#CERPEN#
Sama seperti murid lainnya aku menyibukkan
diriku untuk menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan ujian nasional.
Entah kenapa aku sangat membenci menteri pendidikan Republik Indonesia yang
menetapkan adanya ujian nasional yang mensyaratkan kelulusan bagi salah siswa
sekolah dengan standar nilai tertentu. Bayangkan saja kalau murid berprestasi
yang tidak lulus hanya karena human error dan keadaan saat mengikuti ujian yang
tidak baik dan akhirnya dia tidak lulus? Mau dikemanakan bakatnya yang terpendam
selama ini? Ya sudahlah, nampaknya percuma saja aku berbicara secara terus
menerus, toh juga pemerintah tak akan mendengar bisikanku pada negeri ini.
Sudah tidak terasa dua tahun sudah aku duduk
di bangku SMA, padahal rasanya baru kemarin aku duduk di bangku ini. Mengikuti
seleksi masuk SMA Negeri dan mejalani masa orientasi siswa dan kenangannya pun
aku masih simpan saat aku disuruh menyatakan cinta pada salah satu kakak kelas
sampai diterima. Dan nampaknya aku tidak terlalu beruntung untuk tidak diterima.
Kelas XII.IPA1, kelasku merupakan kelas unggulan di sekolah yang masuk dalam
salah satu daftar sekolah unggulan di palembang. Semua guru dan kawan-kawan
berekspektasi lebih kepada aku dan teman-teman XII.IPA1 bahwa kami akan lulus
100%. Berbeda dengan kelas lain yang masih dikhawatirkan oleh seluruh dewan
guru akan kelulusannya. Karena ekspektasi itulah akibatnya kelas kami jarang
diperhatikan terutama guru yang selalu menganggap kami bisa dalam segala hal.
Jadi ketika mengajarpun, guru-guru selalu menganggap kami sudah bisa dan tidak
perlu dijelaskan. Hal tersebut membuat aku dan teman-temanku takut. Meskipun
ujian nasional berlangsung masih dalam hitungan beberapa bulan. Namun ketua
kelasku selalu menuliskan angka berukuran kecil pada pojok kanan atas papan
tulis didepan kelas untuk sisa-sisa hari kami menghadapi ujian nasional. Aku
tidak mengerti hal tersebut bermaksud menakut-nakuti atau sebaliknya malah
menyemangati kami? Yang jelas aku
pribadi merasa ketakutan ketika melihat angka (hari) di papan tulis
tersebut semakin berkurang.
Suasana sekolahpun berbeda untuk siswa kelas
XII. Kami memiliki pelajaran tambahan dari sepulang sekolah tepat pukul 2 siang
hingga pukul setengah lima sore untuk mempelajari kembali mata pelajaran yang
akan menjadi materi ujian nasional. Bisa dibilang kami kembali nostalgia pada
pelajaran-pelajaran kelas 1 SMA yang sebenarnya sudah kami kubur dalam-dalam.
Kalau boleh aku berpendapat pada pelaksanaan jam belajar tambahan ini malah
sangat tidak efektif. Aku sudah sangat lelah mengikuti pelajaran tambahan yang
menjenuhkan ini. Alhasil kami malah disuruh membayar uang tambahan karena ada
jam tambahan ini.
Karena ketakutan yang sangat mendalam pada
siswa-siswi kelas XII akan ketidak lulusan kami di ujian nasional. Aku dan teman-teman
berniat untuk mengambil bimbingan belajar di luar sekolah. Bayangkan betapa
sibuknya kami saat itu. Sudah belajar hingga jam 2 siang ditambah jam tambahan
hingga jam setengah 5 sore lalu kami harus bimbingan belajar diluar sekolah
hingga aku bisa tiba dirumah pukul setengah sembilan malam setiap harinya. Aku
tersenyum dengan korban dari kebijakan pemerintah yang menurutku salah. Kami
hanya ditemani ketakutan saat itu. Bayangkan saja kalau aku sudah belajar masuk
kelas unggulan dan tidak lulus hanya karena masalah yang tidak bisa dihindarkan
atau nilaiku pada satu mata pelajaran saja kurang? Sebenarnyapun aku merasa
yakin untuk lulus tapi entah mengapa aku masih merasa ada bayang-bayang yang
menghantui begitu dahsyatnya. Lagi-lagi pilihanku untuk mengamil bimbingan
belajar sangat tidak tepat. Kelelahan menjadi faktor utama aku menolaknya. Alhasil
aku malah bolos dan menjadikan waktu bimbel tambahanku untuk bermain bersama
teman-teman karena aku jenuh dengan keadaan ini. Kenapa semua hanya ditumpukkan
pada satu tahun. Disaat kami seharusnya berfikir bagaimana caranya untuk lolos
ke perguruan tinggi negeri. Bukan malah memikirkan untuk lulus sekolah lagi.
Semua hal telah aku lakukan hanya untuk meraih
kelulusan hingga semester pertama pun berakhir dan memasuki semester kedua.
Tulisan yang ada di papan tulispun berubah semakin mendekat. Bulan Januari,
berarti 90 hari tertulis jelas dipapan tulis kami menuju ujian nasional. Tepat
pada tanggal 24 April 2008. Hari pertama sekolahpun dimulai pada semester kedua
di kelas akhir. Seperti pada tahun-tahun
sebelumnya, sekolah kami selalu didatangi oleh kakak-kakak kelas kami yang
sudah kuliah di beberapa perguruan tinggi ternama di Indonesia seperti
Universitas Nasional Jakarta, Institut Teknologi Ganesha Bandung dan
Universitas Hayam Wuruk Yogyakarta. Ketiga universitas itulah yang menjadi
dambaan seluruh siswa SMA se Indonesia, dan aku memiliki keinginan kuat untuk
masuk dan berkuliah di Universitas Hayam Wuruk yang terkenal dengan kualitasnya
yang mendunia. Hampir setiap minggu promosi universitas datang ke setiap kelas
secara bergantian baik dari universitas swasta ataupun negeri. Sehingga aku
selalu mengoleksi brosur dikamarku. Kumpulan brosur untuk kuliah di perguruan
tinggi negeri. Namun tidak tau mengapa hati ini tetap saja tertuju pada satu
nama. Universitas Hayam Wuruk Yogyakarta. Ada banyak alasan mengapa aku harus
kuliah disana. Karena kota Yogyakarta adalah kota pelajar, budaya, dan murah
jadi mungkin kedua orangtuaku tidak akan menghabiskan uang banyak untuk
menyekolahkanku di Universitas tersebut dibandingkan di Provinsi lain. Selain
itu juga universitas ini juga telah memiliki nama di dunia internasional.
Hingga aku punya mimpi disiang bolong untuk dapat kuliah keluar negeri. Kalau
teman-teman mempersiapkan diri untuk ujian nasional, aku tidak hanya itu. Aku
harus mempersiapkan diriku mengikuti ujian seleksi masuk Universitas Hayam
Wuruk (USM-UHW).
Malam itu aku nampak sangat lelah sekali
namun entah mengapa bunda ingin
mengajakku bicara, aku sempat menolaknya namun bunda tetap saja memaksa. Lalu
aku terduduk di depan televisi mendengarkan pembicaraan bunda. Menurutku
penting, ternyata bunda hanya menanyakan tentang persiapanku menghadapi Ujian
Nasional “Gilang, gimana persiapan ujianmu. Kira-kira akan lulus tidak? Bunda
lihat di televisi banyak siaran ujian nasional tahun lalu siswa yang bunuh diri
karena ujian nasional. Kamu harus benar-benar mempersiapkan nya ya”. Tanpa
mngurangi rasa hormat aku pamit pada bunda karena memang seperti hari-hari bisaanya
aku sangat lelah sekali karena harus menghadapi buku dan buku. Setelah minum
susu aku lekas tidur. Tiba-tiba Fendy, sahabatku bisa dibilang satu-satunya sahabatku,
datang kerumah. “Fen, kan gw udah bilang besok aja lo kesini nya. Gw ngantuk
banget nih. Sumpah dah!”. “Kalo gw nyampein berita ini gw jamin lo gak akan
bakalan ngantuk dah Lang!”. Sambil terpejam mengantuk aku mengiyakan “Apaan?”.
“Liat brosur apaan yang gw bawa?. Universitas Hayam Wuruk. Kemaren mereka
promosi disekolah gw. Mungkin besok di sekolah lo. Yang jelas, yang harus perlu
lo tau. Seleksi masuk kesana itu seminggu sebelum ujian nasional. Itu
masalahnya. Lo siap gak”. Aku kaget dan adrenalinku tiba-tiba saja mengencang
dan aku segar bugar kembali “Seminggu sebelum Ujian Nasional. Kan sebentar
lagi? Bisaanya bulan juni yah kalo seleksi masuk itu. Waduh mana gw belum ada
persiapan apa-apa lagi. Ngomong ke nyokap aja belom klo gw mau kuliah. Belajar
aja udah BT gw. Pendaftarannya kapan?”. “Sudah dibuka, tutup minggu depan”.
“Hah”.
Malam itu seakan atmosfer kesusksean telah
datang pada hidupku. Efendy sahabatku dari kecil di kampung ini bahkan temanku
satu-satunya memang sangat bersahabat sekali. Dy sangat mengerti sekali
keinginanku untuk kuliah di Hayam Wuruk.Aku dan Efendy memang berbeda sekolah.
Sejak SD aku lebih beruntung dari Fendy. Aku selalu lulus pada sekolah favorite
dan masuk kelas favorite. Sementara Fendy masuk sekolah negeri yang bisaa-bisaa
saja. Tapi jelas itu bukan menjadi halangan kami untuk bersahabat. Aku dan
Efendy tetap sejati hingga kini.
Masalah kini timbul lagi. Disaat aku
seharusnya mulai fokus pada ujian nasionalku. Namun aku kembali di buat pusing
dengan persiapan kuliahku. Bagaimana aku membicarakan ini kepada kedua
orangtuaku. Menurutku pasti mereka tidak akan setuju. Begini memang nasib
menjadi anak tunggal. Selalu saja sangat untuk dilepas dari orang tua. Semua
secara detail selalu diperhatikan bahkan sempat aku merasa terlalu berlebihan
kasih sayang mereka terhadapku. Sudahlah, aku memutuskan untuk tidur saja.
Karena aku benar-benar sudah lelah dan malas memikirkan ini. Aku masuk kamar
dan segera tidur.
Hari ini tepatnya pagi ini aku mendengar kabar
bahwa senior kami yang telah kuliah di Universitas Hayam Wuruk akan
mempromosikan UHW ke sekolah kami. Dan aku adalah orang yang bangga pertama
kali dan penyambut pagar betis urutan pertama didepan gerbang sekolah untuk
menyambut mereka. Akhirnya mahasiswa gagah perkasa mengenakan jas almamater UHW
masuk kekelasku dan dengan bangga kami langsung menepuki mereka dan penasaran
sekali dengan informasi yang mereka sampaikan. Promosi selesai dan aku adalah
siswa yang paling aktif bertanya dibandingkan dengan teman-teman yang lain.
Karena teman-temankupun sangat tau ambisiku untuk menjadi mahasiswa UHW.
Sampai-sampai seniorku memberikan nomor HP dan siap untuk membantuku disana
nanti hingga aku resmi menjadi mahasiswa UHW. Waktu sangat jahat sekali hingga harus
mengakhiri perjumpaanku dengan peri-peri dari kerajaan ini. Ingin sekali aku
meminjam jas alamamter mereka untuk sedetik saja. Namun menurutku itu sangat
berlebihan.
Besok harinya aku melakukan rutinitas seperti bisaanya
belajar hingga larut malam dan pastinya selalu melihat angka di papan tulis
yang semakin menantang mendekatkan ke hari ujian nasional. 50 hari lagi. Aku
dan teman-teman mengadakan acara syukuran dan pembacaan yasin disekolah hanya
untuk berdoa agar kami lulus semua. Memang dahsyat pengaruh program departemen
pendidikan saat ini. Bisa mengubah kamuflase hidup dunia pendidikan. Bukan
hanya itu, bahkan banyak hal-hal lain yang menurutku sangat aneh dilakukan saat
kamu duduk di kelas XII. Hanya karena satu hal. Ujian Nasional. Contoh kecil
saja. Bisaanya kami tidak pernah melakukan sholah dhuha. Tapi setiap istirahat
pertama aku melihat masjid penuh dengan siswa khusus kelas XII. Aneh. Setidaknya
ada hikmah positif dari kebijakan ini. Dan masih banyak lagi hal-hal lain yang
berbeda hanya karena ujian nasional.
Dijalan menuju rumah aku berfikir terus
menerus tentang pendaftaran Universitas Hayam Wuruk. Bagaimana aku
mengatakannya kepada ibu? Dan kalimat apa yang pantas aku lontarkan sebagi
pembuka dan apa yang harus aku persiapkan. Aku kebingungan dan tak disangka
kaki ini telah melangkah tepat di gerbang rumahku. Kenapa langkahku semakin
berat untuk masuk kerumah. Aku mengurungkan niat untuk masuk rumah padahal
waktu menunjukkan pukul 9 malam. Aku duduk di depan pagar memikirkan tentang
keberanianku berbicara pada ibu. Hingga Bunda memanggilku dari dalam rumah. “
Gilang masuk saja, ngapain kamu duduk di depan gerbang begitu. Seperti anak
hilang saja. Kenapa kamu duduk disana?”. Aku segera melangkah masuk dengan
meberatkan otot-otot pada kakiku berharap waktu akan memberikan aku kesempatan
berfikir. Ternyata ide itu juga tak kunjung datang sampai aku terduduk diam
kaku diruang tamu. “Kenapa kamu duduk seperti anak hilang saja diluar? Kenapa?
Kamu bingung mau ngomong sama ibu atas perbincangan kamu dan Fendy kemarin
malam?” Aku terbagun dan mengapa tiba-tiba tubuhku terduduk tegap dan kaget
melihat ibu tau apa yang ingin aku bicarakan. Setidaknya aku tak perlu
menghabiskan banyak waktu untuk berfikir memulai kalimat pertama karena Bunda
telah memulainya. “Iya bu, dari SMP, Gilang punya niat untuk kuliah di jurusan
Psikologi di Universitas Hayam Wuruk Yogyakarta. Gilang punya cita-cita menjadi
seorang psikolog lulus universitas ternama di Indonesia bunda. Maafin gilang
bunda. Gilang gak berani ngomong langsung sama Bunda. Habisnya Bunda seperti
tidak tertarik kalau ada pembahasan pembicaraan mengenai kuliah. Tapi Bunda,
kekuatan hati Gilang untuk kuliah disana sangat besar bunda. Gilang mau mimpi
Gilang terwujud dan Gilang sudah melakukan banyak hal untuk itu. Untuk dapat
menjadi mahasiswa disana. Tujuan Gilang ikut Bimbingan Belajar sebenarnya bukan
sematamata karena ujian nasional. Tapi karena bimbingan belajar gilang adalah
bimbingan belajar yang menyediakan program khusus seleksi di Universitas Hayam
Wuruk Bunda. Gilang sering sekali berhayal menjadi mahasiswa di Universitas
Hayam Wuruk, menjadi anak kos. Trus memakai jas almamater dan bangga
menyebutkan kalau gilang mahasiswa Universitas Hayam Wuruk”. Pembicaraan
menjadi tegang dengan sendirinya dan ayah tetap saja menonton TV seakan tidak
perduli. “Bunda sangat paham keinginan besar darimu. Dan bunda juga sudah
mendiskusikan ini masak-masak dengan ayah. Sangat masak. Bahkan keluarga kami
berduapun kami libatkan karena ayah dan bunda pikir ini masalah penting, Ini
masalah masa depan anak satu-satunya Bunda. Bunda sangat menghargai mimpimu
Gilang, semua orang juga punya hak untuk bermimpi. Ada beberapa alasan yang
membuat kami tidak mengijinkanmu untuk kuliah disana. Hal yang paling mendasar
adalah karena kamu adalah anak kami satu-satunya. Bayangkan betapa kami akan
merasa sangat kesepian jika tidak ada kamu disini. Dan bagaimana dengan kamu
yang tidak terbisaa jauh dari orang tua, bahkan untuk hal-hal kecil saja kamu
selalu minta perhatikan bunda. Hal selanjutnya adalah Ayah sekarang kan
hanya pensiunan bisaa saja dan sekarang
untuk makan pun kita sangat kesusahan. Sebenarnya kami tidak ingin membawa-bawa
kamu kedalam masalah ini. Tapi kamu sudah dewasa dan harus berpikir tentang masalah
yang kami anggap penting ini. Dan bagaimana nanti kalau kamu putus kuliah
ditengah jalan malah akan sangat menyayangkan bukan? Untuk hal ini Bunda akan
mengusahakan sekuat tenaga”. Aku hanya terdiam lemas mendengar penjelasan bunda
dan menuju kamar lalu merenung sebelum tidur. Apa yang seharusya aku lakukan?
Aku sudah terlanjur mendaftar online bersama Efendy dan dua minggu lagi test
akan dilaksanakan di SMA Santa Benadius Palembang. Aku sudah mempersiapkan
segalanya dengan matang.
Akhirnya aku menganggap test ini hanya
iseng-iseng saja, aku menjadikan seleksi ini sebagai latihan sebelum aku
menghadapi ujian nasional, walaubagaimanapun caranya jika aku lolos seleksi
maka aku akan berangkat kuliah dengan atau tanpa restu ayah dan bunda.
Pelaksanaan ujian seleksi Universitas Hayam Wurukpun dilaksanakan dan hampir
seribu siswa yang mengikuti seleksi ini dan aku dan Efendy mungkin hanya
sebagian kecil saja orang yang mendaftar. “Lang, gile orang yang daftar bejibun
banget nih. Kita kagak usah mimpi untuk lulus dah ya!”. “Kalo kita gak punya
mimpi untuk lulus. Kenapa kita daftar Fen”. Bel berbunyi dan semua peserta
memasuki ruangan ujian. Aku dan Fendy berbeda ruangan karena Fendy siswa
jurusan IPS, sementara aku jurusan IPA. Aku mencoba membuka lembar soal satu
persatu. Dan aku seperti tidak melihat tulisan pada lembar soalku. Yang aku
lihat hanya gambar gedung universitas hayam wuruk dan imajinasiku liar kembali untuk
menjadi mahasiswa Universitas Hayam Wuruk Yogyakarta. Gambar imajinasi itulah
yang membuat aku semangat mengerjakan lembar-lembar soal tersebut. Hingga semua
rutinitas rangkaian seleksi sudah aku jalankan, Aku dan efendy serta peserta
lainnya tinggal menunggu pengumuman seleksi bulan juni. Tapat seminggu sebelum
pengumuman ujian nasional.
Mimpi memang indah dan semakin liar jika
dibiarkan. Maka aku mencoba untuk menghentikan mimpiku sejenak menjadi
mahasiswa Universoitas Hayam Wuruk. Angka dipapan tulispun berubah dengan elok
dan terlihat seksi. Angka 3. Berarti menandakan kalau tiga hari lagi ujian
nansional akan berlangsung. Entah megapa aku merasakan hegemoni yang berbeda
saat mengikuti seleksi ujian nasional dan tes masuk perguruan tinggi. Tekanannya
lebih ganas saat ujian nasional berlangsung. Lembar-lembar soal berubah menjadi
bara api terutama untuk ujian fisika. Hari pertama keributan terjadi disekolah
kami karena diisukan ada siswa yang keliru membulatkan lembar jawaban dan
dipastikan tidak lulus. Akhinya isupun berlalu seiring dengan berlalunya ujian
nasional. Angka dipapan tulispun berubah menjadi angka menuju penguman ujian
nasional.
Suasana menjadi renggang disekolah karena
beban hilang begitu saja. Namun kami harus kembali menyiksa otak kami dengan
rangkaian ujian praktek dan ujian sekolah yang akan diadakan sesaat lagi. Entah
kenaapa aku tidak bisa menjelaskan sangat membenci pelajaran praktek olahraga,
itu dia jawaban atas fisikku yang tidak proporsional. Gilang gembul. Julukan
yang sudah tidak asing aku kenal. Semua kegiatan berlangsung seperti apa
adanya. Begitupun dirumahku. Aku sama sekali tidak berani mengucapkan kata
kuliah didepan bunda, karena aku tidak mau bunda merasa tertekan karena
memikirkan kuliahku. Jadi aku berusaha membantu kedua orangtuaku menjaga warung
kelontong saja di depan rumah. Selain pensiunan ayah. Inilah yang menjadi
nafkah keluarga kami. Toko kelontong kecil didepan rumah.
Pengumuman dimulai.
Efendy datang kerumah kali ini bukan untuk
mengajakku bermain. Namun secara diam-diam dia mengajakku ke warnet melihat
pengumuman kelulusan penerimaan mahasiswa UHW. Dan kami berangkat dengan
membuat suasana candaan agar tidak terlihat menegangkan. Dan komputer sudah
didepan mata kami. Menunggu loading internet membuat kami melawan tingkat
kesabaran kami yang paling tinggi. Dan jelas nama Efendy Gozali tidak
dinyatakan lulus pada jurusan pilihannya, yaitu manajemen dan akuntansi. Lalu
aku mengetik satu persatu angka nomor pendaftaranku sebagai syarat log in. Satu
demi satu angka aku ketik seakan menjadi slow motion. Dan lama sekali jari-jari
ini mengetikkan pada angka-angka pada keyboard komputer ini. Lengkap sudah
angka nomor pendaftaran dan password yang aku tulis. Dan tombol enter aku tekan
seakan membawa aku pada dimensi waktu yang berbeda membuat duniaku berputar
sesaat terus berputar menuju perjalanan kehidupan dimensi waktu dan terus
berputar hingga tulisan SELAMAT! Aku baca pertama kali. Kelanjutan kata itu
mungkin sudah bisa ditebak kalau aku lulus seleksi pada jurusan Kedokteran
Hewan. Meskipun bukan pada jurusan utamaku Psikologi. Setidaknya dokter hewan
adalah pekerjaan yang menjanjikan. Profesi lebih tepatnya. Entah apa rasa saat
itu yang dapat aku rangkaikan pada monitor layar komputer didepanku. Yang jelas
aku sangat bangga sekali dan Efendy ikut menari-nari kecil riang karena
meskipun dia tidak lolos. Namun Efendy merasa bangga atas keberhasilanku.
Lagi-lagi nasib dari SD hingga ke bangku kuliah tidak bisa berubah. Aku memang
sedikit lebih beruntung dari Efendy. Dan Efendy mempersiapkan dirinya untuk
menunggu pengumuman di universitas negeri lain. Kebanggaan ku tidak menjadi
lengkap rasanya kalau toh juga aku tetap tidak akan berangkat kuliah, dan aku
teringat pesan ibu. Aku terduduk dan ekspresiku berubah secara tiba-tiba dan
Efendypun keheraan.”Kenapa lang? Lo bukannya seneng malah kok jadi kayak ayam
sayur gitu. Ayok bangga kawan. Lo gak mau mengekspresikan kebahagiaan lo karena
gw gak lolos? Santai kali bro. Gw masih punya kesempatan di Universitas lain.
Lagi pula gw gak terlalu kepengen amat kuliah disana. Sebenernya juga gw daftar
tu cuma buat seru-seruan aja nemenin lo. Lo kan obsesi banget tu disana. Gw
harus kuliah di Balikpapan. Orang tua gw harus nyuruh gw kuliah disana. Gw
nurut-nurut aja. Minggu depan pengumumannya. Lo doain gw yah keterima disana.
Jadi gak Cuma gw yang bangga. Tapi gw juga sekaligus bisa buat bangga kedua
orang tua gw. Karena gw sudah memenuhi keinginan mereka, hidup untuk apa kalo
gak memenuhi keinginan orang yang sudah melahirkan dan membesarkana kita. Ayolah
kita makan2. Lo traktir gw ya!”. Aku makin pucat lemas pasi “ah lo! Buat gw
tambah sedih aja. Justru itu yang buat gw jadi done. Kedua orang tua gw. Mereka
gak setuju gw kuliah. Jadi ntar waktu nganter gw pulang. Lo jangan pernah
berekspresi sedikitpun yah. Bisaa aja, anggep aja kita lagi maen dari mana
gitu. Ok”. Efendy marah-marah “ gak bisa seperti itulah. Gimana ceritanya lo
gak mau ngasih tau kedua orang tua lo. Itu universitas Unggulan di Indonesia dan
harusnya lo bangga dan tunjukin kebanggaan itu ke keluarga lo juga biar mereka
juga bangga. Gak mungkin mereka gak bangga”. Aku terus berdebat dengan Fendy
masalah itu. Persetujuan orang tua, sebenarnya Fendy tinggal diam sajapun cukup
kepada kedua orang tuaku. Tapi entah mungkin karena rasa persahabatannya itulah
yang membuat dia merasa bertanggung jawab atas
kebahagiaanku. Saat di motor menuju pulang pun kita masih berdebat
tentang hal itu dan akhirnya Fendy terdiam juga saat berada dihadapan bunda.
Aku memutuskan untuk mandi dan langsung mentraktir fendy makan diluar. Kuharap
Fendy tetap tenang terduduk diruang tamu rumahku. Semoga saja bibirnya tidak
khilaf tentang penerimaanku di Universitas Hayam Wuruk. Mandi Selesai dan aku
bergegas pergi untuk mentraktir Fendy makan.
Malam hari yang sangat larut pukul 12 malam
aku tiba dirumah. Dan ibu sudah menungguku didepan pintu. “Gilang. Bunda mau
bicara serius!”. Aku sontak kaget. Mungkin aku akan dimarahi bunda karena
pulang terlalu larut. Tidak bisaanya juga bunda menungguku hingga larut malam.
“Bunda tadi membereskan kamarmu. Tidak sengaja bunda lihat ada buku rekening
tertulis atas namamu. Dengan nominal yang membiayai kamu kuliah bunda rasa
cukup. Jelaskan Bunda dari mana kamu dapat uang itu dan kenapa kamu
merahasiakannya dari Bunda”.
“Maaf bunda, kalau gilang sudah tidak jujur
dengan bunda. Uang itu gilang tabung dari uang jajan gilang dari SMP. Karena
memang gilang sudah punya niat dan tekad yang kuat dari SMP kalau gilang akan
kuliah di Universitas Hayam Wuruk. Akhirnya perjuanagan Gilang gak sia-sia.
Awalnya gilang berpikir tanpa atau dengan restu bunda, gilang akan kuliah.
Karena gilang sudah memiliki uang sendiri untuk mendanai gilang kuliah”
“Kenapa kamu tidak menceritakan ini dari dulu?
Kalau kamu memang punya tekad yang sangat kuat, silahkan kamu kuliah saja. Ayah
dan Bunda tidak melarang. Untuk masalah dana nanti kami usahakan. Yang
mengkhawatirkan bagi kami adalah melepasmu sendirian. Kalau tekadmu seperti itu
Bunda yakin akan rela melepasmu, ayah juga. Jadi apa lagi yang membuat kamu
ragu sekarang untuk menjadi mahasiswa Universitas Hayam Wuruk. Tinggal tunggu
minggu depan untuk kelulusan Ujian Nasionalmu. Kalau pengumuman Tes seleksi
sudah ada, beritahu bunda. Nanti kita rayakan ssama-sama”.
“Baik bunda”. Aku hanya terdiam. Dan aku tidak
berani bilang pada bunda Kalau aku sudah lulus tes di jurusan kedoteran hewan.
Tapi aku tidak berniat memberitahukannya malam itu pada bunda. Mungkin lebih
tepat bunda tau dulu hasil ujian nasionalku.
Hari pengumuman ujian nasionalpun diumumkan
dan aku beserta 239 peserta ujian lainnya penasaran dengan isu yang menyebar,
menyatakan kalau ada banyak orang yang tidak lulus. Dan hasil terjawab sudah.
Aku lulus dengan nilai cukup. Dan kurasa semua teman satu kelasku yang hadir juga
lulus semua dikelas ini. Terlihat dari aura kebahagiaan yang menyeruak di ruang
kelas kami. Hingga tak ada satupun yang tersedu dan menunjukkan tanda-tanda
ketidak lulusan. Tapi ada satu kejanggalan dariku dan teman-teman adalah
ketidak hadiran satu orang teman kami. Alessius Gonanza. Murid juara umum 2
tahun berturut-turut dikelas kami serta peserta olimpiade matematika tingkat
nasional tidak ada diruangan kelas kami. Kemana perginya dia?
Desas desus kabar meyatakan bahwa Nanza tidak
lulus ujian nasional karena jatuh dinilai bahasa inggriss. 4,00 dengan nilai
standar 4,25. Dan dia memiliki nilai matematika 9,86. Nyaris sempurna. Ini dia
yang menjadikan aku sangat membenci Ujian Nasional. Karena aku telah
mengalaminya sendiri, bukan hanya melihat ditelevisi lagi. Aku menyaksikan
temanku sang juara harus kandas hanya karena sebuah sistem yang rusak parah.
Mungkin nasib saja tidak berpihak padanya.
Aku kembali kerumah dengan perasaan bangga dan
segera memberitahukan ibu tentang hasil ujian nasionalku lengkap beserta
kelulusan tes masuk UHW ku. Aku bangga sekali hari itu. Berasa seperti terbang
diangkasa. Aku tidak mau ikut bergabung dengan teman-teman melakukan sebuah
rutinitas budaya pelajar SMA, yaitu melakukan corat coret seragam sekolah. Aku
sangat mendukung ritual itu karena itu pantas dijadikan ungkapan kebahagiaan
atas kerja keras yang kami lakukan selama ini, bahkan sangat pantas. Tapi
menurutku tetap saja. Lekas memberitahukan kedua kabar gembira ini kepada ayah dan bunda membuat segalanya
tidak penting dan aku pulang dengan melayang-layang menuju rumahku karena aku
sangat bangga. Yeah aku akan kuliah menjadi mahasiswa Universitas Hayam Wuruk
dan tinggal di Yogyakarta.
Aku mengetuk pintu dan mulai masuk kerumah,
meletakkan tas di kamarku. Tanpa sempat membuka baju dan makan aku ingin segera
memberitahukan hasil ujian ini pada ibu. Dan nampaknya ayah dan bunda tidak ada
dirumah. Ternyata dugaanku salah. Ayahku ternyata berada dikamar dan aku
melihatnya dibalik hordeng pintu kamar Bunda. Namun kenapa ada yang berbeda
dengan ayahku? Kenapa ayah memegang dadanya seperti orang menahan rasa sakit.
Dan aku terus memperhatikan. Aku mencoba mendekat meyakinkan. Aku terheran dan
berteriak “Ayaaaaaaaah”. Ayahku terjatuh kesakitan sambil memegang dadanya. Dan
aku berteriak meminta tolong ketakutan. Aku melepas genggaman kertas hasil
kelulusanku. Membuangnya entah kearah mana aku tak perduli. Yang aku pikirkan
saat itu adalah jiwa ayah dan rasa ketakutanku yang amat dalam dan aku terus
berteriak. Semua tetangga datang kerumahku dan segera menolong ayah dan bunda
tiba-tiba datang dengan heran karena melihat rumah ramai dengan penduduk. Bunda
membuang belanjaannya dari pasar dan segera merangkul, membopong ayah menuju
mobil dan membawanya kerumah sakit segera. Aku membiarkan bunda berjalan duluan kemobil
sementara aku berniat mencari kertas perjuanganku yang ntah aku lempar kesisi
mana. Karena tergesa-gesa aku lantas tidak memperdulikannya dan segera menyusul
ibu ke mobil. Aku melupakan pesta pora ujian nasional dan hanya memfokuskan
pikiran pada ayah. Mobil ini seakan lambat sekali jalannya aku dan ibu pun
histeris diluar kendali karena rasa takut melihat ayah semakin kesakitan. Akhirnya
rumah sakitpun mulai tampak dipelupuk mata. Ayah langsung dilarikan ke UGD
Rumah Sakit Islam Permata Hati Palembang. Dan semua nampak tegang saat itu. Tak
ada suara, tak ada arah pikiran dan tak ada kepentingan apapun kecuali satu
kata AYAH!.
Pikiran jahatku tiba-tiba merasuk melawati
telinga dan merangsang otakku untuk berpikir bahwa aku tidak akan punya ayah
lagi dan aku semakin ketakutan. Apa yang aku lakukan dan bagaimana dengan bunda
jika kami tanpa ayah? Lantas bagaimana dengan kuliahku jika bunda tinggal tanpa
ayah. Aku menangis dan mengingat masa-masa kecilku bersama ayah, saat ayah mengajariku
bermain sepeda, mengajak aku menembak burung gereja di sawah belakang rumah
nenek dan banyak kenangan yang akan membuat tangisku semakin rontok dari mata.
Yang jelas aku sangat ketakutan saat itu. Hingga dokter keluar dari ruang UGD.
Dan menyatakan ayah baik-baik saja. Dokter menjelaskan ayah terkena serangan
jantung dan sementara ini harus dirawat bebearap hari di rumah sakit untuk
melihat proses selanjutnya.
Ayah dirawat, dan aku dan bunda selalu
menemani ayah diumah sakit. Aku duduk dikursi luar ruangan ayah mencoba
memberanikan diri menghayal tentang kuliahku dan masa depanku yang sudah tidak
ada harapan lagi. Bunda mengagetkanku keluar dari pintu. “Gilang. Bagaimana
hasil kelulusanmu?”. Aku diam sesaat dan setelah cukup lama aku terdiam aku
memberanikan menjawab “Lulus bunda”. “Baguslah, bunda berharap nanti juga tes
UHW kamu akan lulus seperti yang kamu inginkan”. “Iya bunda” pengumuman itu
terasa bisaa saja dan menjadi tidak penting buat hidupku. Aku mencoba untuk
mengerti karena kondisi kami yang seperti ini mungkin membuat hal yang
seharusnya istimewa harus menjadi bisaa saja. Tapi aku tidak berani mengatakan
aku lulus di UHW. Aku semakin bingung mengatakannya dengan kondisi seperti ini.
Dan bunyi gaduh terdengar dari ruang kamar ayah. Aku dan bunda segera membuka
pintu dan melihat ayah sangat ketakutan. Ayah kejang-kejang dan kamipun ikut
gelisah. Segera aku berlari memanggil dokter dan dokterpun datang dengan
sigapnya. Ayah dibawa keruang khusus apa yang aku tidak tau namanya. Dan
berbeda dengan kasus di UGD, dokter tidak memberikan angin segar pada kami dan
mengatakan “Maaf bu, bapak terkena stroke dan kemungkinan dy akan lumpuh seumur
hidup”. Bunda goyah dan aku kaku dibuat oleh perkataan dokter tersebut. Aku
berusaha meyakinkan apa yang dibicarakan dokter benar adanya. Ternyata itu
bukan mimpi. Ayah memang lumpuh saat aku meyakinkan diri memasuki ruang ICU
tempat ayah dirawat dan ibu masih pingsan disalah satu ruangan. Aku tidak boleh
mengangis melihat keadaan ayah begini. Aku harus tetap kuat karena jika aku
menangis lalu siapa yang akan menjadi sandaran ibu saat bersedih? Aku mengajak
bicara ayah yang tak dapat bicara lagi kini. Aku tertawa dan meneteskan air
mata. Aku sudah berusaha kuat untuk tidak menangis. Ayah pun menangis. Namun
aku kembali tertawa dengan tangisanku pada keadaan ini. Aku menatap wajah ayah
dan terus menciumnya tanpa henti karena aku memang menyayanginya. Memang nasib
tidak ada yang bisa ditebak arahnya kemana.
Aku tidak sadar kalau Efendy telah berada lama
dirumah sakit dan menemani ibu yang pingsan di ruang sebelah. Aku menghampiri
ibu dan Efendy mengajakku keluar membicarakan sesuatu. Aku mendengarkan Fendy
dan menghapus air mataku. “Maaf Lang, tadi gw keceplosan bilang ke nyokap lo
kalau lo keterima, Karena gw pikir pasti nyokap lo udah tau. Tapi nyokap lo
bilang kalo dy belom dapet kabar dr lo. Gw gak tau kalo lo masih nyimpen
kebahagiaan buat diri lo sendiri”. “Gak papa Fen. Sudah gak penting sekarang
ngomongin ini. Sekarang lo anterin gw pulang ya. Gw pengen menyendiri untuk
sesaat aja”.
Aku dan Fendy pulang menuju rumah dan membereskan
rumah serta mempersiapkan barang bawaan yang ingin dibawa kerumah sakit. Aku
kembali kerumah sakit malam harinya dan bunda menyambutku. “Bunda ingin bicara
sama kamu tentang kuliah kamu”.
Aku dan bunda menuju pojok lorong rumah sakit.
“Lagi-lagi kamu mengulangi keslahan yang sama. Kenapa kamu gak biang sama bunda
kalau kamu sudah keterima sebelum pengumuman ujian nasional di UHW? Fendy
bilang pendaftaran ulang terakhir hari rabu berarti lusa. Kenapa kamu gak
ngasih tau ibu, besok segera kamu daftar ulang pake uang tabunganmu dulu nanti
suatu saat bunda ganti. SEGERA! Tanpa memikirkan apapun”. Bunda sedikit marah dan
memaksa. “Gak bunda, gak! Gilang gak mau kuliah. Gilang sudah memutuskan itu
sejak Gilang sadar menjaga ayah dan bunda yang sudah semakin lanjut usia itu lebih
penting dari pada kuliah mengejar impian yang belum pasti”.
“kamu jangan bodoh Gilang, besok kamu
berangkat kejogja dan langsung daftar ulang dan mempersiapkan diri kamu untuk
kuliah disana, itu impian kamu. Impian yang tidak bisaa yang sudah kau tanamkan sejak SMP, dan
itu waktu yang sangat lama. Kamu harus kejar dan menyelesaikan sesuatu yang sudah
kamu mulai”.
“Tidak bunda. Gilang sudah pikirkan semuanya
sejak lama. Gilang memang gak mau kuliah, karena buat gilang ayah dan bunda
jauh lebih penting dari hidup gilang sendiri. Bunda jangan salah paham. Gilang
sudah merencanakan semuanya. Itu alasan kenapa Gilang gak mau kasih tau
kelulusan gilang. Gilang punya rencana yang indah dari pada menjadi mahasiswa
UHW. Gilang akan kursus bahasa inggris disini dengan lokasi yang dekat dan
biaya yang murah trus gilang merasa punya banyak keahlian untuk mencari pekerjaan.
Mungkin Gilang akan bekerja di bengkel milik Om Burhan dekat dengan rumah kita.
Mereka sangat membutuhkan pekerja atau lain apapun yang bisa Gilang kerjakan.
Om Burhan sudah mengiyakan untuk Gilang bekerja disana. Gilang sudah
mempersiapkan semuanya dengan indah bunda. Nanti Bunda pakai uang tabungan
Gilang semuanya, dan sisanya gunakan buat usaha yang gilang pikir dapat
dijadikan kehidupan sehari-hari kita bunda. Gilang sudah punya rencana akan
merawat Bunda sampai masa tua Gilang. Merawat ayah juga. Coba bunda lihat wajah
ayah. Gilang yakin, gilang masih bisa membuat wajah ayah selalu tersenyum saat
gilang disamping ayah. Dan gilang bisa jadi seseorang yang bunda andalkan
bunda. Gilang bisa jadi kepala rumah tangga yang baik buat keluarga kita bunda.
Gilang sudah merencanakan semuanya dengan indah Bunda. Tidak ada hal yang
paling indah buat gilang sekarang selain tetap disamping Bunda dan ayah
selamanya”.
Bunda memelukku dengan eratnya, sangat erat.
Bunda tidak pernah memelukku selama aku dewasa. Setidaknya ini lebih
membanggakan. Mengejar impian dibalik sebuah impian yang terbentang menjulang.
Kasih sayang yang paling indah adalah kasih
sayang yang selama ini ibu berikan untuk kita. Ibu memperkenalkan pada kita
sebuah keputusan Tuhan yang masih bertanda tanya. Dan ibu juga yang memberikan
jawaban karena ibu uluran tangan Tuhan. Setiap orang akan berfikir bahwa
kesuksesan adalah apa yang ia dapatkan dan ia raih dengan penuh perjuangan dan
kerja keras. Membuat lupa bahwa do’a ibu adalah pekerjaan paling keras untuk perjuangan
seorang anaknya. Percayalah dalma setiap detik kita merasakan kebahagiaan, maka
ada seribu do’a ibu yang turut campur tangan. Ibu adalah dosa besar saat kita
melangkah menuju surga. Lihatlah wajahnya lebih dalam maka engkau akan tau
berapa banyak dosa yang kau miliki pada ibumu.
Impian tidak mempunyai batas ruang dan waktu, impian juga tidak bisa
diterka, impian juga tidak bisa dipastikan. Karena impian adalah kebahagian
buka kemenangan.