasil
laboratorium itu. Dengan mimik wajah yang kecewa dokter mengatakan
“Ovum ibu tidak berkembang karena saluran rahim ibu sobek. Mungkin ibu
pernah mengalami kecelakaan hebat yang menyebabkan benturan di vagina ibu
sehingga luka itu menyebabkan ovum tidak berkembang dan maaf sekali bu, mungkin
ibu akan mandul selamanya”
Kata-kata yang keluar dari dokter itu sungguh
menukik arah hidupku. Semakin membuat aku yakin bahwa langkahku besok pagi
sudah tidak dapat berjalan lurus lagi. Aku merasa menghancurkan harapan banyak
orang, suamiku, kedua orang tua ku dan kedua orang tua suamiku serta semua
orang yang mengharapkan ada bayi dalam kandunganku.
Hidupku berubah saat itu, aku syok dan
mengalami stres yang berkepanjangan, aku lebih cenderung menyendiri dan tidak
ingin bertemu semua orang termasuk suamiku sendiri. Aku semakin menggila saat
itu. Suamiku semakin khawatir terhadap keadaan yang aku alami karena dia tidak
mau aku hilang dari hidupnya hingga ia mencoba melakukan segala cara untuk
membuatku bangkit kembali. Namun cara apapun yang suamiku lakukan tetap saja
tidak berpengaruh pada keadaanku yang semakin menjadi-jadi. Pada suatu malam,
saat suamiku tidak sedang berada dirumah dan aku merasa tepat untuk melakukan
percobaan bunuh diri saat itu, langsung saja aku mengambil pisau yang ada
didapur lalu kembali menuju kamar tidur dan menguncinya rapat-rapat agar semua
orang tidak dapat mengetahuinya. Dengan air mata yang terus menetes dan pikiran
gelapku yang semakin berkuasa ditemani dengan rasa penyesalanku, aku
menggoreskan kaca di lenganku hingga nadiku hampir saja terputus. Darah
berceceran dimana-mana dan akupun tak sadarkan diri dan hampir mati.
Lagi dan lagi aku tertolong. Hingga aku
tersadar sedang berada dirumah sakit dan ternyata aku kembali hidup untuk kedua
kalinya. Aku tertegun melamun atas hidup yang terjadi padaku. Aku merasa mati
pada hidupku sendiri. Saat itu juga aku bertanya pada
“Do, kenapa kamu tetap masih mau bersamaku padahal jelas-jelas kalau aku
sudah tidak punya anak. Kalau kamu bertahan denganku kamu tidak punya masa
depan yang indah. Kamu tidak punya generasi penerus keluarga besarmu. Aku
ikhlas Do kalau kamu ingin mencari istri lagi dan meninggalkan aku selamanya,
karena memang aku sadar atas kekuranganku. Aku sungguh tidak pernah menyadari
kalau kecelakaan di gunung itu telah membunuh jiwaku. Membunuh hidupku dan
hanya membuat hidup ragaku saja. Kenapa kamu menolongku saat digunung itu Do,
kalau kamu gak menolongku mungkin saja aku sudah mati dan tenang di alam sana.
Aku sekarang sudah mati Do, aku seperti mati tanpa anak Do. Aku gak bisa bahagiain kamu. Aku berharap Tuhan
mencabut nyawaku saat ini juga”
“Kamu pernah berfikir dalam hati, kenapa setiap keadaanmu yang hampir
mati, Tuhan tidak mengizinkan kamu mati? Kalau Tuhan berfikir bahwa kalau kamu
mati adalah yang terbaik. Tuhan sudah lama mencabut nyawamu digunung itu Put.
Tapi ini tidak. Karena Tuhan sependapat denganku. Tuhan menyimpan kebahagiaan
yang lain dibalik itu semua. Tuhan memberikan kita cinta put. Berapa banyak
seorang ibu membuang anaknya dijalanan hanya karena ia tidak mengharapkan
anaknya? Mereka tidak punya cinta put. Apakah itu keinginan Tuhan juga? Tuhan
tau pada siapa ia akan memberikan anak put. Tuhan tau itu” Edo menjelaskan itu
sambil memelukku erat-erat.
“Kamu tenang saja, Put. Aku akan berusaha menerima kamu apa adanya.
Tidak dipungkiri kalau memang aku juga membutuhkan seorang anak seperti
keluarga-keluarga lainnya, hidup bahagia. Melihat senyum saat anak kita
tertidur, menggendong dan lain sebagainya. Aku ingin semua itu. Tapi satu hal
Putri. Aku jauh lebih menginginkan kamu dari semua hal itu. Aku ingin kamu
menjadi istriku yang dulu, tetap tegar dan aku menerima kamu apa adanya”
Penjelasan Edo membuatku luluh tak bergeming
sedikitpun dan aku menangis dipelukannya penuh dengan cinta.
Sejak saat itu, aku dan Edo berencana untuk
mengadopsi seorang anak dari keluarganya Edo yang sudah yatim piatu berumur 3
tahun. Aku dan Edo sudah berkomitmen bahwa anak bukan keluar dari rahim tapi
dihasilkan dari hati dan cinta orang yang merawatnya. Dan kami akhirnya merasa
hidup yang kami jalani sudah lengkap seperti keluarga lain, kami punya
segalanya. Terutama CINTA.
--------------
Di sore yang tetap indah itu setelah saling
bercerita. Aku dan Edo segera meletakkan secangkir teh kami dan Kami saling
berciuman penuh cinta dan Edo berkata dengan mesra ditelingaku.
“I love you, only for you”
Banyak Ibu yang melahirkan anak kedunia tapi tidak mau
tau untuk merasakannya. Banyak Ibu yang ingin merasakan anak tapi tidak dapat
melahirkannya. Nikmat mana yang dapat kamu dustakan? Selagi banyak Ibu yang
dapat melahirkan seorang anak dan benar-benar merasakannya untuk apa manusia
yang tidak dapat melahirkan anak tapi tidak mau merasakannya. Rasakanlah,
selagi rasa itu masih milik manusia seutuhnya.
Seorang anak bukan
manusia yang keluar dari rahim seorang wanita hingga dapat melihat dunia tapi
seorang wanita yang membuat anak tau tidak tentang dunia saja.
Anton Hidayah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar mu sangat berarti :