Indah

Memulai cerita hari ini dengan sebuah kata terindah. "Perjuangan"

Kamis, 05 Juli 2012

Maafkan aku, Ibu!




Aku terheran mengapa Ibuku sore ini tidak memanggil untuk menyuruhku pulang. Biasanya kalau sudah tepat waktu maghrib tiba. Ibu sudah memegang gagang sapu dan teriakan khasnya untuk menyuruhku pulang kerumah, karena kalau sudah bermain aku sangat lupa dengan waktu. Karena teman-teman dikampungku sangat banyak untuk diajak bermain. Setiap harinya aku bermain dari seusai sekolah hingga malam tiba dan tidak akan pernah mau berhenti bermain sebelum ibu memanggilku. Adzan maghrib berkumandang dan Ibu belum juga memanggil. Heran bercampur rasa takut bergerumul menjadi satu. Aku senang, mungkin saja ibu hari ini benar-benar memberikan kesempatan kepadaku untuk bermain hingga larut malam atau dirumahku sedang ada tamu penting hingga ibu benar-benar tidak memiliki waktu untuk memanggilku. Rasa takut karena bisa saja Ibuku sedang mengujiku agar aku bisa tepat waktu pulang kerumah dan jika aku benar-benar tidak pulang Ibuku memukulku di rumah nanti. Begitulah kehidupan keluarga dikampung kami, cara mendidik dengan kekerasan menjadi acuan utama. Aku bingung apa yang harus aku lakukan. Sampai pada akhirnya seluruh kawan-kawanku pulang kerumah masing-masing karena waktu sudah sangat larut. Aku merasa nyaman ibu tidak memanggilku lantas akupun mengikuti ajakan Toni untuk bermain dirumahnya. Toni ingin memamerkan mainan baru miliknya padaku. Toni merupakan anak orang termasuk paling kaya di kampung kami meskipun Ibunya hanyalah sebagai seorang pemilik Toko Kelontongan saja. Namun kehidupan mewah keluarga Toni sangat mencolok sekali dibandingkan kehidupan tetangga-tetangga kami di kampung ini. Segalanya dimiliki Toni hingga mainan terbarupun yang hanya dijual terbatas, sudah dimiliki oleh Toni. Yah, begitulah kampung kami, pemilik toko saja bisa dibilang saudagar.

Sekarang waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam tapi Ibu belum juga memanggilku pulang kerumah. Ini sudah merupakan sesuatu ketidak wajaran yang terjadi yang pernah Ibu lakukan kepadaku. Aku sudah merasa bosan bermain dengan Toni dan memutuskan untuk pulang kerumah. Ditemani rasa deg-degan aku melangkah menuju rumahku, aku berfikir ibu pasti sudah siap-siap memgang kayu besar didepan pintu untuk memukulku karena kesalahan fatalku kali ini, aku hampir saja tidak berani pulang, namun karena waktu sudah larut malam dan akupun mengantuk, aku memutuskan untuk berani mengambil resiko apapun yang ibu berikan padaku nanti. Setibanya aku dirumah ternyata ibu tidak dipintu, dengan mengendap-endap aku membuka pintu berharap ibu sudah tidur. Dan mengapa rumahku sepi-sepi saja, hanya ada kakakku Joko yang sedang membaca-baca buku. Aku berfikir atau mungkin ibu sedang mencariku keliling-keliling kampung? Pasti ibu marah sekali padaku kali ini, tanpa memperdulikan semua itu, aku bergegas mandi agar ibu tidak terlalu marah kali ini. Aku semakin terheran, waktu sudah pukul 11 malam tapi ibu belum juga pulang. Lantas aku bertanya pada kakakku, dan seperti biasanya kak Joko tetap tidak mau tau tentang keadaan rumah. Kak Joko mengatakan kalau Ibu memang sudah tidak ada saat dia pulang kerumah sore tadi. Kemana ibu? Atau mungkin ibu pergi menginap dirumah keluargaku? Tidak seperti biasanya ibu pergi tanpa mengajakku. Pasti ibu tau, kalau dia tidak mengajakku pergi bersamanya pasti aku akan menangis hebat dengan manjanya. Namanya anak bungsu yang masih berumur 5 tahun. Dan akupun sudah mempersiapkan skenario itu. Ketika ibu pulang nanti, aku akan menangis seperti bocah yang benar-benar marah manja kepada ibunya kalau memang ibu pergi ketempat keluarga ku.
“Kak Joko, ibu pergi kemana?” dengan nada bercampur rasa marah dan sedikit ingin menangis aku bertanya kepada kakakku yang memang cuek dengan keadaan rumah.
“Kakak bilang gak tau ya gak tau, kakak juga marah dengan Ibu, pergi tapi kok tidak meninggalkan makanan...” Kak Joko marah.
“!!@#$%*()” akhirnya akupun menangis saat itu.
Kak Joko hanya membiarkan aku menangis begitu saja dan malah memarahiku. Hingga seperti biasanya saat menangis aku tertidur dengan sendirinya.

Aku terbangun dipagi yang cerah dan merona, biasanya ibu membangunkanku dan menyuruhku bersiap-siap berangkat sekolah, aku melamun sesaat berusaha menyesuaikan keadaan pagi itu dan melihat rumahku yang sepi tanpa berpenghuni. Aku benar-benar marah pada ibu, kenapa pergi menginap di rumah saudara tapi tidak mengajakku, tega sekali ibu terhadapku. Aku semakin dongkol dan kembali ingin menangis. Aku mengamuk-ngamuk dikamar tidur seolah marah pada ibu tapi tetap saja tidak ada yang merespon karena dirumah tidak ada siapa-siapa, hanya aku dan barang-barang tua milik keluargaku. Semakin lama aku menangis semakin terisak menanti ibuku untuk pulang kerumah tapi tetap saja, sudah 1 jam aku menangis, ibu tidak pulang. Pagi itu aku tidak berangkat kesekolah “TK Santa Ursula 8 Makassar”. Sampai saatnya aku lapar dan ingin sarapan. Tapi setelah aku periksa di meja makan sama sekali tidak ada makanan, minumpun habis. Aku geledah-geledah seisi rumah hanya untuk mengganjal perut agar tidak terlalu lapar hingga kakakku pulang nanti. Isi lemari, lemari makan, dapur, semua sudah aku bongkar. Namun tetap saja tidak ada satu makananpun yang ada dirumahku untuk aku makan. Aku duduk dikursi termangu, dan tanpa sengaja aku melihat ada sebuah snack dibawah kursi, mungkin itu bisa mengganjal perutku. Aku berusaha mengambilnya dengan mendorong kursi itu dan mencoba mengangkatnya. Tanganku tergores oleh sudut kursi yang sangat tajam dan berdarah. Aku pun kembali menagis seakan tidak kuat menahan rasa sakit itu ditambah dengan jengkelku pada ibu yang belum juga pulang. Aku makan snack sambil menangis. Snack yang aku makan sudah tidak enak lagi rasanya. Mungkin snack ini snack sisa jajanku seminggu lalu yang tak sengaja menyangkut dibawah kolong kursi. Tapi aku tetap memakannya karena perutku memang sudah sangat lapar.

Aku semakin marah dan waktu sudah menunjukkan siang hari pukul 12 siang, ibu belum juga pulang. Tiba-tiba Toni datang kerumahku untuk mengajakku kembali bermain. Tapi aku menolaknya. Toni terheran melihat keadaanku yang sudah tidak biasanya ini. Aku menceritakan kejadian yang sebenarnya pada Toni dengan sisa-sisa isakan tangisku.
“Ton, ibuku pergi tapi belum pulang-pulang dari kemarin, tadipun aku tidak berangkat kesekolah. Aku mau ibu.”
Toni terharu melihat keadaanku dan Toni mengajakku untuk pergi keliling-keliling kampung menghampiri tiap-tiap rumah untuk menanyakan keberadaan ibu. Jalan demi jalan aku lalui bersama Toni berharap bahwa ada satu tetanggaku yang tau tentang keberadaan ibuku, dan langkahku ditemani isakan tangis yang membuat harapankupun menjadi hilang tentang ibuku. Tak ada satu orang tetanggaku pun yang tau keberadaan ibuku. Akhirnya aku sudah tidak bisa menahan rasa tangisku. Aku menangis terisak-isak dipinggir jalan untuk kesekian kalinya di pusat kampung tempat aku tinggal. Aku menangis berharap ada orang yang memperhatikanku. Rasa tangisku merupakan rasa tangis bukan lagi karena aku marah pada ibuku tapi karena aku sudah merasa kangen pada ibuku, aku rindu dan semakin khawatir pada keadaan ibuku. Dan akhirnya salah satu tetanggaku membawa aku kerumahnya dan memberikan aku makan. Setelah aku kenyang aku memutuskan untuk pulang saja. Dan Tonipun pulang kerumahnya. Saat aku masuk kerumah ternyata keadaan rumahku tak jauh berbeda. Masih hampa bersama barang-barang tua milik kami. Aku menuju kamar mengambil baju ibu yang tergantung dibelakang pintu kamar, menciumnya dan memeluk baju itu dengan rasa kangen sambil aku kembali menangis dan berharap ibuku akan pulang. Aku semakin ketakutan.
Andai saja ayah tidak pergi meninggalkan rumah saat aku masih berumur satu bulan. Mungkin rumah ini tidak sesepi ini, kalau tidak ada ibu kan masih ada ayah. Namun tidak untuk kali ini, aku merasa kedua-duanya sudah tidak ada. Aku melamun, merenung dan masih terisak-isak. Keadaan rumahku terasa hening sekali dan akupun menangis semakin menjadi-jadi. Hingga energiku habis untuk menangis dan merasa sangat kehausan.

Tepat saat pukul 2 siang tetanggaku datang kerumah, dia bernama mbok inah, biasa dipanggil mbok gosok karena pekerjaannya sehari-hari hanya sebagai tukang gosok dan tukang cuci dikampung kami. Tapi mbok gosoklah yang paling akrab dengan ibuku. Aku merasa harapan itu ada dengan hadirnya mbok gosok, setidaknya aku bisa makan. Dan semoga saja mbok gosok datang untuk mempertemukan aku dengan ibuku.
“Dion, maaf yon, mbok telat. Ya ampun, keadaanmu kok begini. Ayo mbok mandiin. Mbok tadi harus mencuci dirumah ibunya Toni dulu, padahal mbok mau kerumahmu tadi pagi. Mbok sampe lupa” aku sempat menolak ajakan mbok gosok untuk memandikanku.
“Ibu mana mbok?” terisak dan berharap.
“Kamu mandi dulu yah, ntar kamu ditempat mbok aja, soalnya mbok gak bisa lama-lama dirumahmu. Mbok harus gosok baju lagi ni dirumah. Cup...cup...cup....”
            Aku menurut pada si mbok dan keadaan sudah semakin membaik. Aku ikut si mbok kerumahnya dan menonton TV bersama kak Darsum, anak dari Mbok gosok. Tiba-tiba aku digaungi kembali oleh kerinduanku pada ibu.
Ibuku memang sangat tegas, perawakan ibuku yang memang tidak seperti wanita biasanya membuatku sangat takut pada ibuku, Ibu tidak pernah tidak untuk memukulku jika aku melakukan sebuah kesalahan, ibu tidak pernah tidak berhenti mengoceh jika aku pulang kerumah dengan keadaan kotor. Bahkan ibu tak pernah segan untuk mengusirku dari rumah hanya untuk mengancamku jika aku bertindak melebihi batas. Itulah yang terjadi pada lingkungan keluargaku. Kami dipaksa untuk memutarbalikkan arti dari sebuah kasih sayang dengan kekerasan. Kami dipaksa untuk membuat sebuah hantaman sebagai sebuah teguran. Itulah didikan oleh seorang ibu yang tak kunjung juga datang. Namun semua itu tetap aku rindukan pada sosok ibuku, wanita berumur 38 tahun yang tidak ada kabarnya hingga kini.
Aku kembali menanyakan pertanyaan yang belum sempat dijawab dengan mbok gosok tentang ibuku. Tapi mbok hanya bilang kalau ibu sedang bermain dirumah saudaraku dan menitipkan aku pada mbok untuk sebentar saja karena ini penting. Aku marah, kenapa ibu tidak mengajakku, aku ingin ikut dan memaksa mbok untuk mengantarku kerumah saudaraku yang cukup jauh. Tapi karena si mbok sibuk, mbok wanita yang berusia 49 tahun ini berjanji mengajakku nanti malam. Aku pun menurut dan sangat percaya dengan mbok gosok.

Malam hari tiba dan aku menagih janji mbok gosok untuk mengantarku, namun mbok gosok masih berkelik, dan mbok berjanji akan mengantarku seusai pulang sekolah besok. Kecewa, tapi aku benar-benar melihat mbok gosok sangat sibuk dengan pekerjaannya jadi aku memaklumi saja.
Untuk beberapa hari hingga berbulan-bulan akhirnya aku tinggal bersama mbok gosok hingga melupakan waktu dan rasa kangenku pada ibu. Aku sudah tidak berharap lagi ibu dating. Menurutku ibu sudah keterlaluan dan tidak perduli lagi padaku. Jadi aku dengan sangat terpaksa untuk tinggal dengan wanita tua renta yang aku anggap juga dengan terpaksa sebagai ibu penggantiku.
Meskipun mbok gosok sangat baik hati dan berlapang dada untuk merawatku hingga dewasa, namun perlakuanku padanya memang sangat tidak pantas. Tapi menurutku wajar saja untuk anak seusia aku yang masih haus kasih sayang dengan ibu kandung.
Pada suatu hari mbok gosok dating kesekolah berniat untuk menjemput dan membawakan aku payung karena hujan dating sangat lebat siang itu. Dengan langkah tertatih tua rentah mbok gosok jalan dari kejauhan dengan penampilan yang lusuh dan menghampiriku. Penampilan mbok gosok sangat lusuh sekali sangat mencerminkan seorang tukang cuci. Dan aku pun jadi malu dengan adanya mbok gosok siang itu. Untuk menghindari ejekan dari teman-teman. Aku segera menuju gang sempit didekat sekolah untuk memanggil mbok gosok agar tidak ketahuan teman-teman. Namun meskipun bangkai disembunyikan tetap saja akan ketahuan, akhirnya Rega dan kawan-kawan memergoki ku dan berkata.
“Sejak kapan kamu punya pembantu?”
“Diam kalian”

Aku pun marah dengan mbok gosok membawaka aku paying kesekolah. Padahal kalau saja dia tidak dating, mungkin teman-teman tidak tau kalau mbok gosok yang memang sudah dikenal teman-teman sebagai tukang gosok tiap rumah adalah yang mengasuhku semenjak ibuku pergi tanpa alasan.
Suatu hari mbok gosok memiliki inisiatif yang menurut aku sangat bodoh.
“Dion, kalo besok kamu mau gak bantuin mbok untuk ambil cucian kotor dirumah pak Rastam? Mbok lagi gak enak badan ini. Tidak tau kenapa dada mbok sesak beberapa minggu ini.”
“Loh kok mbok sekarang nyuruh-nyuruh Dion? Mbok kan bukan siapa-siapanya Dion, Cuma tetangga yang disuruh jagain Dion. Ntar kalau mama datang, Dion bilang kalau mbok sudah menyuruh-nyuruh Dion seperti ini”.

Dengan nada yang sambil menahan batuk mbok berkata: “Ya sudah, nanti mbok menyuruh mang Asep saja mengambil ke rumah Pak Rastam sebelum dia narik becak, kamu belajar sana yah.”
Malam itu aku merasa menang, dan aku selalu mengeluarkan ancaman-ancaman itu kepada mbok gosok kalau dia berani-berani memperlakukan aku tidak sesuai dengan keinginanku. Karena menurutku, pasti ibu sudah membayar mbok gosok untuk merawatku. Ada hikmahnya juga aku tidak tinggal dengan ibu, tinggal bersama mbok gosok aku selalu dimanja dan dipenuhi semua keinginanku karena aku sangat dimanjakan sekali. Karena mbok gosok tau, kalau selama tinggal dengan ibu, aku selalu dimanja dan disayang.
Pada suatu malam saat aku ingin pulang dari bermain dengan teman-teman, aku melihat mbok gosok terjatuh sambil memegang tumpukan pakaian kotor yang di bawanya dari rumah tetangga hingga pakaiannya berserakan di jalan. Aku melihat mbok gosok dari kejauhan. Karena aku malas membantu mbok gosok dan kalau aku berpapasan dengannya namun tidak membantu membawa pakaian kotor yang dibawanya yang berat dan bau, pasti tetangga-tetangga akan mencibirku.  Aku memutuskan untuk lewat gang lainnya menuju rumah dan membiarkan mbok gosok tersungkur. Biarkan saja dia, toh juga dia bukan siapa-siapa saya.
Perlakuan yang menurutku keterlaluan bukan hanya itu, suatu saat aku ingin meminta uang pada mbok gosok untuk membeli mainan seperti Tony.
“Mbok, aku minta uang lagi, mau beli mainan seperti Tony”.
“Untuk apa? Mainan kamu masih banyak, mbok udah gak punya uang lagi”.
“Uang kiriman ibu pasti mbok pakai bukan keperluan pribadi ya mbok, mbok benar-benar keterlaluan. Nanti Dion akan bilang ke Ibu”.
“Baik besok pagi beli yah, mbok pinjam dulu ke Pak Rastam”.
Lagi-lagi dengan ancaman itu mbok langsung luluh.
Sudah pagi dan tidak ada yang menyiapkan pakaian sekolahku dan juga makan sarapan di rumah mbok gosok. Aku pun sontak kesal, karena hari itu aku sudah bangun kesiangan dan aku tidak mau lagi dihukum mencabuti rumput sekolah karena telat. Aku langsung menuju kamar mbok gosok.
“Mbok, pakaian sekolah aku mana? Sarapan juga gak ada, mbok malah tidur-tiduran. Dion gak tau gimana kalau ibu bisa tau kalau Dion gak diurus dengan baik dengan mbok. Mbok bangun dong mbok sekarang, Dion gak mau telat”. Sambil menarik-narik paksa mbok gosok dari tidurnya aku memaksa mbok gosok.
Dengan nada batuk-batuk mbok gosok melepas tangannya dan menariknya
“Mbok jahat sama Dion, mbok gak ngerti gimana Dion dihukum kalau Dion telat”.
“Dion itu sudah kelas 5 SD sekarang, jadi harus sudah bisa urus semuanya sendiri. Mbok lagi tidak enak badan Dion”.
Aku semakin mengamuk dan berteriak “Dion bakal aduin ini ke ibu”.
Aku meninggalkan mbok dan terlintas aku melihat mbok gosok batuk mengeluarkan darah dank arena aku kesal dan marah aku tidak perduli dan meninggalkannya. Akhirnya mang asep mendengar teriakanku dan berjalan cepat menghampiriku dari luar rumah. Anehnya kenapa mang asep tidak naek becak hari ini. Lagi-lagi aku tidak perduli. Mang asep dating dengan wajah marah dan ekspresi wajah penuh kekesalan dan hendak memukulku.
“Kamu dasar anak keterlaluan gak tau diuntung. Mbok lagi sakit parah begitu, tetap saja tega. Manja banget kamu ini”.

Aku menangis masuk kekamar dan memutuskan untuk tidak mau sekolah. Mbok gosok pun marah pada mang asep yang sudah memperlakukan aku keterlaluan hingga berani memukulku. Akhirnya terjadi pertengkaran hebat antara mang asep dan mbok gosok yang aku tidak tahu intinya apa. Adu mulut mbok dengan mang asep berujung dengan kata-kata bahwa mbok mengusir mang asep dari rumah. Aku tetap tak mau memperdulikan mereka. Yang jelas, aku akan memberitahukan ibu kalau nanti ibu pulang. Mang asep pergi untuk beberapa hari meninggalkan mbok gosok sendirian. Namun karena tidak tega mang asep pulang dan meminta maaf pada mbok gosok karena telah memperlakukan aku seperti ini.
Sore harinya aku menghadiri penghargaan lomba puisi dan aku menjadi juara terbaik di tingkat Sulawesi Selatan. Dan keesokan harinya, aku melihat mbok sedang berbicara dengan wali kelasku atas prestasiku yang membanggakan dan Bu guru menghampiriku.
“Dion, tadi ibumu kesini, bu guru Cuma mau kasih tau kalau uang hadiahmu nanti akan diserahkan ke ibumu”
“Bu, dia itu bukan ibu saya, dia Cuma orang yang di bayar ibu untuk mengasuh saya, uangnya kasih saya aja bu, biar buat beli buku. Nanti kalau dikasih kedia, bakal dipake untuk keperluan pribadinya bu. Uang kiriman ibu untuk merawat aku aja di simpen untuk kepentingan dia pribadi bu”.
Bu guru malah memarahiku dan tidak sependapat. Akhirnya uang tetap diserahkan ke mbok gosok karena aku masih terlalu kecil untuk menerima jumlah uang yang lumayan besar. Setidaknya aku tambah ada alas an kalau mbok memperlakukan aku tidak baik, yaitu uangku yang di pegang mbok.
Pada suatu ketika aku sempat merasa iri dengan semua teman-temanku yang memiliki keluarga yang utuh, ibu, ayah, kakak dan semua saling membahagiakan. Tidak seperti diriku yang merasa hampa tanpa siapapun, tanpa keluarga dan yang jelas tanpa kehadiran ibu kandungku. Tingkah lakukun semakin menjadi-jadi kepada mbok gosok, karena mbok selalu saja menganggap aku ini anak kandungnya jadi memperlakukan aku seenaknya. Aku kembali menangis dan rindu ibuku.
Kejadian itu semakin terus berlangsung hingga aku berusia 10 tahun kini. Aku sudah duduk dikelas 5 SD. Mbok gosokpun semakin lupa untuk memberitahukan keberadaan ibuku kini. 5 Tahun sudah ibuku pergi tanpa kabar dan meninggalkan aku dan kakakku berdua saja di kampung kecil ini, akupun tidak tau dimana ibuku berada. Karena mungkin waktu yang sudah berlarut, akupun semakin tidak memperdulikan lagi keadaan ibuku, aku seperti hidup tanpa ayah dan ibu saat ini, aku sebatang kara dengan seorang kakak yang sekarang memutuskan diri untuk merantau keluar kota yang akupun tak tau entah dimana, aku benar-benar sebatang kara.
Aku hidup dengan si mbok yang sudah semakin tua dan rapuh, akhir-akhir ini si mbok sudah sering sakit-sakitan dan jarang sekali bekerja. Mungkin karena usianya yang sudah tua. Dan aku tidak perduli karena dia hanya tetanggaku yang dibayar ibu untuk mengasuhku. Mungkin sama seperti ibuku juga, aku tidak lagi mau tau tentang keberadaan ibuku lagi. Cukup, ini yang terakhir aku kangen dan rindu pada ibu.
----------

Hingga pada suatu sore saat aku sedang bermain dengan teman-temanku dilapangan kampungku hingga waktu maghrib tiba, adzan berkumandang sore itu seperti memberikan sebuah peringatan dibarengi dengan teriakan yang kini menjadi tetap khas ditelingaku “Dion, pulang. Ini sudah maghrib” Aku mendengar dengan seksama suara itu. Dengan sangat seksama. Aku seperti hafal dengan suara ini. Aku yakin bahwa ini bukan suara mbok gosok karena tidak mungkin mbok gosok yang sudah sakit-sakitan itu bisa memanggilku dengan nada yang sekeras itu. Aku semakin menyimak dan terus menyimak suara itu dengan baik, Aku merenung dan berhenti bermain dengan teman-temanku. Aku bermaksud untuk mengingat-ingat suara panggilan siapa ini? Sepertinya aku kenal dengan suara ini, tanpa menunggu lama aku langsung membalikkan badanku untuk memastikan suara ini datang dari siapa? Saat aku membalikan badanku, aku melihat seorang wanita yang sangat aku kenal dengan baik tepat berada 100 meter didepanku yang saat ini sedang memanggilku. Yah! Aku sangat kenal dengan suara ini. Ini suara ibuku yang sudah 5 tahun menghilang tak ada kabarnya. Aku berlari mendekat dan semakin medekat seakan memastikan kebenaran bahwa ini benar-benar ibuku. Ternyata kedekatanku semakin meyakinkanku bahwa ini benar-benar ibuku. Aku menangis haru dicampur bahagia dan segera dengan lekas memeluk ibuku. Masih dengan gaya khasnya, ibu masih memegang gagang sapu memanggilku pulang di sore itu ditemani kumandang adzan yang membawa kebahagiaan. Ibuku pulang, ibuku datang.

Aku pulang kerumah yang sudah lama aku tinggalkan karena aku harus tinggal dengan si mbok saat ibu pergi. Dan setibanya aku dirumah, aku melihat keadaan rumahku berbeda, semua barang sudah dipacking rapih, termasuk semua barang-barangku. Ini menandakan kalau aku akan pergi jauh.
“Bu, kita mau pergi kemana?” tanyaku.
“Dion, ibu hanya punya waktu 1 hari untuk izin dari majikan ibu di malaysia, besok kamu ikut ibu tinggal di malaysia untuk selamanya yah. Bos ibu mengizinkan ibu untuk mengajak seorang anak untuk tinggal bersama. Kamu siap-siap ya dion. Mbok gosok sudah mengurus semua tentang sekolahmu, kita berangkat besok yah!”
Ibu membawaku pergi dari kampung kumuh yang telah meninggalkan banyak cerita buatku, cerita tentang bagaimana indahnya kehilangan. Aku juga meninggalkan si mbok yang sudah tua rentah untuk ikut ibuku yang ternyata selama 5 tahun ini bekerja untuk masa depanku menjadi seorang pembantu di salah satu bos kelapa sawit di Malaysia, aku pun tidak menyangka bahwa ibuku pergi ternyata untuk mencari nafkah keluarga dan selama ini Ibu juga mengirimi si mbok uang untuk merawatku dengan baik. Aku harus pergi kenegara yang sudah sering aku dengar namanya di TV. MALAYSIA. Menjadi anak seorang TKW.
Sudah beberapa hari aku tinggal di Malaysia dengan hidup bahagia dan nyaman dan tentunya tidak seperti tinggal dengan mbok gosok yang cerewet. Hidupku dan ibu sekarang sudah lebih baik dari dulu, ibu mendapatkan majikan yang sangat baik pada ibu dan juga padaku. Hingga aku melupakan masa-masa 5 tahun aku tinggal bersama mbok gosok dan bahagia disini. Kakakku hingga kini tak ada kabarnya, dan ternyata ibu memasukkannya ke pondok pesantren di pulau jawa untuk 6 tahun.
Pada suatu malam ibu bertanya padaku tentang hidupku bersama mbok gosok. Akhirnya aku menceritakan semua perlakuan-perlakuan jahat mbok gosok kepaku. Dari yang menjengkelkan sampai hal yang membuat aku menangis. Aku juga melaporkan pada ibu kalau mbok gosok selama ini menyelundupkan uang kiriman ibu untukku. Karena aku memang sudah terlanjur jengkel tidakkaruan dengan mbok. Dan pada malam itu terjadi sebuah rahasia besar yang akhirnya harus ibu ungkapkan.
“Dion, Ibu gak percaya dengan kata-katamu. Gak ada ibu yang mau jahat kepada anak kandungnya. Kamu pasti sudah keterlaluan dengan mbok gosok”.

Aku sangat kaget dengan perkataan ibu yang menurutku itu tidak sengaja ibu ucapkan.
“Maksud ibu, ibu kandung apa bu? Bukannya ibu kandung aku itu ibu?”
“Sudah kamu tidur saja”. Ibu merasa serba salah dan memaksaku tidur.
Karena tidak mau membantah aku segera tidur. Keesokan paginya aku mendengar ibu menelpon seseorang yang aku yakin dari Indonesia dan dengan nada kecil aku mendengar bahwa ibu mengatakan kalau keadaan mbok sudah semakin parah. Namun aku tidak memperdulikannya, mungkin ibu prihatin saja pada mbok gosok karena dia sudah mengurusi aku selama ibu pergi. Karena sadar aku telah menguping ibu menutup telpon dan menyuruhku untuk segera berangkat sekolah.
Aku berangkat sekolah.
Sepulang dari sekolah disaat aku yakin keadaan tenang dan baik-baik saja. Aku iseng untuk bertanya tentang perkataan ibu semalam saat marah padaku.
“Bu, boleh gak dion Tanya ke Ibu, tapi ibu harus jujur ya sama dion. Kan dion udah kelas 2 SMP, usah gede untuk diajak cerita sama ibu”.
“Iya, ibu janji, kenapa?”
“Dion pengen Tanya tentang kalimat ibu semalem ke Dion”.
Setelah beberapa kalimat ibu mengelak dan mencari-cari alasan, namun Karena aku memaksa, akhirnya ibu mau menjawab. Dan akupun terdiam dan sangat serius mendengarkan sambil tertawa-tawa kecil karena aku yakin ibu akan menjelek-jelekkan mbok dan memujiku.
“Begini Dion, ibu minta maaf sebelumnya. Mungkin kamu terlalu kecil mendengar perkataan ibu. Tapi ibu juga bingung mau ngomong kapan sebelum terlambat. Sebenernya mbok gosok itu ibu kandung kamu. Dan ibu hanya tetangga biasa kamu. Mungkin kamu sulit mengerti dion. Ibu hanya punya satu anak, semua tetangga di kampong juga tau itu yaitu kakakmu yang sekarang di pesantren. Pada waktu itu mbok gosok hujan-hujan kerumah ibu. Tepat jam 1 malam. Mbok gosok hamil 9 bulan mengandung kamu. Mbok minta diantar kerumah sakit karena beliau dulu tinggal tanpa mang asep dan suaminya. Akhirnya ibu mengantarnya untuk melahirkan kamu ke rumah sakit. Kabar yang sangat mengejutkan yang pada akhirnya mbok gosok tau adalah karena dia melahirkan di usia yang sangat tua sehingga sudah tidak mampu lagi melahirkan ditambah lagi karena dia tetap bekerja keras meski hamil kamu. Suaminya juga menghilang entah tau kemana, mang asep juga bekas teman dekat suaminya dulu yang prihatin dan akhirnya tinggal dengan mbok gosok Akhirnya beliau terkena penyakit kanker di rahim. Dokter memprediksikan bahwa mbok akan hidup hanya 1 atau 2 tahun saja karena kanker ini sangat ganas. Karena semangat hidupnya yang luar biasa dalam hidup membuat prediksi dokter semakin salah hingga umurnya semakin tua. Sampai-sampai beliau berharap mati karena tua, bukan karena sakit karena melahirkan kamu. Karena mbok tidak ingin membuat kamu merasa bersalah dewasa nanti atas kematian mbok. Sampai detik ini mbok sehat-sehat saja. Mungkin kalau kambuh dia akan batuk darah yang kalau terus dibiarkan terus menerus akan membuat dia semakin parah penyakitnya. Akhirnya mbok membuat kesepakatan agar kamu diasuh dengan ibu dengan alasan, mbok gak mau kamu punya ibu hanya untuk hitungan 1 atau 2 tahun saja. Menurut mbok, bersama ibu masa depanmu akan sedikit lebih cerah. Padahal mbok gosok ingin sekali bersama kamu meskipun kamu tinggal dengan ibu, mbok tetap tau tentang kamu. Bahkan mbok yang mengurusi kamu dalam hal financial. Akhirnya ibu pergi kemalaysia dan dipastikan tidak akan pulang ke Indonesia. Tau tentang kabar ini, akhirnya mbok memutuskan agar kamu kembali hidup bersama mbok, ibu kandung kamu. Dengan alasan agar mbok akan mati di usia tuanya bukan karena penyakitnya di dekat kamu anak kandungnya. Jadi dengan terpaksa ibu meninggalkan kamu diam-diam dan tinggal bersama mbok dengan status sebagai pengasuh. Menurut mbok, yang penting bisa tinggal sama kamu dengan status pengasuh dari pada tidak sama sekali. Bertahun-tahun si mbok tinggal sama kamu dalam rasa sakitnya yang semakin parah. Sampai pada akhirnya mbok menelpon ibu untuk menjemputmu. Mbok bilang, kalau mbok ingin lihat kamu bahagia meski gak bersama ibu kandungnya. Karena kamu lebih bahagia bersama ibu. Mbok sudah putus asa dan bingung mau berbuat apa lagi. Akhirnya ibu menjemput kamu dan tinggal bersama ibu”.
Aku menangis secara pelan-pelan dan semakin terisak.
“Ibu jahat”
“Ibu minta maaf, sekali mbok gak salah, karena menurut mbok itu yang terbaik. Mbok hanya ingin melihat kamu bahagia dengan atau tanpa status mbok sebagai ibu kandung kamu, mbok gak salah nak”.
Aku masih menangis dan merenung, tiba-tiba ibu menerima telepon dari Indonesia. Dan ibu menangis di telpon lalu menjatuhkan telepon dan tetap menangis. Semakin heran aku mendekati ibu dan menanyakan keadaan ibu.
“Si mbok meninggal Dion”.
Aku terkejut dengan kalimat yang ibu ucapkan dan aku pun ikut menangis termenung bersama ibu. Aku kembali ke Indonesia satu minggu setelah si mbok atau lebih tepatnya ibu kandungku meninggal dunia. Aku pergi ke Indonesia menuju ke pemakaman dimana tempat ibu kandungku di makamkan. Aku terduduk lemah tak berdaya dihadapan wanita yang sudah berjuang melahirkan aku kedunia ini. Mungkin sudah terlambat untuk mengatakan semua nya, untuk meminta maaf atas segala kesalahan yang aku perbuat. Aku menzolimi ibu kandungku sendiri. Mungkin aku bisa saja marah dengan keadaan atau mengecam Tuhan yang menakdirkan jalan hidupku seperti ini. Tapi itu tidak mungkin dan akan membuat ibu akan semakin marah padaku. Tiba-tiba air mataku menetes jatuh ketanah kuburan ibu.
“Ibu, Dion minta maaf. Dion Cuma mau bilang ibu gak salah dan Dion yang salah. Dion mau ibu ada lagi disini. Dion ingin tinggal bersama ibu dengan status bukan sebagai pengasuh, tapi sebagai ibu kandung Dion… Ibu…”. Aku menangis.

Ini memang kesalahan terbesarku diusiaku 14 tahun. Aku salah mengartikan kata ibu dalam hidupku. Ibu adalah orang yang merawat kita dengan sepenuh hati dan cinta, semua wanita yang dengan tulus dan ikhlas memberikan cinta adalah sesosok ibu yang nyata. Ibu tidak pernah ingin menyia-nyiakan anak kandungnya. Itu karena kita yang tidak tau makna kebaikan didalamnya. Yah, karena ketidaktahuan kita. Maafku mungkin tidak akan sampai ke telingamu, tapi aku yakin engkau akan merasakannya disurga dan tersenyum padaku. Ibu, maafkan aku. Ibu.

Aku marah pada dunia saat aku merasa Tuhan sudah membuat cerita yang salah. Tuhan memutar semuanya hingga semua menjadi salah. Kekejaman dunia ternyata bisa membuat seorang anak dan ibunya terpisahkan seakan tak terpikirkan. Lagi-lagi alasannya karena dunia yang begitu kejam, sehingga kasih sayangpun dilupakan. Aku murka kenapa semua kembali normal begitu saja ketika harapan ingin aku buktikan. Dan pada akhirnya harapan itupun harus aku buat lagi dari sebelum aku bermimpi. Aku benar-benar dipermainkan dengan istilah kasih sayang. Dan Tuhan menjawab semuanya seolah memberikan ini menjadikan tantangan yang harus aku jawab hingga hidup tak lagi berulah pada alur ceritaku. Tuhan akan menjawabnya, karena Tuhan punya maksud dalam setiap kekejamannya. Karena Tuhan tak pernah KEJAM!

Kasih sayang bisa didapatkan dimana saja dan kapan saja. Tidak mendapatkannya? Karena tidak mau berfikir bagaimana mendapatkannya. Apakah anda berfikir?
 Anton Hidayah




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar mu sangat berarti :