Indah

Memulai cerita hari ini dengan sebuah kata terindah. "Perjuangan"

Senin, 21 Mei 2012

Menjadi Mahasiswa


#Cerpen#

Sama seperti murid lainnya aku menyibukkan diriku untuk menyiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan ujian nasional. Entah kenapa aku sangat membenci menteri pendidikan Republik Indonesia yang menetapkan adanya ujian nasional yang mensyaratkan kelulusan bagi salah siswa sekolah dengan standar nilai tertentu. Bayangkan saja kalau murid berprestasi yang tidak lulus hanya karena human error dan keadaan saat mengikuti ujian yang tidak baik dan akhirnya dia tidak lulus? Mau dikemanakan bakatnya yang terpendam selama ini? Ya sudahlah, nampaknya percuma saja aku berbicara secara terus menerus, toh juga pemerintah tak akan mendengar bisikanku pada negeri ini. 

Sudah tidak terasa dua tahun sudah aku duduk di bangku SMA, padahal rasanya baru kemarin aku duduk di bangku ini. Mengikuti seleksi masuk SMA Negeri dan mejalani masa orientasi siswa dan kenangannya pun aku masih simpan saat aku disuruh menyatakan cinta pada salah satu kakak kelas sampai diterima. Dan nampaknya aku tidak terlalu beruntung untuk tidak diterima. Kelas XII.IPA1, kelasku merupakan kelas unggulan di sekolah yang masuk dalam salah satu daftar sekolah unggulan di palembang. Semua guru dan kawan-kawan berekspektasi lebih kepada aku dan teman-teman XII.IPA1 bahwa kami akan lulus 100%. Berbeda dengan kelas lain yang masih dikhawatirkan oleh seluruh dewan guru akan kelulusannya. Karena ekspektasi itulah akibatnya kelas kami jarang diperhatikan terutama guru yang selalu menganggap kami bisa dalam segala hal. Jadi ketika mengajarpun, guru-guru selalu menganggap kami sudah bisa dan tidak perlu dijelaskan. Hal tersebut membuat aku dan teman-temanku takut. Meskipun ujian nasional berlangsung masih dalam hitungan beberapa bulan. Namun ketua kelasku selalu menuliskan angka berukuran kecil pada pojok kanan atas papan tulis didepan kelas untuk sisa-sisa hari kami menghadapi ujian nasional. Aku tidak mengerti hal tersebut bermaksud menakut-nakuti atau sebaliknya malah menyemangati kami? Yang jelas aku  pribadi merasa ketakutan ketika melihat angka (hari) di papan tulis tersebut semakin berkurang.
Suasana sekolahpun berbeda untuk siswa kelas XII. Kami memiliki pelajaran tambahan dari sepulang sekolah tepat pukul 2 siang hingga pukul setengah lima sore untuk mempelajari kembali mata pelajaran yang akan menjadi materi ujian nasional. Bisa dibilang kami kembali nostalgia pada pelajaran-pelajaran kelas 1 SMA yang sebenarnya sudah kami kubur dalam-dalam. Kalau boleh aku berpendapat pada pelaksanaan jam belajar tambahan ini malah sangat tidak efektif. Aku sudah sangat lelah mengikuti pelajaran tambahan yang menjenuhkan ini. Alhasil kami malah disuruh membayar uang tambahan karena ada jam tambahan ini.
Karena ketakutan yang sangat mendalam pada siswa-siswi kelas XII akan ketidak lulusan kami di ujian nasional. Aku dan teman-teman berniat untuk mengambil bimbingan belajar di luar sekolah. Bayangkan betapa sibuknya kami saat itu. Sudah belajar hingga jam 2 siang ditambah jam tambahan hingga jam setengah 5 sore lalu kami harus bimbingan belajar diluar sekolah hingga aku bisa tiba dirumah pukul setengah sembilan malam setiap harinya. Aku tersenyum dengan korban dari kebijakan pemerintah yang menurutku salah. Kami hanya ditemani ketakutan saat itu. Bayangkan saja kalau aku sudah belajar masuk kelas unggulan dan tidak lulus hanya karena masalah yang tidak bisa dihindarkan atau nilaiku pada satu mata pelajaran saja kurang? Sebenarnyapun aku merasa yakin untuk lulus tapi entah mengapa aku masih merasa ada bayang-bayang yang menghantui begitu dahsyatnya. Lagi-lagi pilihanku untuk mengamil bimbingan belajar sangat tidak tepat. Kelelahan menjadi faktor utama aku menolaknya. Alhasil aku malah bolos dan menjadikan waktu bimbel tambahanku untuk bermain bersama teman-teman karena aku jenuh dengan keadaan ini. Kenapa semua hanya ditumpukkan pada satu tahun. Disaat kami seharusnya berfikir bagaimana caranya untuk lolos ke perguruan tinggi negeri. Bukan malah memikirkan untuk lulus sekolah lagi.
Semua hal telah aku lakukan hanya untuk meraih kelulusan hingga semester pertama pun berakhir dan memasuki semester kedua. Tulisan yang ada di papan tulispun berubah semakin mendekat. Bulan Januari, berarti 90 hari tertulis jelas dipapan tulis kami menuju ujian nasional. Tepat pada tanggal 24 April 2008. Hari pertama sekolahpun dimulai pada semester kedua di kelas akhir.  Seperti pada tahun-tahun sebelumnya, sekolah kami selalu didatangi oleh kakak-kakak kelas kami yang sudah kuliah di beberapa perguruan tinggi ternama di Indonesia seperti Universitas Nasional Jakarta, Institut Teknologi Ganesha Bandung dan Universitas Hayam Wuruk Yogyakarta. Ketiga universitas itulah yang menjadi dambaan seluruh siswa SMA se Indonesia, dan aku memiliki keinginan kuat untuk masuk dan berkuliah di Universitas Hayam Wuruk yang terkenal dengan kualitasnya yang mendunia. Hampir setiap minggu promosi universitas datang ke setiap kelas secara bergantian baik dari universitas swasta ataupun negeri. Sehingga aku selalu mengoleksi brosur dikamarku. Kumpulan brosur untuk kuliah di perguruan tinggi negeri. Namun tidak tau mengapa hati ini tetap saja tertuju pada satu nama. Universitas Hayam Wuruk Yogyakarta. Ada banyak alasan mengapa aku harus kuliah disana. Karena kota Yogyakarta adalah kota pelajar, budaya, dan murah jadi mungkin kedua orangtuaku tidak akan menghabiskan uang banyak untuk menyekolahkanku di Universitas tersebut dibandingkan di Provinsi lain. Selain itu juga universitas ini juga telah memiliki nama di dunia internasional. Hingga aku punya mimpi disiang bolong untuk dapat kuliah keluar negeri. Kalau teman-teman mempersiapkan diri untuk ujian nasional, aku tidak hanya itu. Aku harus mempersiapkan diriku mengikuti ujian seleksi masuk Universitas Hayam Wuruk (USM-UHW). 

Malam itu aku nampak sangat lelah sekali namun  entah mengapa bunda ingin mengajakku bicara, aku sempat menolaknya namun bunda tetap saja memaksa. Lalu aku terduduk di depan televisi mendengarkan pembicaraan bunda. Menurutku penting, ternyata bunda hanya menanyakan tentang persiapanku menghadapi Ujian Nasional
“Gilang, gimana persiapan ujianmu. Kira-kira akan lulus tidak? Bunda lihat di televisi banyak siaran ujian nasional tahun lalu siswa yang bunuh diri karena ujian nasional. Kamu harus benar-benar mempersiapkan nya ya”.
Tanpa mngurangi rasa hormat aku pamit pada bunda karena memang seperti hari-hari biasanya aku sangat lelah sekali karena harus menghadapi buku dan buku. Setelah minum susu aku lekas tidur. Tiba-tiba Fendy, sahabatku bisa dibilang satu-satunya sahabatku, datang kerumah.
“Fen, kan gw udah bilang besok aja lo kesini nya. Gw ngantuk banget nih. Sumpah dah!”.
“Kalo gw nyampein berita ini gw jamin lo gak akan bakalan ngantuk dah Lang!”. Sambil terpejam mengantuk aku mengiyakan
 “Apaan?”.
“Liat brosur apaan yang gw bawa?. Universitas Hayam Wuruk. Kemaren mereka promosi disekolah gw. Mungkin besok di sekolah lo. Yang jelas, yang harus perlu lo tau. Seleksi masuk kesana itu seminggu sebelum ujian nasional. Itu masalahnya. Lo siap gak”.
Aku kaget dan adrenalinku tiba-tiba saja mengencang dan aku segar bugar kembali
“Seminggu sebelum Ujian Nasional. Kan sebentar lagi? Biasanya bulan juni yah kalo seleksi masuk itu. Waduh mana gw belum ada persiapan apa-apa lagi. Ngomong ke nyokap aja belom klo gw mau kuliah. Belajar aja udah BT gw. Pendaftarannya kapan?”.
“Sudah dibuka, tutup minggu depan”.
 “Hah”.
Malam itu seakan atmosfer kesusksean telah datang pada hidupku. Efendy sahabatku dari kecil di kampung ini bahkan temanku satu-satunya memang sangat bersahabat sekali. Dy sangat mengerti sekali keinginanku untuk kuliah di Hayam Wuruk.Aku dan Efendy memang berbeda sekolah. Sejak SD aku lebih beruntung dari Fendy. Aku selalu lulus pada sekolah favorite dan masuk kelas favorite. Sementara Fendy masuk sekolah negeri yang bisaa-bisaa saja. Tapi jelas itu bukan menjadi halangan kami untuk bersahabat. Aku dan Efendy tetap sejati hingga kini. 

Masalah kini timbul lagi. Disaat aku seharusnya mulai fokus pada ujian nasionalku. Namun aku kembali di buat pusing dengan persiapan kuliahku. Bagaimana aku membicarakan ini kepada kedua orangtuaku. Menurutku pasti mereka tidak akan setuju. Begini memang nasib menjadi anak tunggal. Selalu saja sangat untuk dilepas dari orang tua. Semua secara detail selalu diperhatikan bahkan sempat aku merasa terlalu berlebihan kasih sayang mereka terhadapku. Sudahlah, aku memutuskan untuk tidur saja. Karena aku benar-benar sudah lelah dan malas memikirkan ini. Aku masuk kamar dan segera tidur.
Hari ini tepatnya pagi ini aku mendengar kabar bahwa senior kami yang telah kuliah di Universitas Hayam Wuruk akan mempromosikan UHW ke sekolah kami. Dan aku adalah orang yang bangga pertama kali dan penyambut pagar betis urutan pertama didepan gerbang sekolah untuk menyambut mereka. Akhirnya mahasiswa gagah perkasa mengenakan jas almamater UHW masuk kekelasku dan dengan bangga kami langsung menepuki mereka dan penasaran sekali dengan informasi yang mereka sampaikan. Promosi selesai dan aku adalah siswa yang paling aktif bertanya dibandingkan dengan teman-teman yang lain. Karena teman-temankupun sangat tau ambisiku untuk menjadi mahasiswa UHW. Sampai-sampai seniorku memberikan nomor HP dan siap untuk membantuku disana nanti hingga aku resmi menjadi mahasiswa UHW. Waktu sangat jahat sekali hingga harus mengakhiri perjumpaanku dengan peri-peri dari kerajaan ini. Ingin sekali aku meminjam jas alamamter mereka untuk sedetik saja. Namun menurutku itu sangat berlebihan. 

Besok harinya aku melakukan rutinitas seperti biasanya belajar hingga larut malam dan pastinya selalu melihat angka di papan tulis yang semakin menantang mendekatkan ke hari ujian nasional. 50 hari lagi. Aku dan teman-teman mengadakan acara syukuran dan pembacaan yasin disekolah hanya untuk berdoa agar kami lulus semua. Memang dahsyat pengaruh program departemen pendidikan saat ini. Bisa mengubah kamuflase hidup dunia pendidikan. Bukan hanya itu, bahkan banyak hal-hal lain yang menurutku sangat aneh dilakukan saat kamu duduk di kelas XII. Hanya karena satu hal. Ujian Nasional. Contoh kecil saja. Biasanya kami tidak pernah melakukan sholah dhuha. Tapi setiap istirahat pertama aku melihat masjid penuh dengan siswa khusus kelas XII. Aneh. Setidaknya ada hikmah positif dari kebijakan ini. Dan masih banyak lagi hal-hal lain yang berbeda hanya karena ujian nasional.

Dijalan menuju rumah aku berfikir terus menerus tentang pendaftaran Universitas Hayam Wuruk. Bagaimana aku mengatakannya kepada ibu? Dan kalimat apa yang pantas aku lontarkan sebagi pembuka dan apa yang harus aku persiapkan. Aku kebingungan dan tak disangka kaki ini telah melangkah tepat di gerbang rumahku. Kenapa langkahku semakin berat untuk masuk kerumah. Aku mengurungkan niat untuk masuk rumah padahal waktu menunjukkan pukul 9 malam. Aku duduk di depan pagar memikirkan tentang keberanianku berbicara pada ibu. Hingga Bunda memanggilku dari dalam rumah.
“Gilang masuk saja, ngapain kamu duduk di depan gerbang begitu. Seperti anak hilang saja. Kenapa kamu duduk disana?”.
Aku segera melangkah masuk dengan meberatkan otot-otot pada kakiku berharap waktu akan memberikan aku kesempatan berfikir. Ternyata ide itu juga tak kunjung datang sampai aku terduduk diam kaku diruang tamu.
“Kenapa kamu duduk seperti anak hilang saja diluar? Kenapa? Kamu bingung mau ngomong sama ibu atas perbincangan kamu dan Fendy kemarin malam?”
Aku terbagun dan mengapa tiba-tiba tubuhku terduduk tegap dan kaget melihat ibu tau apa yang ingin aku bicarakan. Setidaknya aku tak perlu menghabiskan banyak waktu untuk berfikir memulai kalimat pertama karena Bunda telah memulainya.
“Iya bu, dari SMP, Gilang punya niat untuk kuliah di jurusan Psikologi di Universitas Hayam Wuruk Yogyakarta. Gilang punya cita-cita menjadi seorang psikolog lulus universitas ternama di Indonesia bunda. Maafin gilang bunda. Gilang gak berani ngomong langsung sama Bunda. Habisnya Bunda seperti tidak tertarik kalau ada pembahasan pembicaraan mengenai kuliah. Tapi Bunda, kekuatan hati Gilang untuk kuliah disana sangat besar bunda. Gilang mau mimpi Gilang terwujud dan Gilang sudah melakukan banyak hal untuk itu. Untuk dapat menjadi mahasiswa disana. Tujuan Gilang ikut Bimbingan Belajar sebenarnya bukan sematamata karena ujian nasional. Tapi karena bimbingan belajar gilang adalah bimbingan belajar yang menyediakan program khusus seleksi di Universitas Hayam Wuruk Bunda. Gilang sering sekali berhayal menjadi mahasiswa di Universitas Hayam Wuruk, menjadi anak kos. Trus memakai jas almamater dan bangga menyebutkan kalau gilang mahasiswa Universitas Hayam Wuruk”.
Pembicaraan menjadi tegang dengan sendirinya dan ayah tetap saja menonton TV seakan tidak perduli.
“Bunda sangat paham keinginan besar darimu. Dan bunda juga sudah mendiskusikan ini masak-masak dengan ayah. Sangat masak. Bahkan keluarga kami berduapun kami libatkan karena ayah dan bunda pikir ini masalah penting, Ini masalah masa depan anak satu-satunya Bunda. Bunda sangat menghargai mimpimu Gilang, semua orang juga punya hak untuk bermimpi. Ada beberapa alasan yang membuat kami tidak mengijinkanmu untuk kuliah disana. Hal yang paling mendasar adalah karena kamu adalah anak kami satu-satunya. Bayangkan betapa kami akan merasa sangat kesepian jika tidak ada kamu disini. Dan bagaimana dengan kamu yang tidak terbisaa jauh dari orang tua, bahkan untuk hal-hal kecil saja kamu selalu minta perhatikan bunda. Hal selanjutnya adalah Ayah sekarang kan hanya  pensiunan bisaa saja dan sekarang untuk makan pun kita sangat kesusahan. Sebenarnya kami tidak ingin membawa-bawa kamu kedalam masalah ini. Tapi kamu sudah dewasa dan harus berpikir tentang masalah yang kami anggap penting ini. Dan bagaimana nanti kalau kamu putus kuliah ditengah jalan malah akan sangat menyayangkan bukan? Untuk hal ini Bunda akan mengusahakan sekuat tenaga”.
Aku hanya terdiam lemas mendengar penjelasan bunda dan menuju kamar lalu merenung sebelum tidur. Apa yang seharusya aku lakukan? Aku sudah terlanjur mendaftar online bersama Efendy dan dua minggu lagi test akan dilaksanakan di SMA Santa Benadius Palembang. Aku sudah mempersiapkan segalanya dengan matang.
Akhirnya aku menganggap test ini hanya iseng-iseng saja, aku menjadikan seleksi ini sebagai latihan sebelum aku menghadapi ujian nasional, walaubagaimanapun caranya jika aku lolos seleksi maka aku akan berangkat kuliah dengan atau tanpa restu ayah dan bunda. Pelaksanaan ujian seleksi Universitas Hayam Wurukpun dilaksanakan dan hampir seribu siswa yang mengikuti seleksi ini dan aku dan Efendy mungkin hanya sebagian kecil saja orang yang mendaftar.
“Lang, gile orang yang daftar bejibun banget nih. Kita kagak usah mimpi untuk lulus dah ya!”.
 “Kalo kita gak punya mimpi untuk lulus. Kenapa kita daftar Fen”.
Bel berbunyi dan semua peserta memasuki ruangan ujian. Aku dan Fendy berbeda ruangan karena Fendy siswa jurusan IPS, sementara aku jurusan IPA. Aku mencoba membuka lembar soal satu persatu. Dan aku seperti tidak melihat tulisan pada lembar soalku. Yang aku lihat hanya gambar gedung universitas hayam wuruk dan imajinasiku liar kembali untuk menjadi mahasiswa Universitas Hayam Wuruk Yogyakarta. Gambar imajinasi itulah yang membuat aku semangat mengerjakan lembar-lembar soal tersebut. Hingga semua rutinitas rangkaian seleksi sudah aku jalankan, Aku dan efendy serta peserta lainnya tinggal menunggu pengumuman seleksi bulan juni. Tapat seminggu sebelum pengumuman ujian nasional.
Mimpi memang indah dan semakin liar jika dibiarkan. Maka aku mencoba untuk menghentikan mimpiku sejenak menjadi mahasiswa Universoitas Hayam Wuruk. Angka dipapan tulispun berubah dengan elok dan terlihat seksi. Angka 3. Berarti menandakan kalau tiga hari lagi ujian nansional akan berlangsung. Entah megapa aku merasakan hegemoni yang berbeda saat mengikuti seleksi ujian nasional dan tes masuk perguruan tinggi. Tekanannya lebih ganas saat ujian nasional berlangsung. Lembar-lembar soal berubah menjadi bara api terutama untuk ujian fisika. Hari pertama keributan terjadi disekolah kami karena diisukan ada siswa yang keliru membulatkan lembar jawaban dan dipastikan tidak lulus. Akhinya isupun berlalu seiring dengan berlalunya ujian nasional. Angka dipapan tulispun berubah menjadi angka menuju penguman ujian nasional.  
Suasana menjadi renggang disekolah karena beban hilang begitu saja. Namun kami harus kembali menyiksa otak kami dengan rangkaian ujian praktek dan ujian sekolah yang akan diadakan sesaat lagi. Entah kenaapa aku tidak bisa menjelaskan sangat membenci pelajaran praktek olahraga, itu dia jawaban atas fisikku yang tidak proporsional. Gilang gembul. Julukan yang sudah tidak asing aku kenal. Semua kegiatan berlangsung seperti apa adanya. Begitupun dirumahku. Aku sama sekali tidak berani mengucapkan kata kuliah didepan bunda, karena aku tidak mau bunda merasa tertekan karena memikirkan kuliahku. Jadi aku berusaha membantu kedua orangtuaku menjaga warung kelontong saja di depan rumah. Selain pensiunan ayah. Inilah yang menjadi nafkah keluarga kami. Toko kelontong kecil didepan rumah.
Pengumuman dimulai.

Efendy datang kerumah kali ini bukan untuk mengajakku bermain. Namun secara diam-diam dia mengajakku ke warnet melihat pengumuman kelulusan penerimaan mahasiswa UHW. Dan kami berangkat dengan membuat suasana candaan agar tidak terlihat menegangkan. Dan komputer sudah didepan mata kami. Menunggu loading internet membuat kami melawan tingkat kesabaran kami yang paling tinggi. Dan jelas nama Efendy Gozali tidak dinyatakan lulus pada jurusan pilihannya, yaitu manajemen dan akuntansi. Lalu aku mengetik satu persatu angka nomor pendaftaranku sebagai syarat log in. Satu demi satu angka aku ketik seakan menjadi slow motion. Dan lama sekali jari-jari ini mengetikkan pada angka-angka pada keyboard komputer ini. Lengkap sudah angka nomor pendaftaran dan password yang aku tulis. Dan tombol enter aku tekan seakan membawa aku pada dimensi waktu yang berbeda membuat duniaku berputar sesaat terus berputar menuju perjalanan kehidupan dimensi waktu dan terus berputar hingga tulisan SELAMAT! Aku baca pertama kali. Kelanjutan kata itu mungkin sudah bisa ditebak kalau aku lulus seleksi pada jurusan Kedokteran Hewan. Meskipun bukan pada jurusan utamaku Psikologi. Setidaknya dokter hewan adalah pekerjaan yang menjanjikan. Profesi lebih tepatnya. Entah apa rasa saat itu yang dapat aku rangkaikan pada monitor layar komputer didepanku. Yang jelas aku sangat bangga sekali dan Efendy ikut menari-nari kecil riang karena meskipun dia tidak lolos. Namun Efendy merasa bangga atas keberhasilanku. Lagi-lagi nasib dari SD hingga ke bangku kuliah tidak bisa berubah. Aku memang sedikit lebih beruntung dari Efendy. Dan Efendy mempersiapkan dirinya untuk menunggu pengumuman di universitas negeri lain. Kebanggaan ku tidak menjadi lengkap rasanya kalau toh juga aku tetap tidak akan berangkat kuliah, dan aku teringat pesan ibu. Aku terduduk dan ekspresiku berubah secara tiba-tiba dan Efendypun keheraan.

”Kenapa lang? Lo bukannya seneng malah kok jadi kayak ayam sayur gitu. Ayok bangga kawan. Lo gak mau mengekspresikan kebahagiaan lo karena gw gak lolos? Santai kali bro. Gw masih punya kesempatan di Universitas lain. Lagi pula gw gak terlalu kepengen amat kuliah disana. Sebenernya juga gw daftar tu cuma buat seru-seruan aja nemenin lo. Lo kan obsesi banget tu disana. Gw harus kuliah di Balikpapan. Orang tua gw harus nyuruh gw kuliah disana. Gw nurut-nurut aja. Minggu depan pengumumannya. Lo doain gw yah keterima disana. Jadi gak Cuma gw yang bangga. Tapi gw juga sekaligus bisa buat bangga kedua orang tua gw. Karena gw sudah memenuhi keinginan mereka, hidup untuk apa kalo gak memenuhi keinginan orang yang sudah melahirkan dan membesarkana kita. Ayolah kita makan2. Lo traktir gw ya!”.
Aku makin pucat lemas pasi
“ah lo! Buat gw tambah sedih aja. Justru itu yang buat gw jadi done. Kedua orang tua gw. Mereka gak setuju gw kuliah. Jadi ntar waktu nganter gw pulang. Lo jangan pernah berekspresi sedikitpun yah. Bisaa aja, anggep aja kita lagi maen dari mana gitu. Ok”.
Efendy marah-marah
“gak bisa seperti itulah. Gimana ceritanya lo gak mau ngasih tau kedua orang tua lo. Itu universitas Unggulan di Indonesia dan harusnya lo bangga dan tunjukin kebanggaan itu ke keluarga lo juga biar mereka juga bangga. Gak mungkin mereka gak bangga”.
Aku terus berdebat dengan Fendy masalah itu. Persetujuan orang tua, sebenarnya Fendy tinggal diam sajapun cukup kepada kedua orang tuaku. Tapi entah mungkin karena rasa persahabatannya itulah yang membuat dia merasa bertanggung jawab atas  kebahagiaanku. Saat di motor menuju pulang pun kita masih berdebat tentang hal itu dan akhirnya Fendy terdiam juga saat berada dihadapan bunda. Aku memutuskan untuk mandi dan langsung mentraktir fendy makan diluar. Kuharap Fendy tetap tenang terduduk diruang tamu rumahku. Semoga saja bibirnya tidak khilaf tentang penerimaanku di Universitas Hayam Wuruk. Mandi Selesai dan aku bergegas pergi untuk mentraktir Fendy makan.
Malam hari yang sangat larut pukul 12 malam aku tiba dirumah. Dan ibu sudah menungguku didepan pintu.
“Gilang. Bunda mau bicara serius!”.
Aku sontak kaget. Mungkin aku akan dimarahi bunda karena pulang terlalu larut. Tidak biasanya juga bunda menungguku hingga larut malam.
“Bunda tadi membereskan kamarmu. Tidak sengaja bunda lihat ada buku rekening tertulis atas namamu. Dengan nominal yang membiayai kamu kuliah bunda rasa cukup. Jelaskan Bunda dari mana kamu dapat uang itu dan kenapa kamu merahasiakannya dari Bunda”.
“Maaf bunda, kalau gilang sudah tidak jujur dengan bunda. Uang itu gilang tabung dari uang jajan gilang dari SMP. Karena memang gilang sudah punya niat dan tekad yang kuat dari SMP kalau gilang akan kuliah di Universitas Hayam Wuruk. Akhirnya perjuanagan Gilang gak sia-sia. Awalnya gilang berpikir tanpa atau dengan restu bunda, gilang akan kuliah. Karena gilang sudah memiliki uang sendiri untuk mendanai gilang kuliah”
“Kenapa kamu tidak menceritakan ini dari dulu? Kalau kamu memang punya tekad yang sangat kuat, silahkan kamu kuliah saja. Ayah dan Bunda tidak melarang. Untuk masalah dana nanti kami usahakan. Yang mengkhawatirkan bagi kami adalah melepasmu sendirian. Kalau tekadmu seperti itu Bunda yakin akan rela melepasmu, ayah juga. Jadi apa lagi yang membuat kamu ragu sekarang untuk menjadi mahasiswa Universitas Hayam Wuruk. Tinggal tunggu minggu depan untuk kelulusan Ujian Nasionalmu. Kalau pengumuman Tes seleksi sudah ada, beritahu bunda. Nanti kita rayakan ssama-sama”.
“Baik bunda”.
Aku hanya terdiam. Dan aku tidak berani bilang pada bunda Kalau aku sudah lulus tes di jurusan kedoteran hewan. Tapi aku tidak berniat memberitahukannya malam itu pada bunda. Mungkin lebih tepat bunda tau dulu hasil ujian nasionalku.
Hari pengumuman ujian nasionalpun diumumkan dan aku beserta 239 peserta ujian lainnya penasaran dengan isu yang menyebar, menyatakan kalau ada banyak orang yang tidak lulus. Dan hasil terjawab sudah. Aku lulus dengan nilai cukup. Dan kurasa semua teman satu kelasku yang hadir juga lulus semua dikelas ini. Terlihat dari aura kebahagiaan yang menyeruak di ruang kelas kami. Hingga tak ada satupun yang tersedu dan menunjukkan tanda-tanda ketidak lulusan. Tapi ada satu kejanggalan dariku dan teman-teman adalah ketidak hadiran satu orang teman kami. Alessius Gonanza. Murid juara umum 2 tahun berturut-turut dikelas kami serta peserta olimpiade matematika tingkat nasional tidak ada diruangan kelas kami. Kemana perginya dia?

Desas desus kabar meyatakan bahwa Nanza tidak lulus ujian nasional karena jatuh dinilai bahasa inggriss. 4,00 dengan nilai standar 4,25. Dan dia memiliki nilai matematika 9,86. Nyaris sempurna. Ini dia yang menjadikan aku sangat membenci Ujian Nasional. Karena aku telah mengalaminya sendiri, bukan hanya melihat ditelevisi lagi. Aku menyaksikan temanku sang juara harus kandas hanya karena sebuah sistem yang rusak parah. Mungkin nasib saja tidak berpihak padanya. 

Aku kembali kerumah dengan perasaan bangga dan segera memberitahukan ibu tentang hasil ujian nasionalku lengkap beserta kelulusan tes masuk UHW ku. Aku bangga sekali hari itu. Berasa seperti terbang diangkasa. Aku tidak mau ikut bergabung dengan teman-teman melakukan sebuah rutinitas budaya pelajar SMA, yaitu melakukan corat coret seragam sekolah. Aku sangat mendukung ritual itu karena itu pantas dijadikan ungkapan kebahagiaan atas kerja keras yang kami lakukan selama ini, bahkan sangat pantas. Tapi menurutku tetap saja. Lekas memberitahukan kedua kabar gembira  ini kepada ayah dan bunda membuat segalanya tidak penting dan aku pulang dengan melayang-layang menuju rumahku karena aku sangat bangga. Yeah aku akan kuliah menjadi mahasiswa Universitas Hayam Wuruk dan tinggal di Yogyakarta.
Aku mengetuk pintu dan mulai masuk kerumah, meletakkan tas di kamarku. Tanpa sempat membuka baju dan makan aku ingin segera memberitahukan hasil ujian ini pada ibu. Dan nampaknya ayah dan bunda tidak ada dirumah. Ternyata dugaanku salah. Ayahku ternyata berada dikamar dan aku melihatnya dibalik hordeng pintu kamar Bunda. Namun kenapa ada yang berbeda dengan ayahku? Kenapa ayah memegang dadanya seperti orang menahan rasa sakit. Dan aku terus memperhatikan. Aku mencoba mendekat meyakinkan. Aku terheran dan berteriak
“Ayaaaaaaaah”. 

Ayahku terjatuh kesakitan sambil memegang dadanya. Dan aku berteriak meminta tolong ketakutan. Aku melepas genggaman kertas hasil kelulusanku. Membuangnya entah kearah mana aku tak perduli. Yang aku pikirkan saat itu adalah jiwa ayah dan rasa ketakutanku yang amat dalam dan aku terus berteriak. Semua tetangga datang kerumahku dan segera menolong ayah dan bunda tiba-tiba datang dengan heran karena melihat rumah ramai dengan penduduk. Bunda membuang belanjaannya dari pasar dan segera merangkul, membopong ayah menuju mobil dan membawanya kerumah sakit segera.  Aku membiarkan bunda berjalan duluan kemobil sementara aku berniat mencari kertas perjuanganku yang ntah aku lempar kesisi mana. Karena tergesa-gesa aku lantas tidak memperdulikannya dan segera menyusul ibu ke mobil. Aku melupakan pesta pora ujian nasional dan hanya memfokuskan pikiran pada ayah. Mobil ini seakan lambat sekali jalannya aku dan ibu pun histeris diluar kendali karena rasa takut melihat ayah semakin kesakitan. Akhirnya rumah sakitpun mulai tampak dipelupuk mata. Ayah langsung dilarikan ke UGD Rumah Sakit Islam Permata Hati Palembang. Dan semua nampak tegang saat itu. Tak ada suara, tak ada arah pikiran dan tak ada kepentingan apapun kecuali satu kata AYAH!. 

Pikiran jahatku tiba-tiba merasuk melawati telinga dan merangsang otakku untuk berpikir bahwa aku tidak akan punya ayah lagi dan aku semakin ketakutan. Apa yang aku lakukan dan bagaimana dengan bunda jika kami tanpa ayah? Lantas bagaimana dengan kuliahku jika bunda tinggal tanpa ayah. Aku menangis dan mengingat masa-masa kecilku bersama ayah, saat ayah mengajariku bermain sepeda, mengajak aku menembak burung gereja di sawah belakang rumah nenek dan banyak kenangan yang akan membuat tangisku semakin rontok dari mata. Yang jelas aku sangat ketakutan saat itu. Hingga dokter keluar dari ruang UGD. Dan menyatakan ayah baik-baik saja. Dokter menjelaskan ayah terkena serangan jantung dan sementara ini harus dirawat bebearap hari di rumah sakit untuk melihat proses selanjutnya.
Ayah dirawat, dan aku dan bunda selalu menemani ayah diumah sakit. Aku duduk dikursi luar ruangan ayah mencoba memberanikan diri menghayal tentang kuliahku dan masa depanku yang sudah tidak ada harapan lagi. Bunda mengagetkanku keluar dari pintu.
“Gilang. Bagaimana hasil kelulusanmu?”.
Aku diam sesaat dan setelah cukup lama aku terdiam aku memberanikan menjawab
“Lulus bunda”.
“Baguslah, bunda berharap nanti juga tes UHW kamu akan lulus seperti yang kamu inginkan”.
“Iya bunda”
pengumuman itu terasa bisaa saja dan menjadi tidak penting buat hidupku. Aku mencoba untuk mengerti karena kondisi kami yang seperti ini mungkin membuat hal yang seharusnya istimewa harus menjadi bisaa saja. Tapi aku tidak berani mengatakan aku lulus di UHW. Aku semakin bingung mengatakannya dengan kondisi seperti ini. Dan bunyi gaduh terdengar dari ruang kamar ayah. Aku dan bunda segera membuka pintu dan melihat ayah sangat ketakutan. Ayah kejang-kejang dan kamipun ikut gelisah. Segera aku berlari memanggil dokter dan dokterpun datang dengan sigapnya. Ayah dibawa keruang khusus apa yang aku tidak tau namanya. Dan berbeda dengan kasus di UGD, dokter tidak memberikan angin segar pada kami dan mengatakan
“Maaf bu, bapak terkena stroke dan kemungkinan dy akan lumpuh seumur hidup”. Bunda goyah dan aku kaku dibuat oleh perkataan dokter tersebut. Aku berusaha meyakinkan apa yang dibicarakan dokter benar adanya. Ternyata itu bukan mimpi. Ayah memang lumpuh saat aku meyakinkan diri memasuki ruang ICU tempat ayah dirawat dan ibu masih pingsan disalah satu ruangan. Aku tidak boleh mengangis melihat keadaan ayah begini. Aku harus tetap kuat karena jika aku menangis lalu siapa yang akan menjadi sandaran ibu saat bersedih? Aku mengajak bicara ayah yang tak dapat bicara lagi kini. Aku tertawa dan meneteskan air mata. Aku sudah berusaha kuat untuk tidak menangis. Ayah pun menangis. Namun aku kembali tertawa dengan tangisanku pada keadaan ini. Aku menatap wajah ayah dan terus menciumnya tanpa henti karena aku memang menyayanginya. Memang nasib tidak ada yang bisa ditebak arahnya kemana.
Aku tidak sadar kalau Efendy telah berada lama dirumah sakit dan menemani ibu yang pingsan di ruang sebelah. Aku menghampiri ibu dan Efendy mengajakku keluar membicarakan sesuatu. Aku mendengarkan Fendy dan menghapus air mataku.
“Maaf Lang, tadi gw keceplosan bilang ke nyokap lo kalau lo keterima, Karena gw pikir pasti nyokap lo udah tau. Tapi nyokap lo bilang kalo dy belom dapet kabar dr lo. Gw gak tau kalo lo masih nyimpen kebahagiaan buat diri lo sendiri”.
“Gak papa Fen. Sudah gak penting sekarang ngomongin ini. Sekarang lo anterin gw pulang ya. Gw pengen menyendiri untuk sesaat aja”.
Aku dan Fendy pulang menuju rumah dan membereskan rumah serta mempersiapkan barang bawaan yang ingin dibawa kerumah sakit. Aku kembali kerumah sakit malam harinya dan bunda menyambutku.
“Bunda ingin bicara sama kamu tentang kuliah kamu”.
Aku dan bunda menuju pojok lorong rumah sakit.
“Lagi-lagi kamu mengulangi keslahan yang sama. Kenapa kamu gak biang sama bunda kalau kamu sudah keterima sebelum pengumuman ujian nasional di UHW? Fendy bilang pendaftaran ulang terakhir hari rabu berarti lusa. Kenapa kamu gak ngasih tau ibu, besok segera kamu daftar ulang pake uang tabunganmu dulu nanti suatu saat bunda ganti. SEGERA! Tanpa memikirkan apapun”.
Bunda sedikit marah dan memaksa.
“Gak bunda, gak! Gilang gak mau kuliah. Gilang sudah memutuskan itu sejak Gilang sadar menjaga ayah dan bunda yang sudah semakin lanjut usia itu lebih penting dari pada kuliah mengejar impian yang belum pasti”.
“kamu jangan bodoh Gilang, besok kamu berangkat kejogja dan langsung daftar ulang dan mempersiapkan diri kamu untuk kuliah disana, itu impian kamu. Impian yang tidak  bisaa yang sudah kau tanamkan sejak SMP, dan itu waktu yang sangat lama. Kamu harus kejar dan menyelesaikan sesuatu yang sudah kamu mulai”.
“Tidak bunda. Gilang sudah pikirkan semuanya sejak lama. Gilang memang gak mau kuliah, karena buat gilang ayah dan bunda jauh lebih penting dari hidup gilang sendiri. Bunda jangan salah paham. Gilang sudah merencanakan semuanya. Itu alasan kenapa Gilang gak mau kasih tau kelulusan gilang. Gilang punya rencana yang indah dari pada menjadi mahasiswa UHW. Gilang akan kursus bahasa inggris disini dengan lokasi yang dekat dan biaya yang murah trus gilang merasa punya banyak keahlian untuk mencari pekerjaan. Mungkin Gilang akan bekerja di bengkel milik Om Burhan dekat dengan rumah kita. Mereka sangat membutuhkan pekerja atau lain apapun yang bisa Gilang kerjakan. Om Burhan sudah mengiyakan untuk Gilang bekerja disana. Gilang sudah mempersiapkan semuanya dengan indah bunda. Nanti Bunda pakai uang tabungan Gilang semuanya, dan sisanya gunakan buat usaha yang gilang pikir dapat dijadikan kehidupan sehari-hari kita bunda. Gilang sudah punya rencana akan merawat Bunda sampai masa tua Gilang. Merawat ayah juga. Coba bunda lihat wajah ayah. Gilang yakin, gilang masih bisa membuat wajah ayah selalu tersenyum saat gilang disamping ayah. Dan gilang bisa jadi seseorang yang bunda andalkan bunda. Gilang bisa jadi kepala rumah tangga yang baik buat keluarga kita bunda. Gilang sudah merencanakan semuanya dengan indah Bunda. Tidak ada hal yang paling indah buat gilang sekarang selain tetap disamping Bunda dan ayah selamanya”.
Bunda memelukku dengan eratnya, sangat erat. Bunda tidak pernah memelukku selama aku dewasa. Setidaknya ini lebih membanggakan. Mengejar impian dibalik sebuah impian yang terbentang menjulang.
Lagu ini akan menjadi cerita tersendiri dalam hidupku:

 ANGGUN – MIMPI

Dalam hitam kelap malam
Kuberdiri melawan sepi
Di sini di pantai ini
Telah terkubur sejuta kenangan
Dihempas keras gelombang
Dan tertimbun batu karang
Yang tak kan mungkin dapat terulang

Wajah putih pusat pasi
Tergores luka di hati
Matamu membuka kisah
Kasih asmara yang telah ternoda
Hapuskan semua khayalan
Lenyapkan satu harapan
Kemana lagi harus mencari
Kau sandarkan sejenak beban diri
Kau taburkan benih kasih
Hanyalah emosi
Melambung jauh terbang tinggi
Bersama mimpi
Terlelap dalam lautan emosi
Setelah aku sadar diri
Kau tlah jauh pergi
Tinggalkan mimpi yang tiada bertepi
Kini hanya rasa rindu
Merasuk di dada
Serasa sumpah melayang pergi
Terbawa arus kasih membara

Kasih sayang yang paling indah adalah kasih sayang yang selama ini ibu berikan untuk kita. Ibu memperkenalkan pada kita sebuah keputusan Tuhan yang masih bertanda tanya. Dan ibu juga yang memberikan jawaban karena ibu uluran tangan Tuhan. Setiap orang akan berfikir bahwa kesuksesan adalah apa yang ia dapatkan dan ia raih dengan penuh perjuangan dan kerja keras. Membuat lupa bahwa do’a ibu adalah pekerjaan paling keras untuk perjuangan seorang anaknya. Percayalah dalam setiap detik kita merasakan kebahagiaan, maka ada seribu do’a ibu yang turut campur tangan. Ibu adalah dosa besar saat kita melangkah menuju surga. Lihatlah wajahnya lebih dalam maka engkau akan tau berapa banyak dosa yang kau miliki pada ibumu.

Impian tidak mempunyai batas ruang dan waktu, impian juga tidak bisa diterka, impian juga tidak bisa dipastikan. Karena impian adalah kebahagian bukan kemenangan.
Anton Hidayah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar mu sangat berarti :