Indah

Memulai cerita hari ini dengan sebuah kata terindah. "Perjuangan"

Selasa, 03 Juli 2012

Sebenarnya Cinta


Tuhan, Inikah sebenarnya CINTA?


Aku mengambil secangkir teh diatas meja dan meneguknya untuk melepas sore yang penat di hari ini. Tepat sepuluh tahun pernikahanku bersama suamiku Edo. Sambil berbincang santai aku dan Edo di teras depan rumah kami, kami pun bergumam mengenang kisah manis perjalanan rumah tangga kami. Sore itu aku hanya bersama Edo, secangkir teh dan biskuit serta ditemani sebuah kisah unik yang kami kenang bersama.
Sejak SMA aku suka sekali berolahraga, mulai dari olahraga-olahraga yang biasa dilakukan oleh para lelaki hingga olahraga yang beresiko kematian. Olahraga berat seperi itu aku lakukan karena pada dasarnya aku adalah orang yang menyukai tantangan. Kedua orangtuaku sering sekali menegurku akibat dari tindakan ku ini hingga mereka sendiri sempat berfikir untuk memasukkan aku ke sekolah kepribadian agar aku dapat menjadi wanita normal yang sesungguhnya. Namun sekolah yang menurutku tidak berguna itu hanya aku singgahi selama 1 atau 2 bulan saja, selanjutnya ada saja ulahku agar aku dikeluarkan dari kursus itu. Menurutku sekolah-sekolah kepribadian hanya menghabiskan waktu-waktuku yang seharusnya dapat aku gunakan untuk melakukan hal-hal yang menantang. Ibu selalu menganggap menjadi wanita adalah harus lemah gemulai, cantik, lembut, dan santun. Semua itu jelas tidak terlihat padaku sejak kecil. Itu tak perlu disesali karena memang aku begini dan menurutku menjadi wanita tidak harus lemah gemulai, cantik, rapih dan sejenisnya. Menjadi wanita di jaman emansipasi sekarang harus bisa berprestasi dan menjadi diri sendiri. Aku sangat menghargai usaha ibuku yang ingin membuatku wanita yang dia inginkan.

Di sekolah kepribadian sangat tidak mengenakkan sekali. Aku seperti merasa tidak menjadi diriku sendiri. Aku disini benar-benar didik untuk menjadi lembut dan lemah gemulai. Dimulai dari table manner, public speaking dan semacamnya. Hal seperti itu sangat membuatku tidak nyaman dan aku merasa tidak menjadi diri sendiri saat aku menjalani semua pelatihan. Susah sekali aku menjelaskan pada ibu tentang diriku ini. Aku lebih memilih diam dan menuruti apa kata kedua orang tuaku, meski pun aku sangat tersiksa. Empat kali dalam seminggu aku menjalani pelatihan dan mungkin satu kali dalam seminggu aku benar-benar mengikuti pelatihan, selebihnya aku memilih bolos dan mengikuti teman-teman ku untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang lebih ekstrim dan adventure. Pada suatu saat ibu mengetahui hal ini dan sempat mengingatkanku dengan tegas tentang hal ini, bahwa ibu bersikeras untuk mtetap memaksakku menjadi seorang wanita yang sesungguhnya. Aku pun tidak mengerti, wanita yang sesungguhnya yang seperti apa yang ibu maksud. Lebih gilanya lagi. Tanpa sepengetahuanku, Ibu sudah mendaftarkanku pada ajang pemilihan putra-putri daerah di tempatku, acara itu satu bulan dari sekolah kepribadian ini selesai. Hingga akhirnya aku memaksakan untuk mengikuti kontes tersebut. Sesuai dugaanku semula, aku tidak menang dan ibu serta keluarga sangat kecewa sekali padaku. Lagi-lagi aku merasa tidak menjadi diri sendiri. Teman-temanku saja sampai tertawa terbahak-bahak saat aku mengikuti kontes kecantikan seperti itu. Mungkin lambat laun setelah kontes itu, Ibu mulai menyadari akan arti dari seorang wanita. Dan mulai mengenal aku sebagai seorang putrinya. Bahwa aku akan menjadi seperti apa yang aku inginkan.

Dari semua olahraga yang aku ikuti, aku hanya setia pada kegiatan-kegiatan yang berbau alam seperti panjat tebing, mendaki gunung dan menelusuri gua. Pernah suatu ketika aku tidak pamit oleh kedua orang tuaku selama 1 bulan hanya untuk kemah bersama teman-temanku di sebuah puncak tertinggi gunung di pulau jawa. Dan disanalah sebuah tragedi terjadi. Hampir satu minggu aku melakukan perjalanan menanjak gunung itu dan persiapan pun sudah lengkap dan terpenuhi hingga aku merasa bahwa perjalananku akan baik-baik saja. Gunung tersebut terkenal sangat indah dengan pemandangan alamnya, sehingga perjalanan ini menjadi perjalanan yang paling aku nanti dari perjalanan-perjalanan yang pernah aku lakukan. Perjalanan yang jauh, serta persiapan yang matang sudah aku lakukan. Izin orang tua menurutku tidak penting. Yang terpenting aku bisa memuaskan diriku sendiri dengan melakukan perjalanan yang aku yakin sangat melelahkan, memakan waktu banyak dan menyenangkan tentunya. Memang benar setelah aku tiba melakukan perjalan selama berhari-hari sangat menyenangkan sekali. Suasana pegunungan seperti membawa kedamaian dalam hidup dan membuat aku lupa akan kepenatan hidup didunia. Aku tenang seakan terbawa alam disini, kedamaian dan keindahan memang terasakan sejak awal aku melakukan perjalanan. Sangat tidak menyesal aku melakukan perjalanan ini dan ini lah yang membuat aku merasa menjadi seorang wanita dan membuat aku menjadi diriku sendiri. Tumbuhan yang terbentang sangat indah, berwarna-warni, debu-debu yang liar diudara dan dedaunan yang berbau segar.  Perjalanan ini aku yakin akan membawa cerita tersendiri dalam sepanjang sejarah adventure ku. Setelah penat aku dan teman-teman team perjalananku memutuskan untuk istirahat sejenak pada sebuah pondok yang memang disediakan untuk singgah.

Tidak lebih dari dua menit kami duduk. Tiba-tiba saja langit menjadi gelap dan cuaca mulai mendung gejala hujan akan turun. Kalau dilihat dari kalender musim, perjalanan kami bukan saat musim hujan. Dan langit semakin gelap sehingga keadaan siang haripun terasa malam tanpa bulan. Keadaan seperti ini sangat mendadak sekali terjadi, baru saja aku melihat berjuta keindahan namun hilang begitu saja dengan cuaca yang membuat kami semua terheran. Seluruh tim panik atas keadaan itu, termasuk aku yang merupakan satu-satunya wanita dalam tim itu. Langit semakin menantang dan tiba-tiba saja kabut bertebaran dimana-mana. Seluruh peserta pendakian berteriak dan keadaan semakin mencekam saat kami sudah tidak bisa saling melihat satu sama lain. Dan akupun tidak bisa melihat siapa-siapa. Aku berteriak sekencang-kencangnya seakan memberi kode kepada teman-temanku tentang keberadaanku. Namun semua orang berteriak dan saling ingin meminta tolong sehingga aku berfikir untuk mengambil jalan sendiri untuk lolos dari keadaan kiamat ini. Dengan menggendong tas besar di pundakku, aku berjalan seolah mencari jalan yang benar untuk lepas dari kabut biadab ini karena aku meyakini pasti ada suatu tempat dimana kabut sudah tidak ada. Badai datang dengan cepat dan sangat tiba-tiba hingga membuatku terpleset dan jatuh ke jurang di gunung itu. Aku menggelundung menuju lereng. Aku semakin berteriak histeris berharap ada malaikat yang tiba-tiba saja menolongku. Harapan semakin kecil ketika aku semakin berguling-guling menuju dasar terendah jurang itu dan tubuhku menghantam batu-batu besar yang menjulang gagah di tebing gunung tersebut. Terus berguling hingga aku mengeluarkan darah dimana-mana. Aku berfikir bahwa aku akan mati disini. Aku akan mengukir namaku disini, di gunung terbesar di Indonesia ini. Namaku akan terkenang sepanjang masa di gunung ini dan setidaknya aku mati menjadi seorang pahlawan yang bertempur di medan perang. Dan namaku juga akan terukir pada sebuah batu di puncak tertinggi gunung ini. Dan terus terukir. Terus saja aku berguling dan ditemani pikiran-pikiran gelap yang tiada hentinya menemaniku. Hingga akhirnya tiba di daratan terendah dan menabrak batu besar yang menjulang gagah di perbukitan batu itu. Aku lemah dan sudah tak berdaya lagi. Tubuhku terasa hancur berkeping-keping terinjak reruntuhan. Aku mendengar banyak teriakan-teriakan disekelilingku, aku pikir bahwa bukan aku saja yang jatuh kejurang itu. Namun suara satu persatu semakin menghilang, aku rasa mereka semua sudah meninggal dan melepas nyawanya di lereng ini. Dan aku berfikir hanya menunggu waktu saja untuk giliranku malaikat pencabut nyawa untuk datang dan mengambil nyawaku. Aku terdiam dan muntah darah. Namun meskipun aku tau bahwa nyawaku akan hilang, tapi aku akan terus berjuang untuk hidupku. Aku masih ingin menyelamatkan diriku sendiri. Aku teringat ibuku, aku tidak mau ibuku semakin kecewa mendidikku untuk wanita sejati sehingga berani mengambil resiko pada kematian. Aku tidak ingin membawa ibuku sedih. Namun kematian rasanya semakin dekat. Ternyata semua pikiranku salah, aku tetap baik-baik saja. Nafasku tetap menghembus kencang diiringi dengan detak jantungku yang terus berpacu. Aku tidak mati. Setelah aku menyadari bahwa diriku masih hidup, aku mencoba untuk menyadarkan diri dan bangun dari keterpurukanku namun aku tak sanggup. Untuk beberapa menit tubuhku lunglai tertimpa batu besar hingga aku pingsan tak sadarkan diri. Aku menyadari semuanya sudah menjadi gelap gulita.

Ketika aku membuka mata ternyata aku menyadari bahwa aku sedang berada disebuah tenda Mahasiswa pecinta alam dari salah satu kampus di sini. Mereka yang berada ditenda terkejut melihat akhirnya aku dapat tersadar juga, karena mereka berfikir aku akan mati karena keadaanku yang semakin parah. Aku berkenalan dengan suamiku ditenda lusuh ini. Tenda ini menjadi awal pertemuanku pada cinta sejatiku Edo. Aku berkenalan pada Edo yang menolongku dan dia menemukanku terkapar saat Edo mencari kayu bakar di gunung tersebut. Edo bagaikan menjadi seorang pahlawan buatku, karenanya lah aku bisa menyambung hidupku kembali dan aku bisa melihat dunia dengan tersenyum lagi. Bayangkan saja kalau Edo tidak mencari kayu bakar untuk membuat tenda pada acara perkemahan kelompoknya, mungkin aku sudah mati ditelan binatang buas. Dian tetap menjadi pahlawanku hingga kami menikah detik ini. Hingga akhirnya aku diberi beberapa perawatan seadanya di tenda Edo. Karena khawatir siangnya pada hari aku sadar, aku segera di larikan ke puskesmas kecamatan terdekat dan melakukan perawatan intensif. Untung saja dokter disini sudah berpengalaman sehingga tidak melarikanku ke rumah sakit di kota besar. Di puskesmas itu tidak hanya aku yang dirawat, banyak pasien-pasien lainnya yang juga di rawat di puskesmas itu. Karena korban badai gunung itu sangat banyak. Sore harinya Edo datang menjengukku untuk memperhatikan keadaanku. Aku sangat takjup pada Edo meskipun keadaanku masih sedikit kurang menyenangkan. Itulah cintaku pada pandangan pertama bertemu. Karena tidak ada yang menemaniku, Edo merelakan dirinya untuk tidak pulang bersama-sama teman kelompoknya. Edo bertanggung jawab untuk menemani aku di puskesmas ini hingga aku dizinkan pulang. Untung saja keesokan harinya dokter mengijinkan aku pulang dan Edolah yang mengantarku pulang kerumah. Kejadian itu sangat teringat dimemoriku hingga aku tua nanti.
Semenjak kejadianku itu, hubungan aku dan Edo semakin dekat. Aku dan Edo mulai jalan bersama dan menikmati waktu bersama. Hingga pada suatu malam di sebuah resto saat Edo mengajakku makan malam. Edo melamarku dan mengajakku menikah secepatnya. Bahagia sekali perasaanku saat itu, sangat tidak bisa dibayangkan. Edo menjadi cinta pertama dan terakhir untukku. Hampir seumur hidup aku tidak pernah mengenal istilah jatuh cinta. Yang aku  kenal hanyalah tantangan dan pertemanan. Hampir semua temanku laki-laki dan tidak ada rasa untuk satupun dari mereka. Hingga aku berani jatuh cinta ketika bertemu dengan Edo, aku mencintainya, sangat mencintainya untuk pertama dan terakhir. Sampai pada akhirnya aku dan Edo menikah. Penikahan kami sangat bahagia sekali. Sampai banyak sekali orang-orang yang iri akan keharmonisan keluarga kami. Karena ini keluarga yang dibentuk dengan sebuah cinta  yang sesungguhnya, cinta yang berawal dari sebuah petualangan. Awalnya pernikahan kami baik-baik saja. Kami merasa menjadi keluarga yang sempurna. Kami memiliki cinta dan kasih sayang, kehidupan kami berkecukupan dan yang pasti kami selalu bahagia. Hingga tiga tahun pernikahan kami. Kami baru menyadari bahwa keluarga kami tidak lengkap. Kami seperti merasa bahwa kami bukan keluarga tanpa kehadiran seorang anak.
Selama ini aku beserta suamiku sudah memprogramkan hal ini dengan cara berkonsultasi dan mengikuti semua anjuran dokter dan kamipun berfikir mungkin Tuhan belum memberikan saja. Namun lama-kelamaan kami berada pada titik jenuh hubungan kami tanpa seorang anak, walaubagaimanapun anak bisa menjadi penyemangat dalam hubungan berumah tangga, dengan adanya anak kita bisa tersenyum saat kita sesedih apapun. Tepatnya pada hari itu juga kami kedokter lagi untuk check kandungan lebih lanjut.
Selama 2 jam kami menunggu dokter memeriksa hasil laboratorium hingga dokter datang dengan membawa kertas hasil laboratorium itu. Dengan mimik wajah yang kecewa dokter mengatakan
“Ovum ibu tidak berkembang karena saluran rahim ibu sobek. Mungkin ibu pernah mengalami kecelakaan hebat yang menyebabkan benturan di vagina ibu sehingga luka itu menyebabkan ovum tidak berkembang dan maaf sekali bu, mungkin ibu akan mandul selamanya”
Kata-kata yang keluar dari dokter itu sungguh menukik arah hidupku. Semakin membuat aku yakin bahwa langkahku besok pagi sudah tidak dapat berjalan lurus lagi. Aku merasa menghancurkan harapan banyak orang, suamiku, kedua orang tua ku dan kedua orang tua suamiku serta semua orang yang mengharapkan ada bayi dalam kandunganku.

Hidupku berubah saat itu, aku syok dan mengalami stres yang berkepanjangan, aku lebih cenderung menyendiri dan tidak ingin bertemu semua orang termasuk suamiku sendiri. Aku semakin menggila saat itu. Suamiku semakin khawatir terhadap keadaan yang aku alami karena dia tidak mau aku hilang dari hidupnya hingga ia mencoba melakukan segala cara untuk membuatku bangkit kembali. Namun cara apapun yang suamiku lakukan tetap saja tidak berpengaruh pada keadaanku yang semakin menjadi-jadi. Pada suatu malam, saat suamiku tidak sedang berada dirumah dan aku merasa tepat untuk melakukan percobaan bunuh diri saat itu, langsung saja aku mengambil pisau yang ada didapur lalu kembali menuju kamar tidur dan menguncinya rapat-rapat agar semua orang tidak dapat mengetahuinya. Dengan air mata yang terus menetes dan pikiran gelapku yang semakin berkuasa ditemani dengan rasa penyesalanku, aku menggoreskan kaca di lenganku hingga nadiku hampir saja terputus. Darah berceceran dimana-mana dan akupun tak sadarkan diri dan hampir mati.
Lagi dan lagi aku tertolong. Hingga aku tersadar sedang berada dirumah sakit dan ternyata aku kembali hidup untuk kedua kalinya. Aku tertegun melamun atas hidup yang terjadi padaku. Aku merasa mati pada hidupku sendiri. Saat itu juga aku bertanya pada 
“Do, kenapa kamu tetap masih mau bersamaku padahal jelas-jelas kalau aku sudah tidak punya anak. Kalau kamu bertahan denganku kamu tidak punya masa depan yang indah. Kamu tidak punya generasi penerus keluarga besarmu. Aku ikhlas Do kalau kamu ingin mencari istri lagi dan meninggalkan aku selamanya, karena memang aku sadar atas kekuranganku. Aku sungguh tidak pernah menyadari kalau kecelakaan di gunung itu telah membunuh jiwaku. Membunuh hidupku dan hanya membuat hidup ragaku saja. Kenapa kamu menolongku saat digunung itu Do, kalau kamu gak menolongku mungkin saja aku sudah mati dan tenang di alam sana. Aku sekarang sudah mati Do, aku seperti mati tanpa anak  Do. Aku gak bisa bahagiain kamu. Aku berharap Tuhan mencabut nyawaku saat ini juga”
“Kamu pernah berfikir dalam hati, kenapa setiap keadaanmu yang hampir mati, Tuhan tidak mengizinkan kamu mati? Kalau Tuhan berfikir bahwa kalau kamu mati adalah yang terbaik. Tuhan sudah lama mencabut nyawamu digunung itu Put. Tapi ini tidak. Karena Tuhan sependapat denganku. Tuhan menyimpan kebahagiaan yang lain dibalik itu semua. Tuhan memberikan kita cinta put. Berapa banyak seorang ibu membuang anaknya dijalanan hanya karena ia tidak mengharapkan anaknya? Mereka tidak punya cinta put. Apakah itu keinginan Tuhan juga? Tuhan tau pada siapa ia akan memberikan anak put. Tuhan tau itu” Edo menjelaskan itu sambil memelukku erat-erat.
“Kamu tenang saja, Put. Aku akan berusaha menerima kamu apa adanya. Tidak dipungkiri kalau memang aku juga membutuhkan seorang anak seperti keluarga-keluarga lainnya, hidup bahagia. Melihat senyum saat anak kita tertidur, menggendong dan lain sebagainya. Aku ingin semua itu. Tapi satu hal Putri. Aku jauh lebih menginginkan kamu dari semua hal itu. Aku ingin kamu menjadi istriku yang dulu, tetap tegar dan aku menerima kamu apa adanya”
Penjelasan Edo membuatku luluh tak bergeming sedikitpun dan aku menangis dipelukannya penuh dengan cinta.
Sejak saat itu, aku dan Edo berencana untuk mengadopsi seorang anak dari keluarganya Edo yang sudah yatim piatu berumur 3 tahun. Aku dan Edo sudah berkomitmen bahwa anak bukan keluar dari rahim tapi dihasilkan dari hati dan cinta orang yang merawatnya. Dan kami akhirnya merasa hidup yang kami jalani sudah lengkap seperti keluarga lain, kami punya segalanya. Terutama CINTA.
--------------
Di sore yang tetap indah itu setelah saling bercerita. Aku dan Edo segera meletakkan secangkir teh kami dan Kami saling berciuman penuh cinta dan Edo berkata dengan mesra ditelingaku.
“I love you, only for you”

Banyak Ibu yang melahirkan anak kedunia tapi tidak mau tau untuk merasakannya. Banyak Ibu yang ingin merasakan anak tapi tidak dapat melahirkannya. Nikmat mana yang dapat kamu dustakan? Selagi banyak Ibu yang dapat melahirkan seorang anak dan benar-benar merasakannya untuk apa manusia yang tidak dapat melahirkan anak tapi tidak mau merasakannya. Rasakanlah, selagi rasa itu masih milik manusia seutuhnya.

Seorang anak bukan manusia yang keluar dari rahim seorang wanita hingga dapat melihat dunia tapi seorang wanita yang membuat anak tau tidak tentang dunia saja.
Anton Hidayah





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar mu sangat berarti :