Indah

Memulai cerita hari ini dengan sebuah kata terindah. "Perjuangan"

Selasa, 03 Juli 2012

Cinta yang Abadi


Biarkan Jantung ini Abadi

Sejak orangtuaku menjodohkanku kepada seorang pemuda kaya, pengusaha tekstil ternama di kotaku. Aku sudah menyadari bahwa hidupku akan menjadi buruk. Aku harus banyak berkorban untuk berusaha mencintai orang yang baru aku kenal 1 minggu sebelum pernikahan ini dilangsungkan. Aku menahan air mata ketika kekasihku datang pada saat acara pernikahanku hari ini bersama Jimmy. Ingin rasanya aku melepas baju pengantin yang sesak ini dan memeluk kekasihku yang kini sudah berstatus mantan itu. Namun rasanya hal itu sulit aku lakukan karena sesaat lagi aku akan menjadi milik orang lain. Tapi aku masih sangat mencintai kekasihku. Luthfan.
                Aku dan Luthfan sudah berpacaran lebih dari 3 tahun sejak aku masih duduk di kelas satu SMP. Banyak cerita yang sudah aku buat bersamanya. Meskipun aku dan Luthfan masih sangat anak kecil. Luthfan selalu berjanji padaku bahwa kita akan menikah suatu saat nanti, saat semuanya sudah pasti. Saat semua sudah merasa yakin. Dan saat aku dan Luthfan dewasa tentunya. Luthfan sesosok lelaki yang aku puja dan cintai. Sifatnya yang sangat dewasa dan bisa membimbingku inilah yang membuat aku jatuh cinta padanya. Aku sudah sering memperkenalkan Luthfan pada orangtuaku namun mereka selalu saja menolak dengan alasan yang sangat klasik. Karena Luthfan orang tidak mampu. Sempat suatu ketika. Ibuku mengusir Luthfan dari rumah hanya karena jengah melihat Luthfan selalu mengantarku pulang setiap malam. Lebih-lebih ayah. Ayah sangat tega menghina Luthfan dengan kata-kata kasar yang membuat Luthfan sakit hati. Namun kegigihan dia lah yang membuat aku tetap mempertahankan cinta ini. Karena aku merasa bahwa Luthfan tetap bersih keras ingin menikah bersamaku meskipun kedua orangtuaku menentang. Bahkan ayah sempat memukuli Luthfan didepan mataku karena suatu ketika Luthfan pernah mengajakku pergi hingga larut malam. Jangankan hal-hal buruk. Hal-hal baik yang selalu dilakukan oleh Luthfan selalu dianggap salah dimata ayah. Kemudian kami menjalani hubungan ini dengan status backstreet. Aku berusaha untuk tidak diketahui ayah kalau aku dan Luthfan masih berpacaran. Aku bilang pada ayah karena aku dan Luthfan sudah berpisah dan kami tidak memiliki hubungan apa-apa lagi. Semua hal itu aku lakukan karena aku tidak mau ayah meneror Luthfan. Karena aku sudah geram melihat tingkah laku kedua orang tuaku terhadapnya. Luthfan marah saat kuberitahukan hal ini. Dan kita menikmati hubungan backstreet sudah cukup lama. Hingga suatu hari ayah memergoki kami sedang berjalan di Mall dan ayah langsung menghapiri ku dan memukul Luthfan dihadapan orang ramai dan langsung menarik aku untuk pulang bersama ayah. Sejak kejadian itulah ayah berniat untuk menjodohkanku dengan orang lain. Orang yang menurut ayah tepat. Tampan dan kaya raya. Meskipun Luthfan tidak setampan dan sekaya raya Jimmy. Namun tetap saja cintaku pada Luthfan sudah melekat begitu dalamnya.
                        Seorang penghulu memukul-mukul pundakku menghancurkan ingatanku dimasa lalu. Kemudian menyuruhku untuk mengulang ucapan janji setia aku dan Jimmy. Dan acara hari itu aku anggap sebagai sebuah kekosongan belaka. Acara pernikahankupun usai, dan babak baru dalam kehidupanku pun dimulai. Tanpa terasa aku sudah menjalani pernikahan dengan suamiku hingga aku berusia 32 tahun saat ini. Banyak kisah yang terjadi saat aku menikah diusia 18 tahun hingga kini. Pahit, manis sebuah hubungan pun sudah aku rasakan. Namanya saja menikah tanpa cinta, jadi terkadang dirumahpun aku sempat tidak ingin berbicara pada Jimmy. Aku dan Jimmy berbicara dan bertemu seperlunya saja. Meskipun satu rumah aku tetap saja merasa asing padanya. Lelaki yang secara KTP sudah menjadi suamiku kini. Namun Jimmy lelaki yang sabar hingga dia ikhlas begitu saja menerima sikapku yang kurang elegan padanya. Jimmy sangat menghargai aku sekali. 32 Tahun bukan waktu yang sebentar untuk menjalani sebuah hubungan rumah tangga. Entah karena apa, perasaan itupun berubah begitu saja, aku sudah mencoba untuk mencintai suamiku dengan sepenuh hati dan membuat diriku menerima dia dengan apa adanya. Jimmy lelaki hebat buatku. Dia tampan, kaya memiliki kebaikan hati yang luar biasa serta apapun dia miliki. Aku yakin kalau dia adalah lelaki perfect di dunia dan menjadi incaran banyak wanita. Namun kenapa Jimmy mau menikah denganku.
Sampai pada akhirnya kami memiliki 2 orang anak yang berusia 9 dan 5 tahun. Aku mencoba menikmati keluargaku secara utuh dan bahagia tapi sangat sulit aku lakukan. Karena rasa cinta memang belum tumbuh. Tidak mudah memang membuat diriku sendiri mencitai sesuatu yang aku mulai dengan ketidak ikhlasan. Kedua orang tuaku sering datang ke rumah untuk melihat cucu-cucu mereka dan memastikan kalau aku baik-baik saja. Kehidupanku setelah menikah dengan Jimmy memang sangat berbeda. Benar kata orang tuaku. Jimmy adalah orang yang tepat untukku. Aku mulai percaya saat ini kalau pilihan orang tua adalah pilihan yang terbaik. Aku sekarang sudah menjadi orang kaya dan bergaul ala sosialita. Aku sering mengikuti acara-acara besar yang sebelumnya tidak pernah aku lakukan seperti pesta-pesta para pejabat. Menghadiri beberapa undangan orang-orang penting di Indonesia. Kehidupanku memang berubah, sangat berubah saat aku menikah dengan Jimmy. Aku mulai terbiasa untuk ikut dalam acara-acara bos besar, party-pasrty yang menurutku tidak ada gunanya. Hingga aku harus kontrol kesehatan dan kecantikanku pada tiap bulannya. Aku harus kesalon kapanpun aku mau, hingga berbelanja semua kebutuhan yang aku mau. Ini semua aku lakukan untuk melampiaskan ketidaksenanganku terhadap diriku sendiri, ketidak ikhlasan aku menerima kenyataan yang terjadi. Gaya hidup metropolitan tetap saja aku lakukan karena memang pergaulanku lah yang menuntutku menjadi seperti ini. Dan lama kelamaan aku sangat nyaman untuk bergaya hidup seperti ini. Sosialita kelas atas.
                       Suatu saat aku ingin menjemput anakku yang paling kecil “Bona” di playgroup. Meskipun aku memiliki baby sitter tapi kalau urusan kasih sayang terhadap anak. Aku sangat mengutamakannya lebih dari segala hal. Aku menunggu Bona keluar sekolah didalam mobil sambil mendengarkan musik lewat handphone. Nampaknya kali ini Bona pulang agak terlambat, satu jam sudah aku menunggu Bona untuk pulang namun Bona tidak juga keluar. Aku langsung turun dari mobil dan menanyakan masalah ini kepada seorang wanita cantik yang duduk pada sebuah gerobak bakso didepan gerbang sekolah. Sepertinya dia juga sedang menunggu anaknya untuk pulang.
“Mbak, saya mau numpang tanya. Mbak nya nunggu anaknya pulang juga?”.
“Iya mbak”.
“Kok lama ya?”.
“Tadi saya sudah tanya ke gurunya mbak. Kata gurunya, hari ini anak-anak minta jam tambahan belajar musik. Tadi sudah diumumkan kok mbak”.
“....”
                 Awal pembicaraan yang hangat mulai terjadi saat itu. Aku dan wanita yang kukenal dengan nama Dina ini berbincang-bincang seperti biasanya aku jika bertemu dengan ibu-ibu lainnya. Aku bahkan sempat mengajak Dina untuk bergabung di grup arisanku. Namun Dina menolaknya karena kesibukannya sebagai wanita karier. Dina wanita yang sangat cantik bak model. Sejak saat itu aku sudah merasa akrab dengan Dina dan aku sering bertemu Dina untuk menjemput anak kami. Sebelumnya Dina tidak pernah menjemput anaknya. Namun karena anaknya sering ketakutan jika dijemput dengan baby sitternya, maka Dina berniat untuk menjemput anaknya sendiri.
               Pada suatu pertemuan aku mengajak Dina makan malam dan mengajak anak kami masing-masing hanya sekedar makan malam biasa. Karena Bona dan anaknya Dina sangat akrab sekali sebagai teman bahkan mereka berdua sudah menjadi teman dekat disekolah. Kami berbincang-bincang dengan hangat malam itu. Tanpa berbasa basi aku menanyakan tentang keberadaan suami Dina. Mungkin ini terlalu berani karena kami baru saja kenal dan aku juga tidak berharap jawaban darinya.
“Gak papa kok mbak, suamiku memang jarang keliatan karena dia sangat sibuk bekerja. Malumlah mbak Bussines Development  jadi sering gak ditempat”.
“Suamiku namanya Jimmy, Jimmy Bernadius. Dia suami yang sangat aku cintai”.
“Nama suamiku Luthfan Anggara, seusia dengan saya”. Dina menjelaskan
Aku terhenti sejenak, tertegun mendengar ucapan Dina tadi. Aku memastikan dengan jeli kalau nama yang Dina ucapkan adalah benar nama yang sama dengan mantan kekasihku Luthfan. Tanpa membuat Dina curiga aku langsung memutuskan untuk mengakhiri pertemuan kami malam itu.
Berminggu-minggu aku dan Dina tidak mendengar kabar masing-masing tiba-tiba pada suatu malam handphone ku berdering. Dina menelpon ku.
“Ada apa mbak?”
“Gak papa, saya gak ganggu kan? Malam ini anak saya akan di operasi tepat jam 1 malam, 1 jam lagi mbak. Dia membutuhkan banyak darah. Mungkin mbak bias bantu. Darah anak saya O sama dengan mbak. Maaf ya mbak sudah ganggu”.
“Oh, gak papa mbak, sy senang bisa bantu. Ok. Nanti saya kesana dalam waktu setengah jam”.
Sempat aku merasa heran kenapa Dina tau golongan darahku O. Tapi karena menolong anak perempuan Dina jauh lebih mendesak. Aku melupakan itu. Aku membangunkan Jimmy untuk izin pergi kerumah sakit. Dan Jimmy ingin mengantarku kerumah sakit karena sudah teralalu larut malam.
Setengah jam tepat aku tiba dirumah sakit. Aku segera menemui Suster yang ada di rumah sakit. Tapi disekeliling ruangan memang tidak ada sosok Dina disekeliling ruangan operasi. Aku malah melihat Luthfan yang sebenarnya tidak ingin aku lihat. Dengan nada yang sedikit marah aku memberanikan diri menegur Luthfan dan Luthfan hanya terdiam saja.
“Mana Dina?”
“Dina dikamar, 1 jam lagi dia dioperasi. Kanker rahim”.
“Gak mungkin fan. Tadi setengah jam lalu dia yang langsung telpon aku”.
“Itu suster, Dina sudah 1 minggu tidak sadarkan diri dirumah sakit. Aku tadinya gak mau ngerepotin kamu yang sudah bahagia. Karena ini sudah sangat mendesak dan aku tahu kalau jenis darahmu sama dengan Dina. Aku menyuruh suster untuk menghubungi kamu. Maaf Lusi”.
Aku semakin kebingungan. Dan daraku sudah didonorkan. Dari sudut kaca jendela aku melihat Jimmy dan Luthfan sedang berbicara dengan tertawa kecil.
Malam itu setelah darahku didonor aku dan Jimmy beranjak pulang dan meninggalkan Luthfan seakan akupun baru mengenalnya. Didalam mobil Jimmy terus menceritakan tentang seorang Luthfan. Sampai tiba-tiba aku muak mendengarnya dan menghentak Jimmy untuk berhenti membicarakan lelaki yang sudah menjadi masa laluku. Kami tiba dirumah.
Aku melihat Jimmy sudah tertidur pulas. Entah mengapa malam itu aku tidak bisa tertidur dengan pulas. Aku bangun dan memilih untuk menyendiri di taman belakang rumah. Langkah-langkah kecilku bermain-main menemani kebimbanganku malam itu. Sepertinya pikiranku melarangku untuk beristirahat dan bayangan Luthfan mengganjal sangat besar. Tiba-tiba air mataku menetes dan jatuh kepipi dan terus bergulir tiada henti. Aku mengangis. Pikiranku semakin liar mengenang masa-masa indahku bersama Luthfan. Dan aku marah pada Tuha mala itu atas jalan hidup yag ditakdirkan padaku.
Hari terus bergulir, waktu terus beranjak. Berbulan-bulan aku tidak bertemu dengan Luthfan namun tetap menjaga komunikasi dengan Dina. Hubunganku dengan Dina semakin dekat apalagi kami sama-sama memiliki kecocokan menyukai fashion desain yang sama. Aku sering sekali shopping bersama Dina.
Suatu malam saat aku pulang dari berbelanja dengan Dina. Aku mendengar suamiku Jimmy merintih kesakitan mengepal dadanya seperti menahan rasa sakit. Sontak aku bertindak untuk mendekat dan menolong Jimmy. Jimmy di bawa kerumahsakit dan aku menemaninya. Meskipun aku tidak mencintainya dan masih mengenang Luthfan. Tapi aku tetap menolongnya karena walaubagaimanapun Jimmy suamiku.
Berjam-jam aku menunggu di depan ruang IGD, dokter keluar dan berbicara dengan nada was-was.
“Bu Lisa?”
“Ya, saya dok, suami saya gimana keadaanya dok?”
“Jantung suami ibu klepnya bocor, itu akibat stress dan kelelahan. Salah satu cara untuk menyembuhkannya, kita mencari donor. Kalau tidak mungkin tidak bias diselamatkan. Kita punya waktu 3 hari untuk membuat suami ibu dioperasi jika ada donor”.
Entah ada salah apa denganku sampai-sampai aku tertimpa masalah seperti ini. Pikiranku bingung. Mana ada orang yang mau mendonorkan jantungnya untuk orang lain. Itu sama saja dia mengorbanka nyawanya untuk orang lain.
Satu hari waktu telah tebuang percuma dan aku belum juga menemukan donor yang tepat. Tiba-tiba Dina menelpon.
“Ada apa mbak?”
“Saya turut berduka, saya denger kabar suami mbak sedang dirumah sakit sekarang ya mbak?”
“Iya mbak”.
“Mungkin kira-kira apa yang bias saya bantu?”
“Mungkin gak ada mbak, satu-satunya jalan yaitu menemukan orang yag mau mengorbankan nyawanya untuk suami saya, karena donor jantung menjadi satu-satunya jalan mbak”.
“Mungkin nanti saya akan cari infonya di Internet. Di luar negeri kan banyak mbak yang buka jasa seperti itu.”
“O. Makasih mbak”.
Kata-kata Dina seperti memberikan harapan padaku. Internet. Benar sekali, aku juga pernah mendenga tentang kabar kalau diluar negeri memang ada jasa untuk orang yang menyediakan donor jantung untuk orang lain dengan dana yang besar. Saat itu juga aku mencari-cari info di Internet hingga pada akhirnya aku menemukan orang yang pas untuk mendonorkan jantungnya denga suamiku. Mungkin aku akan menjemputnya dan melakukan check apakah jantungnya tepat dengan jantung suamiku. Malam itu juga aku pergi ke Dubai India, untuk menemui calon donor jantung suamiku. Didalam pesawat aku sempat berpikir. Untuk apa aku menolong Jimmy, toh juga aku tidak mencintainya, bahkan memikirkannya dalam benakku saja tidak. Tapi lagi-lagi naluri yang berbicara. Dan tepat hari terakhir, dimana hari yang sudah ditentukan dokter untuk mengoperasi suamiku, aku tiba di Rumah sakit denga membawa calon donor. Dan dokter menghampirku.
“Ibu kemana aja? Alhamdulilah, sekarang suami ibu sudah selamat. Namun butuh waktu beberapa hari untuk beliau sadar dan siuman. Tadi siang, hampir saja terlambat datang seseorang yang ingin mendonorkan jantungnya untuk Pak Jimmy. Beliau tidak mau disebutkan namanya bu. Selamat ya bu!”
Aku sontak kaget mendengar kata-kata dokter, dan semua masalah selesai dengan mudah dengan begitu saja. Aku kembali menjalani kehidupan seperti biasa dan Jimmy juga semakin membaik. Tujuh hari aku dan Jimmy bersama, banyak hal yang berubah darinya. Jimmy mengerti kalau aku sudah berbuat banyak untuk membuatnya sembuh dan dia berusaha membuat aku agar mencintainya. Sebagai seorang wanita hatikupun luluh karena usaha Jimmy sangat luar biasa untuk membuat aku mencintainya. Saat aku dan Jimmy ingin berciuma dengan penuh cinta untk pertama kalinya. Pembantuku mengetuk pintu. Mengganggu. Aku membukanya.
“Bu, tadi pagi ada pesan dari mbak Dina, malam ini ibu ada undangan untuk datang kerumahnya”.
“Undangan apa bi?”
“Waduh, saya lupa tanya bu, saya kira tadi ibu sudah tau”.
“Oh ya udah bi, tidak apa-apa”.
                 Saat itu juga aku segera menelpon Dina, namun tidak diangkat. Sekarang masih jam 6.30 WIB, semoga saja aku belum terlambat untuk datang ke pesta yang diadakan oleh sahabatku ini. Aku dan suamiku menyegerakan diri untuk bersiap-siap daag ke pesta Dina. Tidaktau kenapa, menurutku malam itu, suamiku jauh terlihat tampan dari biasanya. Apakah aku sudah mulai mencintainya?
             Berharap-harap untuk tidak terlambat datang ke pesta dirumah Dina, Jimmy mulai mengebutkan mobilnya. Dan kami tiba dirumah Dina. Aneh. Saat aku melihat orang-orang yang ada dipekarangan rumahnya, tidak ada tanda-tanda sebuah pesta ingin diadakan. Keadaan terlihat sunyi senyap. Aku dan Jimmy memarkirkan mobil agak jauh dari rumah Dina, untuk memastikan keadaan baik-baik saja. Aku mulai melangkahkan kaki menuju rumah Dina. Dan saat aku memasuki rumahnya di gerbang kenapa aku lebih dapat memastikan ini merupakan acara pengajian. Lebih untuk memastikan diri lagi aku masuk dan menemui Dina. Dan Dina langsung memelukku.
“Ada apa ini mbak”.
“Tidak apa-apa mbak, ini ada acara pengajian 7  hari meninggalnya suami saya”.
“Maksud mbak? Luthfan meninggal?”
“Iya mbak, sudah tujuh hari yang lalu”.
Dunia terasa hening dan hanya ada aku dan nasib. Aku merasa waktu berhenti dan hanya aku pemiliknya. Air mataku menetes. Dina dan Jimmy mungkin tidak mengerti mengapa air mata ini harus menetes. Kekasih yang selama ini masih aku cintai hingga detik ini. Meninggalkan aku begitu saja tanpa mngeluarkan kata-kata sedikitpun. Tanpa ada rasa perduli sedikitpun padaku. Orang yang bertahun-tahun masih mencintainya. Menahan rasa cinta ini hanya untuknya. Tuhan, mengapa dunia ini semakin kejam. Lalu untuk apa aku terus bertahan disini kalau aku sudah tidak pernah dapat melihat orang yang aku cintai lagi.
“Mbak. Mbak kenapa? Mbak baik-baik aja? Oh ya mbak, sebelum Luthfan meninggal, dia menitipka ini. Dia gak kasih tau isis suratnya apa, tapi katanya itu sekedar ucapan terima kasih karena mbak sudah menolong aku donor darah kemarin”.
“Terima kasih mbak. Maaf aku terlambat untuk dating, aku turut berduka cita ya mbak”.
“Ya mbak”.
                  Malam itu sudah hilang dan yang ada adalah mentari pagi yang menemani kegundaanku diawal hari ini. Aku membuka surat dari Luthfan dan membacanya berdua dengan suami yang perlahan-lahan aku cintai ini.
Mungkin kamu akan marah setelah tau kalau aku baru mengabari kamu setelah 7 hari kepergianku. Itu hak kamu, tapi satu hal yang gak kamu tau, kalau selama ini aku masih mencintai kamu. Rasaku sangat tulus sampai saat ini. Saat awal pernikahanmu aku masih tetap sendiri dan berteman dengan kebodohanku untuk dapat menanti kamu kambali sampai pada akhirnya kedua orangtuaku memaksaku menikah dengan Dina. Aku kaget setelah Dina pernah bertemu dengan kamu di TK, hal itu kembali menimbulkan kebodohanku. Aku berharap Tuhan menakdirkan kita untuk tidak terpisahkan dan memberi jalan untuk kamu kembali padaku. Aku sangat senang ketika hubungan kamu dan Dina semakin dekat. Setidaknya aku dapat mengetahui kabarmu dari Dina. Maafkan atas kebodohanku yang menghancurkan kebahagiaanmu dengan Jimmy. Seharusnya juga aku begitu, mencintai Dina dengan sepenuh hatiku. Maafkan juga kalau aku telah memberikan nama anakku seperti namamu. Namamu masih terlalu cantik dihatiku. Sampai suatu saat aku menyadari aku tidak bisa benar-benar mencintai Dina dan melupakanmu, dan aku juga merasa sebuah kesalahan besar untuk menantimu kembali. Aku bingung. Lalu, aku mendapat kabar dari Dina kalau Jimmy membutuhkan donor jantung untuk menyelamatkan nyawanya. Aku membulatkan tekat untuk mendonorkan jantungku kepada suami yang kamu cintai sama seperti kamu telah mendonorkan darah untuk istri yang menurutmu aku cintai. Ternyata dokter menyatakan bahwa jantungku tepat untuk mendonorkan kepada Jimmy. Aku rasa ini petunjuk Tuhan untuk membalas kebaikanmu pada istriku dan berkorban untuk kebahagiaan kamu. Aku bingung bagaimana lagi caranya untuk mendapatkan kamu kembali. Aku berharap, ketika jantungku sudah terpasang kokoh di tubuh suamimu. Aku akan dapat merasakan cinta kembali darimu. Seperti kamu mencintai suamimu. Meskipun aku kalah dalam memperjuangkan cinta agar diriku dapat bersamamu. Tapi aku masih memiliki cara agar jantungku tetap bersamamu untuk dapat kamu cintai. Aku hanya ingin kamu tau satu hal. Bahwa aku akan memenuhi janji kita untuk mempertahankan cinta kita kekal abadi. Cintai jantung suamimu seperti kamu mencintai aku dulu…
Luthfan Anggara

Kadang setiap manusia merasa sudah menjadi pahlawan, hebat ketika dia sudah merasa berkorban untuk hidup orang lain. Tanpa ia sadari sebenarnya ia belum melakukan apa-apa. Ikhlas mencintai orang lain adalah bukan bagaimana kita berusaha mencintainya, tapi bagaimana kita tetap mencintainya dengan sepenuh rasa yang ada tanpa ada rasa penyesalan. Ikhlas mencintai seseorang adalah bagaimana diri kita merasa dicintai dan mencoba untuk tetap mencintai tanpa ada prasangka.

Manusia yang hebat bukan manusia yang berhasil berjalan pada pilihan hidupnya, tapi manusia yang mencoba tetap menapak pada jalan hidup yang bukan keinginannya.
Anton Hidayah


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar mu sangat berarti :